sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Militer Myanmar akan tindak protes antikudeta

Demonstrasi oleh sipil menentang kudeta militer di Myanmar kian intens menyusul terjadinya penahanan sejumlah tokoh oleh Tatmadaw.

Valerie Dante
Valerie Dante Senin, 08 Feb 2021 19:53 WIB
Militer Myanmar akan tindak protes antikudeta

Otoritas Myanmar akan menindak pengunjuk rasa yang melanggar hukum saat melakukan demonstrasi yang menentang kudeta militer.

Polisi menembakkan meriam air ke arah demonstran yang berunjuk rasa secara damai di ibu kota Myanmar, Naypyitaw, pada Senin (8/2).

Ribuan orang turun ke jalan-jalan di seluruh negeri untuk hari ketiga karena mengecam kudeta yang terjadi pekan lalu.

Para jenderal yang berkuasa sejauh ini menahan diri dan tidak menggunakan kekuatan mematikan untuk memadamkan demonstrasi. Meski begitu, militer Myanmar, yang biasa disebut Tatmadaw, memiliki sejarah panjang dalam melakukannya di masa-masa penuh protes sebelumnya.

Pernyataan yang dibacakan stasiun televisi MRTV yang dikelola negara mengatakan, telah terjadi pelanggaran hukum dan ancaman kekerasan oleh kelompok-kelompok yang menggunakan dalih demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).

"Tindakan harus diambil sesuai dengan hukum dengan langkah efektif terhadap pelanggaran yang mengganggu, mencegah dan menghancurkan stabilitas negara, keamanan publik dan supremasi hukum," jelas pernyataan itu.

Video yang diunggah di media sosial menunjukkan polisi menembakkan meriam air ke pengunjuk rasa untuk mencoba membubarkan kerumunan yang berkumpul di jalan raya di Naypyitaw, tempat para pemimpin sipil tertinggi Myanmar, termasuk Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint, diyakini telah ditahan.

Seruan untuk bergabung dalam protes dan mendukung kampanye pembangkangan sipil semakin keras dan terorganisasi sejak kudeta.

Sponsored

Di Yangon, para perawat, guru, pegawai negeri, dan biksu bergabung dalam protes pada Senin. Mereka memegang papan bertuliskan "Say no to dictatorship" dan "We want democracy".

Para pengunjuk rasa mengibarkan spanduk merah dengan warna Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai yang dipimpin Suu Kyi.

Beberapa dari mereka memegang papan bertuliskan "Release Our Leaders, Respect Our Votes, Reject Military Coup".

"Kami, para petugas kesehatan, memimpin kampanye ini untuk mendesak semua pegawai pemerintah untuk bergabung dalam protes," kata Aye Misan, seorang perawat di rumah sakit pemerintah. "Pesan kami kepada publik adalah bahwa kami bertujuan untuk sepenuhnya menghapus rezim militer ini dan kami harus berjuang untuk menentukan takdir kami."

Sementara itu, para aktivis menyerukan pemogokan umum, mendesak pegawai pemerintah berhenti bekerja sebagai bagian dari upaya menghancurkan kediktatoran militer.

Ribuan orang juga berbaris di Kota Dawei dan di Myitkyina, ibu kota negara bagian Kachin, kerumunan massa yang besar mencerminkan penolakan terhadap kekuasaan militer oleh berbagai kelompok etnis, bahkan mereka yang telah mengkritik Suu Kyi dan menuduh pemerintahannya mengabaikan minoritas.

Demonstrasi itu terjadi sehari setelah puluhan ribu memprotes kudeta di kota-kota besar dan kecil di seluruh Myanmar.

Upaya Myanmar mencapai demokrasi sejati terhambat pada 1 Februari, ketika pemimpin tertinggi militer, Jenderal Min Aung Hlaing, merebut kekuasaan. Dia menuduh kecurangan yang meluas dalam pemilu November pada 2020 tanpa memberikan bukti apa pun.

Protes antikudeta berlangsung damai hingga kini, tetapi pengamat khawatir militer akan menindak dengan menggunakan kekuatan mematikan karena itulah yang dilakukan Tatmadaw selama 2007 dan terhadap pengunjuk rasa prodemokrasi pada 1988.

Sebuah konvoi truk militer tiba di Yangon pada Minggu (7/2) malam, menimbulkan kekhawatiran di antara para demonstran.

Sementara itu, kelompok hak asasi menyatakan kekhawatiran atas penggunaan meriam air oleh polisi di Naypyitaw. Mereka menyebut, PBB menyarankan penggunaan peralatan tersebut hanya dalam situasi tertentu dan tidak digunakan dalam jarak dekat. (Al Jazeera)

Berita Lainnya
×
tekid