sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kenali mythomania, tukang bohong yang memercayai kebohongannya sendiri

Sebagian pihak menyebut Barbie Kumalasari mengidap mythomania karena ucapannya yang menunjukkan kebohongan. Benarkah?

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Selasa, 08 Okt 2019 10:14 WIB
Kenali mythomania, tukang bohong yang memercayai kebohongannya sendiri

Selebritas Barbie Kumalasari belum lama ini mencuri perhatian setelah tampil dalam video blog (vlog) bersama Boy William. Dalam vlog perbincangan berseri yang diunggah pada akun Youtube Boy William itu, Boy melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang menguji kebenaran ucapan Barbie yang selama ini diakuinya di depan publik. Sebelumnya, Barbie mengaku pernah tinggal di Nevada, Amerika Serikat. Namun, dalam video yang terunggah pada akun Boy William pada 20 September 2019, Barbie tampak tak sadar “membuka” tabir kebohongannya sendiri.

Selain ternyata tak fasih bercakap dalam bahasa Inggris, Barbie juga “terjebak” oleh jawaban-jawabannya sendiri yang tak logis atau bertentangan dengan pengakuannya. Dia berujar soal makanan khas Amerika hingga waktu tempuh penerbangan dari Indonesia ke AS yang disebutnya hanya sekitar 8 jam. Alih-alih percaya, warganet malah banyak mencibirnya dan menjadikan dia bahan olok-olok.

Penelitian mengenai Mythomania

Sebelum setenar belakangan, Kumala Sari Mukslisah—nama asli Barbie Kumalasari— pada tahun 2000-an awal kerap tampil dalam sinetron Bidadari. Di sinetron yang melambungkan nama aktris Marshanda itu, Kumala Sari berperan sebagai pembantu rumah tangga. Perubahan dan pencitraan dirinya berubah drastis, termasuk dalam penampilan fisik dan nama panggung yang mencatut ‘Barbie’. Belakangan, Barbie Kumalasari membuat perhatian warganet tersedot dengan serangkaian ucapannya yang lebih menunjukkan kebohongan dan sensasional. Seperti mengakui bahwa dirinya adalah seorang pengacara, memiliki berlian 30 karat, rumah yang banyak, hingga saldo tabungan yang fantastis. Sebagian pihak menilai pula Barbie Kumalasari mengidap mythomania.

Kosakata mythomania atau disebut juga kebohongan patologis pertama kali digunakan pada 1905 oleh Ferdinand Dupre, seorang dokter psikiatri. Dupre melanjutkan analisis psikiater Anton Delbrueck yang menemukan mythomania pertama kali pada 1891. Delbrueck memberi nama pseudologia fantastica untuk menggambarkan sekelompok pasien yang kerap bercerita bohong disertai unsur khayalan atau fantasi dalam cerita mereka.

Dupre mencatat indikasi mythomania ditandai oleh kebiasaan penderitanya yang suka berbohong, tetapi si pelakunya memercayai ucapan kebohongannya sendiri. Berbeda dari kebohongan pada umumnya yang bermaksud untuk menipu, pengidap mythomania berbohong dengan tujuan mendapat pujian dari orang lain.

Mythomania umumnya terjadi pada orang berusia 16–22 tahun, dengan perbandingan seimbang antara pengidap pria dan wanita. Dalam International Dictionary of Psychoanalysis (Volume III, 2005), Alain De Mijolla merangkum mythomania sebagai bagian dari konsep kebohongan dalam kepribadian diri “as if”.

Mencuplik kajian dasar psikoanalisis, menurut Helen Deutsch pada 1934, kepribadian “as if” adalah kebohongan yang tidak biasa dibandingkan situasi-situasi umum yang membuat orang berbohong. “Sebaliknya, as if merupakan kepribadian berpura-pura yang lebih ditujukan untuk melindungi jati diri sebenarnya dengan citra diri yang palsu,” tulis Deutsch.

Begitu pula halnya mythomania. Menurut Deutsch, mythomania dilatarbelakangi oleh watak narsistik seseorang yang membuatnya melakukan kebohongan-kebohongan kepada orang lain dan dirinya sendiri. Dalam jangka waktu lama, seseorang yang sering melakukan kebohongan mythomania lama-kelamaan menganggap kebohongan sebagai hal biasa atau wajar.

Bahkan, pengidap mythomania menjadi tak dapat membedakan antara fakta dan rekaan. Dirinya pun akan menganggap kebohongan-kebohongannya sebagai satu atau rangkaian beberapa fakta.

Sementara itu, Donald Winnicott di artikel berjudul “The Antisocial Tendency” yang termuat dalam The Collected Works of D. W. Winnicott: Volume 5, 1955-1959 (Oxford University Press, 2016) memandang, kebohongan sebagai kecenderungan sebagian manusia yang antisosial. Akibatnya, termasuk dalam mythomania, baik pada remaja maupun dewasa, kebohongan juga didorong kondisi kacau atau frustrasi dalam diri pelakunya.

 

Beda mythomania dan kebohongan biasa

Sebagai salah satu macam kebohongan patologis, mythomania merupakan jenis gangguan kebohongan yang dipandang paling ekstrem. Sebab jenis ini menggabungkan fakta dan fantasi sebagai materi atau cerita kebohongan. Mereka yang mengalami mythomania umumnya melakukan kebohongan bersifat fantasi.

Alain De Mijolla dalam International Dictionary of Psychoanalysis itu pun menguraikan, biasanya orang dengan mythomania akan mengatakan kebohongan kepada orang lain mengenai sesuatu yang mereka khayalkan dan digabungkan dengan fakta yang ada. Pada level yang parah, mythomania membuat pengidapnya menyatakan suatu kebohongan sebagai hal yang diyakininya sebagai benar-benar fakta.

Beberapa kriteria dari orang yang mengalami mythomania adalah:

1.       Cerita yang mereka katakan terdengar sangat nyata dan mereka mungkin menceritakan sesuatu berdasarkan kisah nyata orang lain.

2.      Punya kecenderungan membuat cerita yang bersifat permanen dan stabil.

3.      Kebohongan tidak dilakukan untuk mendapatkan suatu keuntungan material.

4.      Cerita yang dibuat biasanya berkaitan dengan institusi penting, seperti  kepolisian dan angkatan darat. Mereka pun memiliki peran penting dalam institusi atau cerita itu, misalnya sebagai tokoh penyelamat atau korban yang tersakiti.

Mythomania sangat kuat didorong rasa kurang percaya diri pengidapnya. Akibatnya, demi terlihat sempurna, seorang dengan mythomania akan berpura-pura menjadi orang lain yang perfeksionis agar orang lain lebih menyukainya.

“Bahkan mereka akan tetap berbohong walau kebohongan tersebut berdampak buruk bagi diri mereka sendiri,” tulis Alain De Mijolla.

Berbeda dengan itu, ada kriteria kebohongan umum yang bukan termasuk sebagai mythomania. Kebohongan biasa ini umumnya dapat dilakukan karena beberapa alasan, seperti keinginan menutupi data mengenai dirinya, keinginan untuk memperoleh keuntungan, dan menutupi diri dari kesalahan yang dilakukan. Kebohongan umum ini biasanya juga hanya mengenai hal-hal seputar perasaan, pendapatan, pencapaian, kehidupan seksual, dan mengenai usia seseorang.

Pesohor rentan mengidap mythomania

Psikolog klinis dr. Tara Adhisti de Thouars menegaskan mythomania merupakan kebohongan patologis yang menunjukkan gangguan mental seseorang yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

“Patologis menandakan bahwa (gangguan) tidak lagi bisa disebut normal atau biasa saja, karena memberikan dampak negatif ke diri sendiri atau sekitarnya,” kata Tara dalam percakapan via WhatsApp dengan Alinea.id, Senin (7/10).

Sekalipun penyebab orang berbohong mencakup beragam faktor, seperti psikologis dan sosial, Tara mengatakan, pada dasarnya berbohong adalah upaya defense atau pertahanan diri dari ancaman, baik ancaman nyata atau pun tidak.

Dia memisalkan, pelaku merasa perlu menyampaikan kebohongan untuk melindungi dirinya dari rasa malu, rasa rendah diri, perasaan kecil, dan penolakan pihak lain. Bila kebutuhan psikologis seseorang yang tidak terpenuhi semakin besar, akan semakin besar pulalah keinginan orang itu untuk melindungi diri dengan cara berbohong.

“Namun, jika kebohongan dilakukan berulang kali, maka dapat dikatakan menjadi tidak sehat,” ujarnya.

Tara menguraikan ciri lain orang dengan mythomania adalah melakukan kebohongan terus-menerus tanpa disertai perasaan bersalah. Mengingat berbohong merupakan perilaku melanggar norma, menurut Tara, umumnya dalam diri pelakunya akan timbul perasaan bersalah.

“Jika tidak (merasa bersalah), maka dapat dikatakan mengidap gangguan mythomania karena berbohong dianggap sebagai sesuatu yang wajar, bahkan menjadi kebutuhan si pelaku,” kata dia menegaskan.

Mythomania dilatarbelakangi oleh watak narsistik seseorang yang membuatnya melakukan kebohongan-kebohongan kepada orang lain dan dirinya sendiri./ Ilustrasi: Pixabay

Tarra melanjutkan, mythomania umumnya dapat terjadi pada sejumlah kelompok orang yang sangat mengagungkan citra positif dari lingkungan sebagai kebutuhannya. Beberapa kalangan seperti ini, antara lain, selebritas, pejabat, dan pemuka masyarakat atau figur publik.

Kalangan dari kelompok ini, menurut Tara, memiliki kebutuhan besar untuk dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya. Selain itu, kelompok masyarakat dengan keterbatasan tertentu juga rentan melakukan kebohongan yang mengarah sebagai mythomania. Bermacam kondisi kekurangan itu meliputi, antara lain kemampuan ekonomi, status sosial, dan keterampilan diri.

“Mereka membutuhkan pengakuan dan perlu mengangkat dirinya agar dapat diakui oleh orang lain sehingga dapat meningkatkan rasa keberhargaan dirinya,” tuturnya.

Walaupun begitu, apa yang dialami Barbie Kumalasari perlu pembuktian apakah termasuk gangguan mythomania atau tidak. Dr Daeng M Faqih menekankan, praduga publik atas Barbie mengidap gejala mythomania harus diuji keabsahannya. Hal ini, kata dia, perlu melalui sejumlah pemeriksaan secara medis di bawah asuhan ahli kejiwaan.

“Karena dipandang menyangkut kelainan kejiwaan, itu tak bisa langsung serta-merta disebut sebagai kebohongan patologis. Sebaiknya berdasarkan pemeriksaan kejiwaan dan ada alat pengukurnya,” ujar Daeng, ketika dihubungi Senin (7/10).

Daeng mengatakan, ada beberapa macam tes yang perlu dijalani untuk menguji seseorang termasuk mythomania, misalnya wawancara tertutup dengan dokter ahli kejiwaan, dan tes psikologi kepribadian.

“Dari situ nanti bisa diketahui, orang ini dengan karakter seperti ini punya kecenderungan gangguan tertentu,” tutur Daeng yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.

Berita Lainnya
×
tekid