sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ancaman krisis multidimensi di balik pemindahan ibu kota ke Kaltim

Di antaranya, banjir sudah merendam banyak rumah warga di ring 1 lahan calon ibu kota negara baru.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Kamis, 23 Des 2021 09:08 WIB
Ancaman krisis multidimensi di balik pemindahan ibu kota ke Kaltim

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memastikan ibu kota baru akan berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim). Jokowi menganggap beban Pulau Jawa sudah terlalu berat dengan penduduk yang mencapai 150 juta (54%) dari total penduduk Indonesia.

Apalagi, posisi Pulau Jawa sebagai sumber ketahanan pangan. DKI Jakarta, kata Jokowi, saat ini memiliki beban berat sebagai ibu kota, pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, hingga pusat perdagangan. Bahkan, lokasi bandara dan pelabuhan terbesar di Indonesia juga berada di DKI Jakarta.

Jokowi mengungkapkan, beberapa alasan memilih Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai ibu kota baru. Pertama, risiko bencana dari banjir, gempa, tsunami, kebakaran hutan dan lahan, letusan gunung api, dan tanah longsor diklaim lebih jarang terjadi disana. Kedua, lokasinya strategis karena berada di tengah Indonesia. Ketiga, pembangunan ibu kota baru akan dimulai dari nol. Maka, kedekatan lokasi dengan daerah yang lebih berkembang akan memudahkan pembangunan. Lokasi ibu kota baru berdekatan dengan Kota Balikpapan dan Kota Samarinda.

Keempat, lahan lokasi ibu kota baru disebut daerah dengan lahan kosong yang luas. Sekitar 180.000 hektare lahan di lokasi ibu kota baru diklaim milik pemerintah, sehingga memudahkan dalam membangun tanpa terlalu direpotkan dengan urusan pembebasan tanah.

Menanggapi hal itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim Yohana Tiko membantah semua klaim Jokowi terkait alasan pemindahan ibu kota baru. Ia pun mengungkapkan, banjir setinggi 1-2 meter terjadi di Desa Bukit Raya dan Desa Sukaraja di Sepaku, Penajam Paser Utara pada 16-17 Desember 2021.

Ia menyebut, beberapa desa di Kecamatan Sepaku sudah terancam banjir parah sejak 2018. Bahkan, banjir sudah merendam banyak rumah warga di ring 1 lahan calon ibu kota negara baru.

Provinsi Kaltim, kata dia, 73% sudah menjadi konsesi pertambangan, perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan hutan tropika humida (HTH).

“Ini sudah ada beban ekologis tersendiri,” ucapnya dalam program Talking with Alinea.id, Rabu (22/12).

Sponsored

Ia menilai, mega proyek ibu kota negara baru di Kaltim akan melegalisasi penggusuran melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertahanan. Ke depan, warga yang tinggal di lokasi calon ibu kota baru akan terancam kriminalisasi karena mempertahankan tanahnya. Jika tidak ada bukti surat kepemilikan tanah, maka dianggap milik negara. Padahal, warga yang tinggal di lokasi calon ibu kota baru merupakan masyarakat adat yang mengukur kepemilikan tanah menggunakan batas alam, bukan bukti surat kepemilikan.

Di sisi lain, mega proyek ibu kota baru berpotensi menimbulkan korupsi jika ditilik dari skema dananya yang bernilai triliunan. Pendanaan mega proyek ibu kota baru menggunakan skema APBD bertahap per tahun, BUMN melalui kerja sama dengan badan usaha, serta swasta via kerja sama pemanfaatan.

Kehadiran ibu kota negara di Kaltim akan memperparah krisis sumber air, mengancam kawasan hutan lindung Sungai Wain, dan konservasi di Teluk Balikpapan. Lokasi calon ibu kota baru juga akan mengancam jalur satwa endemik, seperti bekantan.

Bendungan Sepaku Semoi yang direncanakan dibangun tahun depan, kata dia, akan membendung aliran air tawar yang mengalir menuju Teluk Balikpapan. Imbasnya, mengancam kehidupan satwa endemik, seperti pesut, hingga dugong.

Ia pun mengingatkan, sudah terjadi krisi ketersediaan air bersih di kota Balikpapan. Proyek strategis nasional, seperti jalan tol akan memperparah ketersediaan air bersih disana. Imbasnya, pemerintah setempat mengambil sumber air dari bekas lubang tambang tanpa didasari penelitian yang sangat kuat. Padahal, air bekas lubang tambang berpotensi terkontaminasi berbagai logam berat.

Selain itu, mega proyek ibu kota baru di Kaltim disebut merupakan ‘pemutihan’ pelanggaran HAM. Perusahaan-perusahaan lepas tanggung jawab terhadap konsesi dan bekas lubang tambang yang sudah sangat banyak.

“Ini pemerintah yang akan melakukan reklamasi. Pemerintah juga memutihkan perampasan ruang hidup masyarakat dan kriminalisasi yang sudah sejak dulu,” tutur Yohana.

Berita Lainnya
×
tekid