close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi jam weker. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi jam weker. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Minggu, 28 September 2025 17:06

Bukan durasi, konsistensi waktu tidur ternyata jauh lebih penting

Tidur dan bangun di jam yang sama tiap hari terbukti lebih penting dari durasi tidur untuk menjaga kesehatan otak, jantung, metabolisme, dan menurunkan risiko demensia.
swipe

Ketika kebanyakan dari kita berupaya memperbaiki kualitas tidur, fokus kita biasanya ada pada durasi: tujuh hingga sembilan jam istirahat malam yang direkomendasikan. Namun, para ilmuwan menemukan semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa menjaga jadwal tidur yang konsisten bisa jadi lebih penting daripada sekadar mempertahankan berapa lama kita tidur.

Dari studi populasi berskala besar hingga uji klinis yang dirancang ketat, para peneliti menemukan bahwa tidur dan bangun di jam yang sama setiap hari dapat mempertajam fungsi kognitif dan meningkatkan kesehatan mental, mendukung metabolisme dan sistem imun, memperkuat jantung, dan menurunkan risiko demensia.

“Menjaga jadwal tidur-bangun yang konsisten mungkin merupakan salah satu cara termudah dan paling sering diabaikan untuk melindungi kesehatan jangka panjang,” kata Wendy Troxel, ilmuwan perilaku senior bidang tidur di RAND Corporation, seperti dikutip dari National Geographic, Ahad (28/9). 

Mengapa konsistensi penting? Itu karena tubuh kita bekerja mengikuti jam internal—disebut ritme sirkadian—yang mengatur kapan kita merasa mengantuk atau segar. Ritme ini juga mengontrol proses “reset” yang penting yang terjadi selama tidur. Konsistensi bahkan bisa memperpanjang usia.

Tidur dan bangun pada waktu yang sama tiap hari menjaga jam internal ini tetap sinkron, memastikan pelepasan hormon secara stabil seperti melatonin (membantu tidur) dan kortisol (membantu bangun). Ritme ini juga mendukung penyimpanan memori, perbaikan sel, dan proses pembersihan otak.

“Semakin konsisten jadwal tidur/bangun seseorang, semakin baik berbagai proses tubuh dapat terkoordinasi dan dioptimalkan,” kata Janis Anderson, peneliti dan psikolog bidang pengobatan tidur di University of New Mexico.

Keteraturan tidur punya konsekuensi nyata bagi metabolisme dan kesehatan jantung. Di lain sisi, tidur tidak teratur terbukti mengganggu regulasi tekanan darah, meningkatkan peradangan sistemik, dan mengacaukan metabolisme glukosa—karena ritme sirkadian membantu mengatur proses-proses ini.

Ketika waktu tidur berantakan, tubuh bisa melepaskan hormon stres di waktu yang salah, membebani pembuluh darah dan mengganggu pengaturan glukosa. Lama-lama, ini memicu hipertensi, resistensi insulin, hingga peradangan kronis.

Ada banyak riset yang mendukung hal itu. Studi UK Biobank 2024 terhadap lebih dari 88.000 orang, misalnya, menemukan bahwa keteraturan tidur memprediksi risiko kematian lebih baik daripada total durasi tidur. 

Otak pun menyukai keteraturan. Tidur tak teratur dikaitkan dengan penurunan kognitif dan risiko demensia lebih tinggi. Yue Cao dan rekan-rekan di University of Tsukuba, Jepang, menemukan hal ini dalam studi 2025 terhadap 458 lansia dengan perangkat wearable.

Mereka yang jadwal tidurnya lebih konsisten menunjukkan kemampuan berpikir lebih kuat dan kadar BDNF (protein penting untuk memori dan plastisitas otak) lebih tinggi. Ritme yang kacau, sebaliknya, dikaitkan dengan penumpukan amiloid-beta—protein beracun yang diduga memicu Alzheimer.

Menariknya, penelitian Tsukuba juga menemukan bahwa walaupun kemampuan berpikir meningkat seiring konsistensi tidur, kadar BDNF tidak meningkat lurus. Riset menunjukkan bahwa jadwal tidur kita tidak harus kaku sempurna. Sesekali melenceng, tidak masalah.

“Menjaga jadwal tidur yang konsisten adalah fondasi tempat segala hal lainnya berdiri,” kata Steve Amira, dokter dan peneliti tidur di Brigham and Women’s Hospital.

Ilustrasi tidur. /Foto Pexels/SHVETS Production

Tips menjaga konsistensi

Meski semua orang menginginkan manfaat dari jadwal tidur yang konsisten, hal itu cenderung sulit dilakukan.  Banyak faktor—tumpukan pekerjaan, asupan kafein, alkohol, stres, kondisi medis, media sosial, bahkan tidur siang— yang dapat mengganggu kebiasaan tidur.

Steve Amira menjelaskan tiga kondisi harus selaras: sinkron dengan siklus siang/malam, cukup terjaga ±16 jam untuk “memaksimalkan waktu tidur”, dan mampu rileks menjelang tidur. “Kegagalan salah satunya bisa menggagalkan niat terbaik,” ujar Amira.

Pakar menyarankan sejumlah kebiasaan kecil agar bisa menjaga konsistensi tidur. Pertama, atur paparan cahaya. Pastikan lebih banyak cahaya alami dan kurangi cahaya setelah matahari terbenam—terutama cahaya biru dari layar. 

Kedua, gunakan alarm. Bangun di jam yang sama—bahkan setelah begadang—membantu “mengunci” ritme sirkadian. Ketiga, ciptakan kamar tidur nyaman, yakni gelap, sunyi, dan sejuk dengan kasur serta pakaian tidur yang nyaman. Keempat, batasi stimulan dan alkohol. Terakhir, jalani rutinitas sebelum tidur. 

"Aktivitas menenangkan—membaca, mandi air hangat, mengenakan pakaian tidur—memberi sinyal ke tubuh untuk bersiap istirahat," jelas Shadab Rahman, ahli saraf di Brigham and Women’s Hospital dan asisten profesor kedokteran di Harvard Medical School.

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan