sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengenal hygge: Konsep hidup bahagia ala Denmark

Gaya hidup hygge mulai populer pada 2016, seiring dengan dinobatkannya Denmark sebagai negara paling bahagia versi World Happiness Report.

Fandy Hutari Hanifa Nabilla Elansary
Fandy Hutari | Hanifa Nabilla Elansary Selasa, 23 Jan 2024 19:40 WIB
Mengenal <i>hygge</i>: Konsep hidup bahagia ala Denmark

Denmark menjadi negara kedua terbahagia di dunia, di bawah Finlandia, berdasarkan laporan World Happiness Report 2023. Bahkan, pada 2016 Denmark menjadi negara terbahagia. Negara di Skandinavia itu tetap berada di urutan tertinggi, selama beberapa tahun.

Denmark memiliki pemerintahan yang stabil, tingkat korupsi yang rendah, serta akses pendidikan dan perawatan kesehatan yang berkualitas tinggi.

“Denmark memiliki pajak tertinggi di dunia, tetapi sebagian besar orang Denmark dengan senang hati membayarnya. Mereka percaya, pajak yang lebih tinggi dapat menciptakan masyarakat yang lebih baik,” tulis profesor psikologi di Dickinson College, Marie Helweg-Larsen dalam the Conversation.

Namun, yang paling penting, Denmark punya konstruksi budaya bernama hygge—diucapkan hoo-ga. Dosen psikologi di Unversity of East London, Tim Lomas, menulis di Psychology Today bahwa hygge mencerminkan akar kata dalam bahasa Nordik kuno, yakni hugga, yang berarti menghibur.

CEO The Happiness Research Institute di Kopenhagen, Meik Wiking, dikutip dari Everyday Health menyebutkan, hygge sebagai konsep dan praktik budaya mulai populer di Denmark pada abad ke-19 sebagai perayaan keakraban yang nyaman selama musim dingin Skandinavia yang panjang dan gelap.

Gaya hidup hygge mulai populer pada 2016, seiring dengan dinobatkannya Denmark sebagai negara paling bahagia versi World Happiness Report. Ketika itu, sebut Lomas, ada sembilan buku berbahasa Inggris dan artikel yang tak terhitung jumlahnya di surat kabar dan majalah yang membahas gaya hidup tersebut.

Kamus Oxford, dikutip dari CNBC menyebut hygge sebagai salah satu dari 10 kata terbaik. Sedangkan Pinterest menyebut sebagai salah satu tren teratas pada 2017.

Bahkan, Helweg-Larsen menulis, hingga 2018 situs Amazon menjual lebih dari 900 judul buku tentang hygge, Instagram punya lebih dari tiga juta unggahan tentang tanda pagar hygge, dan Google tren menunjukkan lonjakan besar dalam pencarian hygge mulai Oktober 2016. Lambat laun, hygge sudah menjadi fenomena global.

Sponsored

Helweg-Larsen mengatakan, hygge dapat digunakan sebagai kata benda, kata sifat, atau kata kerja. “Hygge terkadang didefinisikan sebagai kenyamanan, tetapi definisi yang lebih pas adalah kedekatan yang disengaja, yang dapat terjadi ketika Anda memiliki pengalaman bersama yang aman, seimbang, dan harmonis,” kata Helweg-Larsen.

Di Denmark, kata Helweg-Larsen, hygge merupakan bagian integral dari perasaan kebahagiaan masyarakatnya. Hygge terintegrasi dalam psikologi dan budaya Denmark. Hygge bermanfaat sebagai penghilang stres, sembari menciptakan ruang untuk membangun kebersamaan.

“Di negara yang sangat individualistik seperti Denmark, hygge dapat mempromosikan kesetaraan dan memperkuat kepercayaan,” tulis Helweg-Larsen.

Walau sesungguhnya, Denmark bukan satu-satunya negara yang punya istilah untuk konsep yang mirip dengan hygge. Di Norwegia ada koselig, Swedia ada mysig, Belanda punya gezenlligheid, dan Jerman memiliki gemutlichkeit, tetapi hygge merupakan istilah paling populer dibandingkan padanan istilah serupa lainnya.

Hygge terkait erat dengan kehangatan berkumpul karena iklim yang sangat dingin di Denmark. Sebuah keluarga, sebut Helweg-Larsen, mungkin memiliki malam hygge untuk permainan papan dan camilan, atau teman-teman bisa berkumpul untuk makan malam santai dengan pencahayaan redup, makanan lezat, dan kesenangan yang santai.

Dikutip dari Everyday Health, Wiking mengatakan, hygge merupakan gaya hidup, yang membuat momen-momen biasa terasa istimewa, menyenangkan, dan bermakna.

“Konsep hygge adalah tentang menciptakan lingkungan fisik yang nyaman dan aman, seperti menyalakan lilin, berlindung dalam selimut lembut, dan mengonsumsi minuman hangat,” kata Wiking.

“(Hygge) juga adalah sikap dan filsafat.”

Hygge pun mengacu tentang menciptakan lingkungan sosial dan emosional yang nyaman bagi diri sendiri. “Itu tentang dengan siapa Anda memilih untuk dekat dan apa yang Anda pilih untuk menghabiskan waktu,” ujar Wiking.

“Ini tentang berada bersama orang-orang yang kita cintai, kita merasa aman, kita dilindungi, dan membiarkan diri kita menurunkan kewaspadaan.”

Dilansir dari CNBC, Wiking mengatakan, selain kenyamanan, hygge terkait pula dengan seni menciptakan kedekatan atau menemukan kebahagiaan sehari-hari. Lebih dari itu, menurut psikolog klinis di Jewish Family Services of Greenwich, Holly Schiff, seperti dilansir dari Everyday Health, bukan hanya iklim yang sangat dingin yang membuat mengadopsi pola pikir hygge menarik. Namun, hal ini adalah cara untuk menjaga diri kita sepenuhnya dari berbagai penyebab stres global. 

Disebut Everyday Health, pengalaman hygge dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional. Sebagai contoh, riset yang diterbitkan di jurnal Ergonomics (Februari, 2020) menemukan, orang menganggap cahaya hangat dan redup lebih menenangkan daripada lampu yang terang.

Riset yang diterbitkan jurnal Annual Review of Psychology (2018) juga menemukan, punya hubungan sosial yang mendukung—komponen dari hygge—bermanfaat untuk kesehatan fisik dan emosional.

Schiff mencatat, prinsip-prinsip hygge dapat punya dampak positif pada kesehatan mental. “Ini termasuk stres yang berkurang, kecemasan yang berkurang, dan suasana hati yang lebih baik,” kata Schiff.

Terlepas dari itu, Lomas menggarisbawahi, kunci kebahagiaan Nordik—Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Swedia—tak hanya terletak pada hygge. Banyak faktor sosio-kultural yang berkontribusi terhadap kebahagiaan. Salah satunya, negara-negara Nordik relatif makmur dan stabil secara sosial.

“Faktor yang lebih kuat adalah tingginya tingkat modal sosial di negara-negara Nordik, yang dikaitkan dan tecermin dalam tingkat ketidaksetaraan yang relatif rendah dan kebijakan sosial egaliter,” tulis Lomas di Psychology Today.

Berita Lainnya
×
tekid