Wakil Ketua MPR, Jazilul Fawaid, menilai, penegak hukum belum memahami prinsip keadilan restoratif (restorative justice) menyusul terjadinya pemidanaan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap seorang ibu di Aceh dengan dalih pencemaran nama baik.
"Semestinya kasus seperti ini bisa dijadikan contoh untuk penerapan restorative justice yang sekarang sudah diatur melalui Peraturan Kejaksaan Agung (Kejagung)," katanya, Rabu (3/3).
Seorang ibu bernama Isma Khaira dipenjara karena divonis bersalah dan dihukum 3 bulan kurungan. Dia lalu mengajak bayinya, yang berusia 6 bulan, lantaran masih membutuhkan ASI.
Kasus bermula dari ketidakterimaan kepala desa atas kiriman video pertengkaran yang memuat dirinya oleh Isma di Facebook. Kepala desa tersebut lantas melaporkan Isma ke kepolisian menggunakan UU ITE atas dugaan pencemaran nama baik.
"Bagaimana seorang ibu yang masih menyusui harus mendekam di sel tahanan hanya karena persoalan seperti ini?" ucap Jazilul.
Dia lantas meminta Jaksa Agung membina personelnya sehingga prinsip keadilan restoratif tercapai. "Agar hukum memberikan rasa keadilan, tidak hanya tajam ke bawah, itu juga diimplementasikan oleh aparaturnya yang ada di bawah."
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini melanjutkan, kasus-kasus serupa, yang umumnya menjerat rakyat kecil, kerap terjadi. Karenanya, dirinya mendorong UU ITE direvisi.
"Jangan lantas karena orang yang enggak berdaya, kemudian gampang dikenakan pasal-pasal tertentu. Itulah mengapa saya minta UU ITE itu direvisi total karena kalau tidak, maka akan ada korban serupa lainnya karena semangat awal dari UU ITE bukan seperti yang sekarang ini," tuturnya.