Lima kebiasaan buruk yang diam-diam bikin otak kita tumpul
Seiring bertambahnya usia, volume otak manusia sudah pasti akan berkurang. Namun, bukan berarti kemampuan menggunakan otak turut melemah. Jika dilatih, IQ efektif bisa tetap tajam sebagaimana saat kita masih muda.
IQ efektif adalah campuran praktis dari kinerja kognitif, fungsi eksekutif, kecerdasan cair, sampai keterampilan menerapkan pengetahuan di dunia nyata. Singkatnya, bukan soal pintar di atas kertas, tapi cerdas di kehidupan sehari-hari.
"Sayangnya, banyak keputusan kecil yang justru membuat pikiran kita tumpul. Dan di sinilah letak ironi: hasil akhirnya sangat bergantung pada pilihan kita sendiri," kata dosen teori organisasi dan kepemimpinan dari Universitas Harvard T. Alexander Puutio seperti dikutip dari Psychology Today, Selasa (19/8).
Kebiasaan menyabotase diri ini, kata Puutio, sebenarnya bukan cerita baru. Tapi, membiasakan diri untuk jadi lebih cerdas selalu dimulai dari langkah paling sederhana: menyadari apa yang bikin kita jatuh ke jurang yang sama.
Puutio merinci lima jebakan mental yang paling sering kita lakukan—kadang tanpa sadar—yang bikin otak gagal bekerja maksimal:
Menganggap otak bukan otot yang bisa dilatih
Kebiasaan paling berbahaya adalah memperlakukan otak seolah benda mati. Psikolog menyebutnya entity theory of intelligence: keyakinan bahwa kecerdasan itu bawaan lahir, tak bisa diubah.
"Padahal, alternatif yang jauh lebih sehat adalah growth mindset—menganggap kemampuan bisa bertumbuh lewat usaha dan strategi," jelas Puutio.
Sejumlah riset membuktikan hal itu. Dalam sebuah riset, misalnya, sekelompok murid SMP diajarkan bahwa otak bisa berkembang seperti otot. Setahun kemudian, nilai matematika mereka menanjak stabil.
"Sementara teman-teman yang percaya kecerdasan itu tetap, hasilnya stagnan," kata Puutio.
Menyepelekan tidur
Tidur bukan sekadar “mati suri” delapan jam. Evolusi menjadikannya ritual penting, bahkan pada ubur-ubur Cassiopea—hewan tanpa otak yang juga tetap membutuhkan tidur.
Bagi manusia, tidur adalah saat otak mengulang, merajut, dan memperbaiki jejak belajar seharian. Melewatkannya berarti menurunkan fungsi eksekutif, memperburuk fokus, hingga membuat keputusan sembrono.
Satu studi EEG menunjukkan, hanya 24 jam tanpa tidur cukup untuk memperlambat reaksi secara drastis. Bahkan sedikit saja mengurangi jam tidur setiap malam, sudah terbukti menurunkan memori kerja, mood, hingga penilaian.
"Otak kita tunduk pada jam biologis. Menyelaraskan hidup dengan ritme itu bukan kemewahan, melainkan kebutuhan," ujar Puutio.
Mengandalkan alkohol sebagai pelarian
Alkohol adalah bentuk sabotase paling gamblang. Semua orang tahu efeknya setelah segelas kedua: bicara melantur, logika berantakan. Tetapi, dampaknya ternyata jauh lebih panjang.
Sebuah riset menunjukkan orang yang minum delapan gelas atau lebih per minggu punya risiko tinggi mengalami kerusakan otak. Dari autopsi ribuan orang, peminum berat tercatat 133% lebih sering punya lesi otak. Bahkan mantan peminum berat masih menyimpan 89% risiko lebih tinggi.
"Artinya, bahkan minum sedang bisa mencuri kejernihan pikiran jangka panjang. Jika peduli pada ketajaman otak, mengurangi atau berhenti minum mungkin keputusan paling cerdas yang bisa diambil," jelas Puutio.

Hidup tanpa struktur
Otak kita butuh arah, tujuan, dan tenggat waktu. Tanpa itu, pikiran melayang tak tentu arah. Dalam situasi semacam itu, kreativitas justru macet di tengah jalan.
Puutio mencontohkan sebuah riset pada 2021 yang menemukan bahwa mahasiswa yang suka menunda pekerjaan menunjukkan penurunan fungsi eksekutif otak. "Jadi bukan sekadar malas—prokrastinasi benar-benar tercatat di tes neuropsikologi," jelas dia.
Inspirasi mungkin lahir dari ruang kosong, tapi eksekusi butuh kerangka. "Momentum kecil hari ini adalah jembatan bagi ide besar besok," imbuh Puutio.
Membiarkan otak bergaul dengan “lingkungan toksik”
Kadang, musuh terbesar otak adalah lingkungan tempat ia berdiam. Puutio mencontohkan tindakan menaruh stoples permen di atas meja saat diet. Suatu saat, orang yang sedang diet pasti kalah juga dengan godaan permen itu.
Masalahnya, otak pun begitu: paparkan terus pada gosip, drama, distraksi, atau kabar penuh amarah, lama-lama standar pikiran ikut merosot.
Studi psikologi perkembangan menunjukkan emosi bisa menular dalam lingkaran sosial. "Analisis longitudinal menemukan mood remaja cenderung menyesuaikan dengan mood kelompoknya—dan emosi negatif paling gampang menular," jelas Puutio.
Itu berarti, lanjut Puutio, baseline mental kita perlahan akan serupa dengan “asupan emosi” yang kita konsumsi. "Jika ditarik jauh, semua jebakan ini punya akar sama: ketiadaan kesadaran diri. Tanpa sadar, kita biarkan otak berjalan autopilot. Dan kebiasaan buruk pun terus berulang," ujarnya.
Awareness memang bukan solusi tunggal, tapi jadi pintu masuk pertama. Dari sana, kita bisa mulai melindungi jam tidur, memilih teman ngobrol yang sehat, menata jadwal, mengurangi alkohol, sampai mengubah cara bicara ke diri sendiri.


