sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Baiq Nuril: Korban pelecehan seksual yang terjerat UU ITE

Baiq Nuril mengalami pelecehan seksual verbal, namun malah dijerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Jumat, 16 Nov 2018 18:30 WIB
Baiq Nuril: Korban pelecehan seksual yang terjerat UU ITE

Mantan pegawai tata usaha di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, Baiq Nuril Maknun belakangan menjadi perbincangan publik, karena kasus yang menimpanya. Bila ditarik mundur, kasus ini berawal pada 2012 lalu.

Awalnya, Nuril menerima telepon dari atasannya, mantan kepala sekolah SMAN 7 Mataram Muslim. Perbincangan, hanya lima menit menyoal pekerjaan. Selebihnya, Muslim mengisahkan pengalaman seksualnya dengan perempuan bukan istrinya.

Merasa tidak nyaman dan menganggap perbincangan tersebut mengarah ke pelecehan seksual verbal, Nuril lalu merekam percakapannya itu. Kemudian, ibu tiga anak tersebut menceritakan pengalamannya itu kepada rekan kerjanya, Imam Mudawin.

Kasus menyeruak pada 2014. Telepon genggam tersebut dipinjam Imam. Kemudian, rekaman itu tersebar luas ke beberapa guru dan siswa. Muslim yang marah, lalu melaporkan hal ini kepada polisi.

Nuril menjadi tersangka dan dijerat Pasal 27 Ayat 1 Juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Terhitung 24 Maret 2017 menjadi tahanan di Mapolda NTB. Akan tetapi, hakim Pengadilan Negeri Mataram membebaskan Nuril dari seluruh dakwaan.

Namun, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 26 September lalu, Mahkamah Agung memutus Nuril bersalah atas pencemaran nama baik.

Putusan Kasasi Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang baru diterima pada 9 November lalu menyatakan Nuril bersalah. Hakim Agung Sri Murwahyuni menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta, subsider tiga bulan kurungan pada Nuril.

Tak bisa dipidana

Sponsored

Berdasarkan informasi yang diterima Alinea.id dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), penasihat hukum Nuril mengatakan, jaksa akan mengeksekusi kliennya pada 21 November 2018 mendatang.

“Hingga saat ini salinan putusan kasasi Mahkamah Agung belum diterima pihak penasihat hukum selaku kuasa dari Baiq Nuril,” tulis Direktur Eksekutif ICJR Anggara dalam rilisnya, Jumat (16/11).

Sontak saja, keputusan Mahkamah Agung mendapat banyak kritik publik. Peneliti ICJR Genoveva Alicia mengatakan, Nuril sebagai seorang korban pelecehan seksual seharusnya mendapat perlindungan negara.

“Hak-hak Bu Nuril untuk melaporkan perbuatan yang terjadi terhadapnya seharusnya bisa dilaksanakan. Di kasus ini, Bu Nuril bahkan tidak dapat mengemukakan apa yang terjadi kepadanya,” kata Genoveva ketika dihubungi, Jumat (16/11).

Baiq Nuril menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Mataram, beberapa waktu lalu. (twitter.com/Lincekeeva).

ICJR sendiri, menurut Genoveva, sudah pernah mengirimkan amicus curiae—pihak yang memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan—ke Pengadilan Negeri Mataram. Genoveva mengatakan, Nuril tak bisa dijatuhi hukuman pidana, karena tiga faktor.

Pertama, berdasarkan fakta persidangan, Nuril tidak pernah menyebarkan konten pelanggaran asusila tersebut. Ada pihak lain yang menyebarkan rekaman percakapan antara Muslim dan Baiq Nuril.

Kedua, syarat mutlak itu tidak terbukti, karena dalam fakta persidangan Nuril tidak pernah mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diakses konten tersebut dalam sebuah sistem elektronik.

Ketiga, tindakan Nuril merekam percakapannya dengan Muslim adalah bagian dari upaya pembelaan diri, dan tindakan peringatan kepada orang lain, agar tak menjadi korban Muslim.

Korban pelecehan

Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin peribahasa tersebut sangat pas disematkan kepada Nuril atas masalah yang menjeratnya.

Selain dituding melanggar UU ITE, sebenarnya Nuril merupakan korban pelecehan seksual. Berdasarkan sejumlah informasi yang dihimpun, Nuril kerap mendapatkan telepon dari mantan kepala sekolah SMAN 7 Mataram, bernada pelecehan. Bahkan, dirinya sempat diajak menginap di hotel.

Kasus pelecehan seksual di negeri ini seakan menjadi kisah usang yang berulang kali terjadi. Sebelumnya, seorang mahasiswi FISIPOL Universitas Gadjah Mada Agni (nama samaran) mengaku diperkosa temannya, saat menjalani kuliah kerja nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, membuat publik geram.

Menurut Genoveva, poin utama kasus pelecehan seksual sulit mendapat keadilan, terletak pada hukum acara. Genoveva mengungkapkan, saat ini hukum acara terlalu kaku untuk memberikan ruang bagi perempuan.

Surat Baiq Nurul dan anak bungsunya meminta keadlian ke Presiden Joko Widodo. (twitter.com/MuhadklyAcho).

“Sehingga kebutuhan-kebutuhan khusus dari korban pelecehan dan kekerasan seksual, saat terlibat dalam sistem peradilan pidana tidak dapat terpenuhi,” kata dia.

Genoveva memberikan contoh, untuk korban perkosaan, saat ini bila ingin melapor harus melakukannya dengan segera, demi kepentingan pembuktian. Padahal, kata Genoveva, korban mengalami trauma, yang memerlukan waktu dan pendampingan untuk bangkit.

Di sisi lain, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Magdalena Sitorus melihat, banyak kasus pelecehan yang tak ditangani dengan baik. Penyelesaian kasusnya pun, menurut Magdalena, tidak berperspektif korban dan perempuan. Selama ini, kata Magdalena, untuk pembuktian kasus kekerasan dan pelecehan seksual sangat sulit.

“Perspektifnya juga selalu membicarakan pelaku, pelaku, dan pelaku. Ini yang harus diubah,” kata Magdalena.

Selain itu, Magdalena juga melihat, ada ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan Nuril.

Hantu UU ITE

Publik tentu masih ingat kasus yang menimpa Prita Mulyasari pada 2009 lalu. Prita ditahan di lapas perempuan Tangerang. Dia dianggap mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional, lantaran mengeluh pelayanan rumah sakit itu melalui surat elektronik.

Namun, kasus Nuril tentu saja menarik. Masalahnya, bila dicermati, Nuril adalah korban pelecehan seksual, yang justru dituding bersalah memakai UU ITE.

Genoveva menyebutkan, Pasal 27 UU ITE merupakan “pasal karet”. Banyak unsur yang tak jelas penafsirannya.

“Sehingga dalam praktiknya, seringkali ditafsirkan dengan tidak berhati-hati oleh aparat penegak hukum,” ujarnya.

Sementara itu, Magdalena juga mengkritik putusan Mahkamah Agung, yang hanya melihat perkara Nuril dari kacamata UU ITE.

Padahal, menurut Magdalena, ada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Namun, peraturan tersebut malah diabaikan Mahkamah Agung.

UU ITE, kata Magdalena, disahkan untuk menjawab tantangan digunakannya teknologi untuk melakukan kejahatan. Sementara, Nuril menggunakan teknologi untuk membela dirinya dari kejahatan yang paling sulit dibuktikan dalam sistem hukum di Indonesia.

“Jadi gimana loh? Mestinya kasus ini harus dilihat secara dalam, dan saya pikir ini harus ada penyidikan lebih lanjut,” kata Magdalena.

Anindya Shabrina Joediono sempat pula tertimpa kasus serupa dengan Nuril. Dia pernah dituduh melanggar UU ITE oleh pelaku yang melecehkannya.

Peristiwa berawal pada 6 Juli 2018. Saat itu, Anindya menghadiri diskusi dan pemutaran film Biak Berdarah di Asrama Papua, Surabaya. Kemudian, sejumlah aparat datang membawa senjata laras panjang.

“Saya minta surat tugasnya mana, mereka tidak bisa memberikan dengan alasan pelaksananya itu sudah camat,” kata Anindya.

Mereka, lanjut Anindya, juga menggunakan alasan Operasi Yustisi. Padahal, menurut sepengetahuannya, dalam peraturan menteri, pelaksana Operasi Yustisi tersebut bukan kepolisian, tetapi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil).

Kepolisian, menurut penuturan Anindya, menggunakan alasan tersebut untuk membubarkan diskusi. Setelah itu, terjadi keramaian dan pelecehan yang menimpanya.

Anindya lalu mengunggah kronologi intimidasi dan pelecehan seksual yang menimpanya di media sosial. Namun, dirinya justru dilaporkan oleh aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Untuk kasusnya, telah ada pendampingan dari pengacara. Anindya mengatakan, dia menyerahkan segala proses hukum yang menjeratnya kepada pengacaranya.

Melihat kasus serupa yang terjadi pada Nuril, Anindya sangat mengecam putusan Mahkamah Agung terkait kasasi jaksa penuntut Nuril. Anindya heran melihat korban pelecehan seksual seperti Nuril, yang dijatuhi hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.

Kok bisa? Apalagi bukan Bu Nuril penyebarnya, itu kan nggak masuk akal sebetulnya. Apalagi Bu Nuril sudah tidak bekerja. Hakim ini seperti tidak bijaksana dalam memberikan keputusan,” katanya.

Melihat hal tersebut, Anindya yang juga sekretaris Paguyuban Korban Undang-undang ITE (PAKU ITE) berinisiatif menginisiasi penggalangan dana di situs KitaBisa.com sejak tiga hari yang lalu. Hingga saat ini, telah terkumpul Rp227.817.368 untuk membayar denda kasus Nuril sebesar Rp500 juta.

Berita Lainnya
×
tekid