sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

ICW beber cara perbaiki IPK Indonesia yang anjlok

ICW sarankan pemerintah batalkan Undang-Undang KPK hasil revisi 2019.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Kamis, 11 Feb 2021 21:00 WIB
ICW beber cara perbaiki IPK Indonesia yang anjlok

Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia melorot dari skor 40 pada 2019 menjadi 37 pada 2020. Untuk memperbaikinya, kata Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, perlu ada langkah besar yang diambil pemerintah.

Pertama, pemerintah harus mengubah perspektif pemberantasan korupsi bukan lagi mengabdi kepada kepentingan ekonomi, tapi mendesain kebijakan ekonomi yang berbasis antikorupsi. Tujuannya, agar distirbusi resources dan pengambilan keputusan di bidang ekonomi lebih transparan dan akuntabel.

"Dan jelas siapa sebenarnya yang akan diuntungkan: Apakah masyarakat atau hanya segelintir elite yang kebetulan ikut men-drive agenda-agenda kebijakan yang disusun," ujarnya di diskusi dalam jaringan "Visi Integritas," Kamis (11/2).

Kedua, menguatkan kembali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan membatalkan Undang-Undang KPK hasil revisi 2019. Menurut Adnan, perubahan beleid lembaga antirasuah juga menjadi aspek yang membuat IPK Indonesia 2020 anjlok.

Adnan menjelaskan, kelompok masyarakat sipil masih berproses di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam judicial review UU KPK 2019. Diharapkan, hakim MK juga melihat perspektif IPK saat memutus gugatan.

"Jangan karena bicara mengenai tawar-menawar politik," ujarnya.

Langkah lain, kata Adnan, dalam kebijakan legislasi semestinya memprioritaskan penguatan regulasi pemberantasan korupsi. Misalnya, perbaikan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang terkahir direvisi 20 tahun lalu, dan kembali membahas RUU Perampasan Aset, yang hampir 15 tahun mandek.

"Termasuk juga yang pernah digagas oleh Pemerintah Jokowi di awal periode pemerintahannya, (Rancangan) UU Pembatasan Transaksi Tunai. Ini juga akhirnya berhenti karena kalah saing dengan UU Cipta Kerja, (revisi) UU Minerba, dan UU kontroversial lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat," jelasnya.

Sponsored

Berikutnya, di sektor pencegahan Adnan berpandangan Presiden Jokowi adalah penanggungjawab utama implementasi strategi nasional pencegahan korupsi. Menurut dia, program itu perlu dievaluasi karena sejak dimulai 2018 sampai saat ini, tidak membuahkan hasil maksimal malah pada 2020 IPK Indonesia merosot.

Di sisi lain, demi mendongkrak IPK Indonesia di masa mendatang, Adnan mengusulkan perlu ada perubahan pandangan melihat pemberantasan korupsi. Dia mengusulkan harus kembali kepada strategi trisula, yakni penindakan, pencegahan, dan pendidikan, yang dilihat secara satu paket.

Adnan pun menyarakan agar pemerintah memperkuat partisipasi rakyat demi memperbaiki IPK Indonesia. Pelapor dan saksi korupsi, lanjutnya, harus dilindungi bukan dikriminalisasi, lantaran tanpa pengawasan rakyat, pemberantasan rasuah tak efektif.

Pada sisi lain, Adnan turut menyoroti peran pers demi menaikkan IPK Indonesia. Menurutnya, media massa punya peran penting dalam mengawasi pemerintah, meskipun dia khawatir dengan penguasaan media oleh orang-orang yang turut berpolitik.

"Bahkan menjadi ketua umum partai politik. Bagaimana pers itu bisa sehat kalau dari sisi kepemilikan medianya dikuasai oleh mereka-mereka yang ada di kelompok oligarki," katanya.

Terkahir, imbuh Adnan, Presiden Jokowi harus tanggung jawab atas melorotnya IPK Indonesia. Dia heran karena belum ada pernyataan langsung dari Jokowi, sementara sampai kini respons baru diberikan dari juru bicara Fadjroel Rachman.

"Kalau itu dipegang saya kira tahun depan IPK mungkin bisa naik, meskipun naiknya satu atau dua. Akan tetapi, memang perlu ada langkah besar. Karena kerusakan yang ditimbulkan juga dilakukan dengan langkah besar yang kemarin sudah kita lihat dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial," kata Adnan.

Jangan lips service

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, turut menyarankan agar IPK Indonesia membaik. Menurutnya pemerintah harus punya kemauan politik yang sungguh-sungguh.

"Karena saya lihat sejauh ini kemauan politik itu hanya basa-basi, lips service, dan gimmick gitu ya," ujarnya.

Azra mengatakan itu berkaca dari pengalaman saat diundang Jokowi ke Istana Negara ketika dia ikut menolak revisi UU KPK. Menurutnya, saat itu Presiden mempertimbangkan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk batalkan revisi UU KPK, tapi yang terjadi sebaliknya. 

"Menurut saya political will itu yang harus dibangkitkan, karena di berbagai penelitian dan survei pemberantasan korupsi, kunci yang paling pertama itu adalah political will, ketegasan, konsistensi dari pemimpin puncak," katanya.

Saran kedua, melakukan reformasi politik karena tidak akan ada political will apabila persekongkolan poltik masih terjadi. Azra berpendapat, salah satu bahayanya kongkalikong politik, yaitu melahirkan regulasi yang tidak memenuhi hajat rakyat banyak, misalnya revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, atau revisi UU Minerba.

"Jadi di dalam survei mengenai demokrasi, indeks demokrasi, yang kemudian beberapa hari setelah IPK itu, kan, kenapa demokrasi kita merosot, salah satunya itu adalah karena budaya politiknya. Budaya politiknya itu bukan budaya politik demokratis, tapi budaya politik oligarkis," ucapnya.

Senada dengan Adnan, Azra pun menyarankan agar UU KPK lama diberlakukan kembali. Saat bersamaan, lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan, Polri, dan peradilan diperkuat. Sebab, salah satu aspek yang membuat korupsi merajalela kerana hukuman tak memberikan efek jera. 

Berikutnya, saran Azra, untuk memperbaiki IPK Indonesia budaya antikorupsi perlu dibangun.

"Misalnya membangun budaya-budaya antikorupsi itu dengan membuat transaksi ataupun hubungan-hubungan yang kemudian harusnya melibatkan uang, itu tidak lagi melalui pembayaran secara cash, tapi melalui transaksi elektronik," usulnya.

Dalam riset Transparency International (TI) Indonesia, IPK Indonesia anjlok tiga poin dari 40 tahun 2019 ke 37 pada 2020. Selain penurunan skor, peringkat juga merosot dari 85 menjadi 102 dari 180 negara.

Di kawasan Asia Tenggara, Singapura jadi negara yang paling tinggi skor IPK 2020, yakni 85. Lalu, Brunei Darussalam 60, Malaysia 51, Timur Leste 40, Indonesia 37, Vietnam 36, Thailand 36, Filipina 34, Laos 29, Myanmar 28 dan Kamboja 21. 

Dalam menentukan skor IPK Indonesia ada sembilan sumber data yang digunakan. Rinciannya, Political Risk Service, Global Insight Country Risk Ratings, dan Economist Intelligence Unit Country Risk Service.

Lalu, IMD Business School World Competitiveness Yearbook, World Economic Forum Executive Opinion Survey, Political and Economic Risk Consultancy, Bertelsmann Stiftung Transformation Index, Varieties of Democracy Project dan World Justice Project Rule of Law Index.

Berita Lainnya
×
tekid