sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Maria Pauline dan seberapa serius negara memburu jarahan para koruptor

Regulasi untuk menyokong upaya mengembalikan aset negara yang dikorupsi masih minim.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 17 Jul 2020 17:06 WIB
Maria Pauline dan seberapa serius negara memburu jarahan para koruptor

Kabur ke luar negeri sejak 2003, Maria Pauline Lumowa, buronan kasus pembobolan kas BNI 46 senilai Rp1,7 triliun, akhirnya berhasil ditangkap. Maria ditangkap di Beogard, Serbia dan dipulangkan ke Tanah Air, Kamis (9/7) lalu. 

Turut menjemput langsung ke Serbia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly berjanji bakal memburu aset-aset Maria yang tersebar di berbagai negara. 

"Setelah proses hukum, ada harta-harta milik tersangka (Maria) yang akan dikejar. Pasti ada asset recovery,” kata Yasonna dalam jumpa pers di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang. 

Dari hasil penelusuran sementara, saat ini Polri baru berhasil menyita duit Rp134 miliar milik Maria yang diduga hasil korupsi. Selain itu, kepolisian juga menyita sejumlah harta bergerak dan harta tak bergerak milik perempuan berkewarganegaraan Belanda tersebut. 

Untuk menjerat Maria dan melacak aset-aset hasil korupsi miliknya, polisi kini telah menggunakan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama S. Langkun mengatakan sudah seharusnya aparat penegak hukum menggunakan pasal-pasal TPPU dalam menjerat para koruptor. Dengan begitu, kekayaaan negara bisa dikembalikan meskipun para pelaku masih buron. 

"Dua hal itu (koruptor dan asetnya) mesti dikejar nih. Jadi, enggak sekadar mengejar orang, tapi juga bagaimana aset hasil kejahatan dipulihkan," kata Tama saat dihubungi Alinea.id, Jakarta, Kamis (16/7).

Menurtu Tama, upaya pengembalian aset-aset yang dikorupsi masih lemah. Itu setidaknya terlihat dari "langkanya" penggunaan pasal-pasal TPPU dalam menjerat para pelaku korupsi serta minimnya duit pengganti yang bisa dikembalikan ke negara via putusan pengadilan.  

Sponsored

"Dalam perkara KTP-el, nilai kerugian triliunan. Berapa sih yang berhasil dikembalikan? Kemudian juga soal keseragaman. Misalnya, dalam perkara Nazaruddin. Itu penindakannya pidana pencucian uang. Yang lain kenapa tidak dipakai? Kalau bicara kerugian negara, pihak yang diuntungkan itu kan semua terbukti di persidangan," tutur dia.

Lemahnya upaya pengembalian aset hasil korupsi tergambar dari kajian ICW mengenai putusan-putusan pengadilan kasus korupsi. Pada 2018, misalnya, ICW mencatat ada 1.053 putusan yang dikeluarkan pengadilan terhadap 1.162 terdakwa kasus korupsi. 

Dari kasus-kasus korupsi yang melibatkan 1.162 terdakwa itu, kerugian negara ditaksir mencapai Rp9,29 triliun. Namun, besaran pidana tambahan berupa uang pengganti yang diputuskan pengadilan hanya Rp805,04 miliar dan US$ 3,01 juta. Artinya, duit yang berhasil dikembalikan negara via putusan pengadilan hanya 8,7%. 

Pada 2019, kajian ICW juga menunjukkan minimnya penggunaan pasal-pasal TPPU. Dari total 1.125 orang terdakwa kasus korupsi dengan total kerugian mencapai Rp8,07 triliun, pasal-pasal UU TPPU hanya dipakai untuk menjerat delapan terdakwa. 

"Saat ini kita masih melihat beberapa penegak hukum masih lebih fokus pada urusan penerapan pidana korupsi saja. Tapi, dalam pidana korupsi misalnya seperti uang pengganti, termasuk penggunaan UU TPPU ini belum menjadi mainstreaming. Ada banyak sekali. Bukan saja perkara yang ditangani KPK saja," kata Tama. 

Dalam upaya mengembalikan kerugian negara, Tama mengusulkan agar penegak hukum mulai menjerat korporasi-korporasi yang diuntungkan pada kasus-kasus korupsi. Langkah tersebut, kata dia, sudah mulai dilakukan KPK dalam beberapa tahun terakhir. 

Pakar pidana pencucian uang Universitas Trisaksi Yenti Ganarsih sepakat penggunaan pasal-pasal TPPU dalam dakwaan pada kasus-kasus korupsi merupakan salah satu instrumen paling efektif untuk mengembalikan duit negara yang digarong. 

"TPPU itu sebetulnya pilihan yang harus ditempuh penegak hukum kalau mau memburu aset koruptor. Itu daripada sekadar UU korupsi. UU korupsi juga ada, yaitu menggunakan putusan tentang mengembalikan kerugian negara. Tapi, itu kan tidak banyak berhasil," kata Yenti kepada Alinea.id, Kamis (16/7).

Namun demikian, Yenti mengatakan, hanya sedikit aparat penegak hukum yang mau menggunakan pasal-pasal TPPU dalam menjerat para pelaku korupsi. Sejak berdiri pada 2002, KPK, yang domain utamanya kasus-kasus korupsi, disebut Yenti, juga masih belum rutin menerapkan pasal-pasal TPPU. 

"KPK juga jarang. Ada beberapa kasus di polisi juga pakai TPPU, seperti kasus penggelapan dan perbankan. Jadi, aneh kan? Begitu korupsi, kok KPK enggak mau (gunakan pasal TPPU). Sangat mengecewakan. Sedikit sekali, enggak ada 10% KPK pakai TPPU dalam kasus korpsi,"  kata dia. 

Tersangka pelaku pembobolan Bank BNI Maria Pauline Lumowa saat ditangkap. /Foto Dok Humas Kemenkumham.

RUU Perampasaan Aset diabaikan 

Upaya pengembalian aset yang dilarikan ke luar negeri sebenarnya telah diupayakan pemerintah dan DPR. Dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Selasa (14/7) lalu, DPR menyepakati RUU Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (MLA) in Criminal Matters antara Indonesia dan Swiss.

Perjanjian MLA ini terdiri dari 39 pasal yang umumnya mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Perjanjian MLA itu juga nantinya dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan.

Namun demikian, peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai MLA antara Indonesia dan Swiss saja tidak cukup. Menurut dia, pemerintah dan DPR seharusnya lebih fokus mengesahkan RUU Perampasan Aset yang sudah masuk Prolegnas 2020.

"Saat ini, pemerintah dan DPR belum mengesahakan RUU tentang Perampasan Aset yang kami yakini itu merupakan paket penting atau pintu masuk untuk dapat memiskinkan pelaku korupsi," kata Kurnia kepada Alinea.id, Rabu (15/7).

Jika RUU itu disahkan, Kurnia mengatakan, penegak hukum tidak lagi bergantung dengan kehadiran para pelaku korupsi di Indonesia. Sekalipun buron, aset mereka yang diduga berasal dari kejahatan korupsi bisa dirampas. Metode pembuktiannya pun lebih mudah karena mengadopsi konsep pembalikan beban pembuktian.

"Sepanjang penegak hukum sudah mendeteksi aset milik pelaku korupsi itu diduga berasal dari kejahatan korupsi, maka aset itu dapat dihadirkan di persidangan sebagai obyek persidangan. Jadi, bukan lagi memeriksa orang, tetapi sudah masuk lebih jauh pada hukum progresif untuk memeriksa aset hasil kejahatan," jelas Kurnia.

Sayangnya, pemerintah dan DPR terkesan tidak serius membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset. RUU itu, kata Kurnia, telah menjadi tunggakan legislasi DPR dan pemerintah sejak 2012. "Praktis delapan tahun pihak eksekutif dan legislatif abai dalam peraturan yang sebenarnya menguatkan pemberantasan korupsi," tuturnya. 

Hal senada diungkapkan mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. Menurut dia, pimpinan KPK periode 2015-2019 bahkan sudah mengirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menyelesaikan RUU Perampasan Aset dan revisi UU Tipikor. "Tapi tidak dilakukan. Yang terjadi bahkan mempereteli UU KPK," dia. 

Laode mengakui penggunaan pasal TPPU dalam dakwaan terhadap koruptor-koruptor yang digulung KPK pada periodenya masih tergolong minim. Ia berkilah, dalam banyak kasus korupsi, semua aset milik tersangka atau terdakwa sudah disita sehingga tidak perlu lagi dijerat dengan pasal TPPU.

"Yang kedua, TPPU memerlukan asset tracing yang lama dan biasanya negara-negara yang terlibat tidak kooperatif sehingga sulit ditelusuri. Namun demikian, di zaman saya, kita sudah mulai juga mentersangkakan korporasi sehingga penyelamatan aset bisa maksimal. Bahkan, ada tersangka korporasi dengan memakai TPPU," jelas Laode.

Menurut Laode, menelusuri aset-aset tersangka kasus korupsi tergolong sulit. Untuk menghindari endusan aparat penegak hukum, banyak koruptor menyamarkan hasil jarahan mereka dengan mengganti nama pemilik dan menginvestasikannya dalam usaha yang legal.

"Sehingga butuh persetujuan otoritas negara lain untuk perampasannya. Bahkan, harus melalui putusan pengadilan negara tertentu. Tidak semua negara kooperatif dengan penegak hukum dari Indonesia. China salah satu negara yang paling susah diajak kerja sama," ujar dia.

Terpidana kasus e-KTP Setya Novanto bersaksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, dengan terdakwa mantan Dirut PLN Sofyan Basir di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (12/8). /Antara Foto

Tim pemburu koruptor dinilai tak efektif

Anggota Komisi III DPR Muhammad Nasir Djamil mengakui pengembalian kerugian negara akibat kasus korupsi belum menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR. Itu setidaknya terlihat dari berlarut-larutnya pembahasan RUU Perampasan Aset. 

"Masuk (Prolegnas) aja dia (RUU Perampasan Aset), tapi enggak dikeluarin untuk dibahas. Kalau kita serius ingin mengembalikan aset negara yang dicuri atau mengembalikan uang negara yang dirampok koruptor, mari kita segara bahas RUU itu dan kemudian kita jadikan undang-undang," kata Nasir kepada Alinea.id.

Nasir mengatakan, RUU itu juga penting karena bakal memberikan efek jera bagi para tersangka. Para koruptor yang melarikan diri ke luar negeri, kata Natsir, bakal gigit jari seandainya UU tersebut berlaku dan mampu memiskinkan mereka. 

"Kalau ada UU itu, koruptor kalau mau pergi ke luar negeri, silakan aja. Silakan kau ke mana-mana. Tetapi, harta kau, hasil jarahan kau udah kami ambil. Jadi, lebih strategis seperti itu daripada sibuk-sibuk membentuk tim ini atau tim itu," tuturnya menyinggung rencana Menko Polhukam Mahfud MD mengaktifkan kembali tim pemburu koruptor. 

Menurut Nasir, tim itu tidak bakalan efektif selama RUU Perampasan Aset belum disahkan. "Buktinya sampai sekarang buronan itu masih berkeliaran di luar. Padahal, tim itu ada. Cuma enggak aktif aja selama ini. Setahun-dua tahun barangkali aktif. Nah, selama tim itu aktif, berapa banyak yang ditangkap? Kan enggak signifikan juga," kata Nasir.

Infografik Alinea.id

Kepada Alinea.id, mantan Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) Petrus Selestinus mengatakan, upaya melacak aset koruptor memang bukan perkara gampang. Sebagai salah satu solusi, Petrus menyarankan penegak hukum membarengi gugatan pidana dengan gugatan perdata untuk merampas aset para koruptor. 

"Begitu BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menetapkan angka kerugian negara yang pasti dan nyata, walaupun proses pidananya belum selesai, KPK seharusnya mengajukan gugatan secara perdata. Dengan begitu, semua kekayaan tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bukan hasil kejahatan pun bisa disita untuk menutup kerugian negara," kata Petrus. 

Selama ini, menurut Petrus, langkah mengajukan gugatan perdata itu kerap tak ditempuh KPK, Polri, dan Kejagung. "Mereka lebih asyik di pidana karena bisa injak kaki macam-macam. Kalau perdata mau dapat apa," kaata dia. 

Soal gugatan perdata itu, Tama punya pendapat berbeda. Menurut dia, upaya perdata memakan waktu lama dan potensial tak efektif. Ia mencontohkan kasus TPPU di Yayasan Supersemar yang melibatkan Presiden RI kedua Soeharto. 

"Kan enggak jelas bagaimana ujungnya, eksekusinya. Kita tetap berharap suatu proses pengadilan yang lebih efisen dan lebih cepat supaya tidak dua kali kerja. Kalau perdata, itu menjadi sangat bergantung sama niat jaksa. Kalau jaksa lagi benar atau serius, dia gugat. Kalau dia lagi malas, selesai kita. Padahal, masih ada misteri yang dikejar," ujar Tama. 


 

Berita Lainnya
×
tekid