sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ocean’s 8: Kegagalan gimmik “gender flapping”

Tak semua usaha mem-perempuan-kan spin-off film akan semulus film aslinya. Ini adalah salah satu contoh produk gagal yang saya maksudkan.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Minggu, 17 Jun 2018 10:27 WIB
Ocean’s 8: Kegagalan gimmik “gender flapping”

“Cowok diperhatikan orang, cewek enggak.”

Kurang lebih itu yang diucapkan Debbie Ocean (Sandra Bullock), mantan residivis yang berjibaku menyusun tim baru, dengan seluruh perempuan sebagai anggotanya. Lepas dari kekecewaannya dikhianati mantan teman prianya, Claude Becker (Richard Armitage), yang menjebloskannya ke bui, Debbie kukuh, formasi perempuan yang ia susun akan menemui kesuksesan. Lain cerita, jika squad yang dibentuk berisi kumpulan pria-pria dungu yang ia benci.

Kesuksesan, bagi legasi perampok kasino legendaris Ocean ini, jadi harga mutlak. Pasalnya, selain ingin membuktikan, ia bisa balik mengirim balik mantan kekasih ke penjara, perkara mencuri Toussaint, kalung berlian senilai US$150 juta relatif sulit. Oleh karena itu, strategi yang ia susun masak-masak selama lima tahun mendekam di bui, butuh perempuan sebagai aktor utama.

Di awal film, Debbie meyakinkan sahabatnya, tukang oplos minuman alkohol Lou (Cate Blanchett), proyek perampokan di Met Gala ini akan berhasil. Adegan berikutnya mudah ditebak. Sejumlah perempuan badass direkrut, dengan berbagai keahliannya. Ya, film besutan sutradara Gary Ross ini memang total menjiplak trilogi perampokan Ocean, yang mashur di awal 2000-an tersebut. Pembedanya, lagi-lagi hanya jenis kelamin yang bermain sebagai pelaku perampokan.

Bukannya saya misoginis, tapi penunjukkan pemain kaliber dunia nan berpenampilan mewah ini, eksekusinya terasa biasa saja. Memang, dalam penokohan, saya sedikit terhibur. Misalnya, Sandra Bullock yang kadar ketenangannya level mumpuni, Cate Blanchett dengan lagak semau gue. Lalu ada Helena Bonham Carter yang bermain sebagai Rose Weil, desainer tak laku dengan tingkah dan penampilan—yang seperti biasa—selalu eksentrik.

Rihanna yang di sini berperan sebagai peretas yang gemar menghisap ganja. Anna Hathaway, yang luar biasa cantiknya, namun senyum yang ia jual entah mengapa terasa pas mewakili 'selebritis cantik, tapi bodoh'. Lalu Amita (Mindy Kalling) si pembuat berlian dengan ketelitian pemindaian yang super. Awkwafina si tukang ngutil di jalanan. Terakhir Sarah Paulson, ibu rumah tangga, yang rupanya belum ‘sembuh’ total dari kebiasaan menjadi penadah barang rampokan di garasi rumahnya.

Karakternya menarik, mengedepankan nuansa multikulturalisme—karena ada pemain kulit hitam dan orang China—meski nir pendalaman karakter. Delapan orang yang bergabung di tim ini menjalani tugas sesuai porsi yang sudah dirancang Debbie. Tujuannya, merampok Toussaint yang ditempatkan di brankas bawah tanah, dengan pengamanan ekstra maksimum. Laiknya formula klasik film genre heist caper, setelah tim dibentuk, objek yang disasar diuraikan, rencana siapa melakukan apa disusun, film tinggal berjalan sesuai pakem standar. Sebuah perampokan yang seolah mustahil, dilakukan oleh perempuan yang di dunia nyata merupakan bintang Hollywood.

Sponsored

Penampilan Rihanna sebagai peretas di film "Ocean's 8" (2018)./ IMDB

Kendati film sebelumnya “Ocean’s 11” (1960) juga mengandalkan 'star power' Rat Pack (Peter Lawford, Frank Sinatra, Dean Martin, Sammy Davis, Jr., dan Joey Bishop. Begitu pula dengan versi trilogy “Ocean’s Eleven” (2001) dan dua sekuelnya, yang menjual nama besar Brad Pitt, George Clooney, Matt Damon, dan lainnya. Namun film ini menurut saya justru mirip dengan sekuel ketiga “Ocean’s Thiirteen” (2007) di mana penipuan, penyusupan semua diurai di bagian awal. Namun rencana sebenarnya luput disampaikan pada pemirsa. Penonton diminta duduk di bioskop, menikmati popcorn, dan menunggu eksekusi perampokan di akhir film.

Sayangnya, puncak aksi berlalu begitu pendek. Satu-satunya yang tampil menghibur adalah tontonan Met Gala yang dikemas sesuai aslinya di Metropolitan Museum of Art, komplit dengan artefak seni asli. Semua terjalin berkat bantuan Anna Wintour, pemimpin redaksi Vogue sekaligus kurator Met Gala sejak 1995 yang bertindak sebagai cameo. Tak hanya, Wintour, Met Gala tak akan nyata jika pesertanya tak familiar. Oleh karena itu, sederet bintang di jagat Amerika tampil sebagai cameo. Sekilas, kita dibuai dengan wajah-wajah mempesona Katie Holmes, Zayn Malik, Maria Sharapova, Serena Williams, Kim Kardashian, Adriana Lima, Kylie Jenner, Kendall Jenner, Olivia Munn, dan lainnya, yang membuat saya ternganga.

Setting megah, gaun mewah, wajah pesohor yang aduhai, rasa-rasanya justru menutup aksi perampokan yang sedianya mau ditonjolkan. Eksekusi aksi sendiri berjalan kurang menghentak. Sementara sisanya, mulai dari kerangka cerita dan kesinambungan logika kisah dengan trilogi sebelumnya, teknik pengambilan gambar zoom dan wide shoot yang lazim kita jumpai di trilogi film besutan sutradara Soderbergh, semua sama.

Gary hanya menukar kasino yang berisi jutaan dolar dengan berlian berharga sama. Pemain pria semua disubtitusi dengan perempuan. Saya rasa, sutradara terlalu berusaha untuk menonjolkan kesan, bagaimana perangkap feminisme bekerja di perampokan yang sebelumnya selalu dilakukan para pria. Bahkan, adegan di mana penjaga berlian mahal itu tak bisa masuk toilet perempuan, jadi terasa ganjil dan eufimistik.

Pada akhirnya, dengan garapan yang hampir keseluruhan meniru film terdahulu, maka menonton film ini di bioskop terasa seperti kesia-siaan. Mestinya Gary bisa menonjolkan kebaruan, alih-alih hanya mengganti pemerannya jadi perempuan saja. Feminisme toh tak begini-begini amat.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid