sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Delik agama dinilai Lembaga Keumatan rawan konflik

Lembaga Keumatan juga khawatir akan beberapa hal berkaitan dengan Delik Agama yang justru mengancam kehidupan keagamaan dan toleransi.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Senin, 26 Mar 2018 22:19 WIB
Delik agama dinilai Lembaga Keumatan rawan konflik

Lembaga Keumatan yang diwakili oleh berbagai berbagai lembaga seperti  Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),  Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Niciren Syosyu Indonesia (NSI) dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), Senin (26/3), menyatakan sikapnya terhadap Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Apresiasi  turut diberikan oleh lembaga-lembaga keumatan tersebut terhadap pemerintah dalam merancang KUHP. Meski begitu, Lembaga Keumatan tersebut juga khawatir akan beberapa hal berkaitan dengan Delik Agama yang justru mengancam kehidupan keagamaan dan toleransi. Apalagi, rancangan pasal-pasal yang dibuat  masih bermasalah.

Sekertaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI, Henrek Lokra menyampaikan beberapa catatan kritis yang berkenaan dengan cakupan ketentuan pidana. Setidaknya ada dua bagian dari rancangan UU tersebut yang dikritisi olehnya.

Bagian pertama, seperti yang tercantum dalam pasal 348 - pasal 350 tentang tindak pidana terhadap agama yaitu ada beberapa poin yang menjadi catatannya. Rinciannya, berkaitan dengan melakukan penghinaan agama hingga menyebarluaskan penghinaan agama melalui media tulisan, gambar, rekaman dan melalui sarana teknologi informasi. 

Kemudian, melakukan tindak pidana dengan penghinaan agama. Terakhir, menghasut agar meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut sah di Indonesia.

Berhubungan dengan penghinaan agama secara konseptual dinilai hanya bisa ditujukan kepada seseorang. Kemudian di dalam pasal 110 KUHP yang masih berlaku sampai saat ini, terdapat delik yang disebut delik subyektif.

Padahal, agama bukan subyek yang dapat merasa terhina. Apabila, delik penghinaan agama seperti dalam RKUHP dipertahankan, akan ada kesulitan dalam pembuktian.  Apalagi belum jelas siapa yang berhak menentukan atau mewakili agama jika agama telah terhina.

Bagi Lembaga Keumatan, pasaI-pasal semacam ini bahkan berpotensi mengajarkan masyarakat untuk bersikap intoleran dan jauh dari pedoman Bhinneka Tunggai Ika. 

Sponsored

Sebagai informasi, sebelumnya sidang majelis umum PBB juga pernah dibahas mengenai resolusi penghinaan agama. Akan tetapi, pada perkembangannya yang disepakati adalah resolusi tentang melawan intoleransi dan kebencian berdasarkan agama.

Seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia sepakat bahwa penghinaan agama adalah perbuatan intoleransi, pelabelan negatif, diskriminasi dan hasutan kekerasan terhadap orang lain berdasarkan agamanya. 

"Karena itu kami berpendapat pasal penghinaan agama tidak diperlukan," katanya saat pernyataan pers lembaga Keumatan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Grha Oikumene PGI, Jakarta.

Lebih lanjut, Lembaga Keumatan meminta DPR untuk melibatkan elemen masyarakat secara setara. Khususnya Iembaga keumatan dalam proses perbaikan dan penyempurnaan pasal-pasal RKUHP. Terakhir, menunda pengesahan RKUHP.

Berita Lainnya
×
tekid