sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gaduh komunisme dan kejanggalan di RUU Haluan Ideologi Pancasila 

PDI-P dituding tak mau TAP MPRS yang mengatur larangan komunisme masuk jadi konsideran RUU tersebut.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Sabtu, 13 Jun 2020 16:42 WIB
Gaduh komunisme dan kejanggalan di RUU Haluan Ideologi Pancasila 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kecele saat Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) disahkan dalam rapat paripurna DPR, Senayan, Jakarta, pertengahan Mei lalu. Dalam draf RUU itu, TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme ternyata "raib". 

Padahal, menurut Wakil Ketua Majelis Syura PKS Hidayat Nur Wahid, TAP MPRS itu disepakati fraksi-fraksi bakal menjadi salah satu konsideran dalam RUU HIP.  Kesepakatan itu dicapai dalam rapat terakhir di Baleg. 

"Oh, itu sudah. Itu sudah diperdebatkan di Baleg dan waktu di Baleg dijanjikan akan diakomodasi," kata Hidayat saat berbincang dengan Alinea.id melalui sambungan telepon, Selasa (9/6).

Meski mendapat penolakan, RUU HIP masuk dalam Prolegnas prioritas dan resmi disetujui menjadi RUU usulan inisiatif DPR. Dalam susunan panitia kerja (panja) DPR, politikus PDI-Perjuangan Rieke Diah Pitaloka ditunjuk sebagai ketua.

Menurut Hidayat, partai-partai bernafaskan Islam umumnya setuju TAP MPRS XXV Tahun 1966 itu masuk dalam konsideran RUU HIP. Dalam rapat-rapat di Baleg, hanya PDI-P yang umumnya memandang TAP MPRS tersebut tak perlu dimasukan. 

"Beberapa (fraksi) sudah menyampaikan bahwa kalau tidak dimasukan, mereka akan menarik dari pembahasan. Termasuk PKS, termasuk PAN, PPP, termasuk Demokrat, dan NasDem. Itu posisinya," kata dia.

Penolakan PDI-P, kata Hidayat, juga disuarakan anggota Baleg DPR Hendrawan Supratikno pada 5 Mei lalu. "Sampai hari ini belum ada pernyataan lain dari PDI-P yang menyatakan mencabut pernyataan dari Prof Hendrawan atau yang menyatakan bahwa itu bukan pernyataan fraksi, tapi pernyataan pribadi," tuturnya. 

Dalam draf RUU HIP, ada 58 pasal dan delapan peraturan yang dijadikan konsideran. Delapan peraturan yang dijadikan rujukan atau konsideran, yakni UUD 1945, TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

Sponsored

Konsideran lainnya ialah TAP MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Menurut Hidayat, delapan peraturan yang dijadikan konsideran itu justru tidak berkaitan dengan Pancasila. Peraturan-peraturan yang terkait secara langsung justru tak masuk jadi pertimbangan dalam menyusun RUU. 

"Sudah ada TAP MPRS No XXV tahun 1966 yang tegas menyebutkan bahwa PKI adalah partai terlarang dan larangan penyebaran ideologi komunisme, atheisme, Leninisme dan seterusnya itu," jelas dia.

Sejumlah anggota DPR menghadiri Rapat Paripurna masa persidangan III 2019-2020 secara langsung, di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (12/5). /Foto Antara

Kejanggalan-kejanggalan RUU HIP

PKS juga meminta pasal-pasal terkait “trisila”, “ekasila” dan “Ketuhanan yang berkebudayaan” dalam RUU HIP dihapus dan makna Pancasila dikembalikan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Menurut Hidayat, makna Pancasila yang tertulis di RUU itu diambil dari pidato Soekarno pada 1 Juni 1945. 
 
"Jika dibaca dalam Pasal 7, itu seperti yang dimaksud adalah Pancasila (ditetapkan) 1 Juni. Di situ disebutkan inti Pancasila adalah trisila, bisa menjadi ekasila, dan gotong royong. Lha, itu kan Pancasila 1 Juni, bukan Pancasila yang disepakati para founding fathers secara final, yaitu Pancasila 18 Agustus," kata dia.

Lebih jauh, Hidayat mengatakan, PKS juga mempersoalkan posisi RUU HIP. Dalam draf, menurut dia, RUU HIP seolah-olah diposisikan sebagai UU induk yang mengatur UU dan regulasi lainnya. 

"Kebijakan negara, kebijakan menteri harus merujuk pada RUU ini. Ini kan menjadi seolah-olah UUD. Seolah-olah dia adalah Pancasila itu sendiri," kata Hidayat.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas meminta DPR tidak terburu-buru membahas RUU HIP. Menurut dia, materi draf RUU HIP masih perlu didalami, dibahas dalam forum terbuka, atau bahkan direvisi. 

Selain absennya TAP soal larangan komunisme, menurut Yaqut, ada beberapa catatan penting bagi DPR sebelum pembahasan RUU HIP, semisal konsideran RUU HIP tidak menyertakan Perppu No. 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menjadi landasan hukum pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). 

"Ini juga harus diperbaiki. Jangan sampai lahirnya UU nanti menjadi amunisi baru bagi kelompok-kelompok radikal dan intoleran untuk bangkit lagi," kata Gus Yaqut dalam keterangan pers yang diterima Alinea.id, Rabu (10/6) lalu. 

GP Ansor, kata Yaqut, menilai substansi RUU HIP juga berupaya menyekulerkan Pancasila saat mencantumkan agama, rohani, dan budaya dalam satu baris kalimat. Padahal, inti dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. "Ini mencerminkan pandangan sekularisme yang berlawanan dengan sila pertama," kata dia. 

Dari catatan-catatan itu, Yaqut mengatakan, wajar jika publik kemudian menduga RUU HIP adalah upaya terselubung eks PKI dan kelompoknya untuk melancarkan "balas dendam sejarah".

"Sejarah tidak boleh terulang ketiga kalinya. Cukup. Lebih baik DPR ikut fokus pada penanganan dan penanggulangan pandemi virus corona terlebih dahulu," ujar dia. 

Saat dikonfirmasi Alinea.id soal penyataannya di media terkait RUU HIP, politikus PDI-P Hendrawan Supratikno kini irit bicara. Menurut dia, RUU HIP kini berada di tangan duet Rieke Diah Pitaloka dan Ahmad Basarah. 

"Oh itu Mba Rieke juru bicaranya, ya. Ibu Rieke Diah Pitaloka atau Pak Ahmad Basarah. Kalau saya (menangani) omnibus law, ya," ujar Hendarawan di Jakarta, Selasa (9/6).

Dalam webminar bertajuk "Peran Pancasila dalam Dinamika Pembangunan Nasional", Rabu (10/6) lalu, Basarah menegaskan RUU HIP tak akan memberi ruang bagi komunisme untuk bangkit. Ia menegaskan, DPR pun membuka partisipasi publik untuk menyempurnakan isi RUU tersebut.

"Kita berharap RUU HIP ini segera dibahas antara pemerintah dan DPR serta melibatkan partisipasi publik sehingga tugas negara untuk melakukan pembinaan ideologi Pancasila punya landasan hukum yang kokoh," tutur Basarah.

Massa Front Pembela Islam (FPI) dan Front Pancasila membakar kain bersimbol komunis di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (28/4/2016). /Foto Antara

Bahaya politisasi isu komunisme 

Pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Indra Perwira mengatakan pembahasan RUU HIP perlu diawasi. Jika disahkan, Indra khawatir materi RUU itu bakal menghadirkan ancaman baru terhadap kebebasan berpendapat.

"Bagaimana kalau ada pemahaman lain (mengenai Pancasila yang berbeda) dengan isi undang-undang itu? Apakah langsung dicap anti-Pancasila? Ini kan berbahaya, ya," kata Indra kepada Alinea.id, Rabu (10/6).

Ketimbang diformalisasi ke dalam UU, Indra menyarankan agar DPR dan pemerintah memberikan kebebasan terhadap warga negara untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila. Menurut dia, ideologi sebaiknya dibiarkan tetap dinamis. 

"Jadi, ideologi itu biarkanlah berkembang. Ideologi itu tidak statis. Contoh, liberal zaman dahulu dengan zaman sekarang jauh bedalah. Sosialisme zaman Marx, Hegel, Engel dan sekarang udah beda. China aja--negara yang komunis sekarang lebih maju ekonominya--kan (ideologinya) tidak murni sepenuhnya seperti zaman Marx," jelas Indra. 

Buku-buku yang membahas PKI dan gerakan kudeta pada 30 September 1965. /Wikimedia Commons

Meski Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah dinyatakan sebagai partai terlarang, Indra menilai, polemik RUU HIP berisiko membuka luka lama terkait komunisme di Indonesia. Padahal, lanjut Indra, ancaman saat ini bukanlah soal ideologi, melainkan ketahanan pangan dan pengaruh asing.

"Kita sudah coba melupakan itu. Kemudian dengan itu (RUU HIP), seperti muncul ancaman komunis lagi. Di Eropa, di Prancis menang partai komunis (sosialis). Mau apa? Mau ngomong lagi soal ancaman terhadap Pancasila? Ya, bukanlah. Bukan di situ lagi ancamannya. Kalau mau menegakkan Pancasila, ciptakan keadilan sosial dulu. Enggak usah pakai ini-itu," tutur dia. 

Pakar komunikasi politik Universitas Mercu Buana Jakarta Syaifuddin mengatakan isu kebangkitan komunis bukan perdebatan baru dalam percaturan politik di Tanah Air. Menurut dia, isu PKI kebanyakan hanya jadi jualan partai politik untuk mencari dukungan massa.

"Per hari ini, isu PKI ini kan jualan. Politik jualan mereka saja. Sebetulnya tidak ada (kebangkitan PKI). Kenapa TAP MPRS 66 itu tidak dimasukan sebagai salah satu konsideran? Sebetulnya itu enggak perlu diletakkan karena ini (komunis) kan jualan politik," kata Syaifuddin.

Syaifuddin mengatakan tak ada yang perlu ditakutkan terkait komunis. Meski menganut komunisme, menurut dia, banyak negara yang justru praktik-praktik ekonominya bernuansa kapitalis. "China, misalnya. Ideologinya komunis, tapi praktik hidupnya sangat kapitalistik," jelas dia.

Lebih jauh, Syaifuddin menyesalkan isu kebangkitan PKI dan komunisme terus-menerus diembuskan. Menurut dia, politisasi isu tersebut malah potensial mengganggu stabilitas politik nasional. 

"Kita tidak bela Jokowi, tapi membutuhkan situasi politik nasional itu stabil agar proses ekonomi bisa berjalan dengan baik. Saya sangat menyayangkan isu-isu seperi ini terus diembuskan," kata dia. 


 

Berita Lainnya
×
tekid