sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Segudang masalah dalam rumusan rancangan KUHP

Dalam RKUHP tersebut, tidak mengenal pidana tambahan seperti pembayaran uang pengganti

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Senin, 24 Jun 2019 16:47 WIB
Segudang masalah dalam rumusan rancangan KUHP

Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta pemerintah dan DPR tidak terburu-buru mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasalnya, mereka menemukan sejumlah persoalan dalam rumusan RKUHP.

Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Indonesia (MaPPI FH UI) Siska Trisia mengatakan, terdapat sejumlah masalah dalam perumusan pasal dan ketentuan pidana tindak pidana korupsi (Tipikor) di RKUHP.

"Masih terdapat banyak permasalahan mengenai pengaturan tipikor itu sendiri, baik dari segi rumusan pasal hingga ketentuan peralihan yang kurang menjawab permasalahan yang ada," kata Siska dalam diskusi bertajuk "Menelaah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam RKUHP" di Jakarta Pusat, Senin (24/6).

Permasalahan yang ada di antaranya perlunya menjelaskan lebih lanjut ihwal core crime (pidana inti) dalam pemberantasan korupsi. Sebab, penentuan pidana utama di RKUHP akan berdampak pada pasal di Undang-Undang (UU) 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Siska menyoroti, beberapa persoalan rumusan RKUHP terkait pemberantasan korupsi, seperti ihwal pengaturan uang pengganti. Dalam RKUHP tidak mengenal pidana tambahan seperti pembayaran uang pengganti. Padahal, kata dia, dalam Pasal 10 KUHP telah diatur penjatuhan hukuman bagi pelaku korupsi selain pidana pokok ialah pidana tambahan.

"Dalam kasus korupsi, di mana dengan terbukti perbuatan yang merugikan negara, maka segala harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat ditarik kembali sebagai uang pengganti, dengan tujuan agar apa yang telah dinikmati pelaku dikembalikan kepada negara sebagai yang dirugikan. Pertanyaannya, bagaimana jika RKUHP ini berlaku namun aturan mengenai ini tidak ada?" tanya Siska. 

Juga ada masalah pertanggungjawaban korporasi. Siska menyoroti Pasal 52 hingga Pasal 57 RKUHP. Menurut dia, pasal-pasal itu masih perlu penjelasan lebih lanjut.

Misalnya, Pasal 54 RKUHP menyebutkan pelaku tindak pidana korporasi dapat dijatuhi hukuman kepada beberapa subjek, yakni korporasi atau pengurusnya yang memberi perintah atau pemegang kendali korporasi tersebut.

Sponsored

"Polemik yang muncul dalam rumusan ini adanya tumpang tundih dan kerancuan terkait siapa saja yang bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang terjadi," ujar Siska.

Terakhir, ihwal permasalahan pencucian uang. Dalam RKUHP pada Bab XXXVIII Tindak Pidana Khusus bagian keempat mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Pada Pasal 697 hingga Pasal 699 memuat isi sesuai UU TPPU tanpa melakukan perubahan. Akan tetapi, bukan keseluruhan delik melainkan yang bersifat “core crime” saja.

Menurut Siska, ada persoalan yang muncul karena rumusan pasal RKUHP tidak secara tegas mengatur jenis tindak pidana asal (predicate crime) sebagai mana yang diatur dalam Pasal 2 UU TPPU. Selain itu, Pasal 144 ayat 1 huruf b RKUHP mengatur bahwa salah satu sebab gugurnya hak penuntutan adalah karena terdakwa meninggal dunia.

"Padahal dalam Pasal 79 TPPU sekarang, walaupun terdakwa meninggal perkara tetap bisa dilanjutkan dengan mekanisme penuntutan atas harta kekayaan yang patut diduga berasal dari tindak pidana," terang Siska.

Tim peneliti merekomendasikan agar ada penyesuaian antara RKUHP dan UU Tipikor. Perlu ada perbaikan dalam aturan yang bermasalah. Selain itu, pemerintah juga diminta membuat RKUHP yang mengakomodir UNCAC secara tepat.

"Sudah seharusnya aturan yang dibuat di Indonesia sekarang dan ke depan RKUHP disesuaikan dengan UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) mengingat Indonesia sudah meratifikasinya dan itu sebagai bentuk komitmen dari pemerintah Indonesia untuk pemberantasan korupsi di dalam tataran internasional," ujar Siska.

Berita Lainnya
×
tekid