sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Miris, konsumsi rokok mengalahkan telur ayam, daging ayam

Iklan, promosi, dan sponsor rokok secara sistematis, masif, dan terus menerus mengondisikan anak menjadi perokok pemula.

Ghalda Anisah
Ghalda Anisah Selasa, 29 Sep 2020 14:14 WIB
Miris, konsumsi rokok mengalahkan telur ayam, daging ayam

Rokok ternyata telah menjadi sebagai komoditi kedua tertinggi dalam konsumsi rumah tangga di Indonesia. Hal itu berdasarkan laporan Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik 2020. 

“Bahkan rokok dapat mengalahkan telur ayam, daging ayam, dan mie instan,” jelas Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Atas Kesehatan dan Kesejahteraan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPA) Hendra Jamal, dalam webinar, Selasa (29/9).

Hendra menambahkan iklan, promosi, dan sponsor rokok secara sistematis, masif, dan terus menerus mengondisikan anak menjadi perokok pemula. Untuk itu, pemerintah berupaya mengendalikan rokok melalui beberapa peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. 

“Untuk PP Nomor 109 Tahun 2012, kami telah memohon agar revsinya cepat ke luar. Dari situ kita akan melihat bagaimana rokok akan dijual dengan harga mahal, tidak dijual batangan, dan lain-lainnya juga. Kemudian rokok tidak boleh dijual pada anak-anak dan warung-warung tidak boleh ada iklannya lagi,” tambah Hendra. 

Untuk diketahui, laporan Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik 2020 menunjukkan konsumsi rokok menempati peringkat kedua dalam konsumsi rumah tangga di Indonesia pada Maret 2020. Posisi pertama adalah beras, yakni sebesar 20,2% di kota dan 25,3% di desa. Rokok menempati peringkat kedua sebanyak 12,2% di kota dan 10,9% di desa.

Peringkat ketiga adalah konsumsi telur ayam 4,3% di kota dan 3,7% di desa. Selanjutnya adalah daging ayam dengan angka 4,1% di kota dan 2,4% di desa. Di peringkat kelima adalah mie instan dengan angka 2,3% di kota dan 2,1% di desa.

Sementara dokter yang juga pegiat antitembakau Edo Prambudi Thamrin menyebutkan, berdasarkan survei Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), 49,8% responden yang merokok masih mengeluarkan uang untuk membeli rokok selama pandemik coronavirus ini. 

“Dari mereka yang mengaku masih mengeluarkan uang untuk merokok, ada 13,1% orang yang malah meningkatkan pengeluaran merokoknya. Mayoritas dari mereka atau sekitar 77% berpenghasilan kurang dari Rp5 juta dan lebih spesifiknya lagi 9,8% dari mereka berpenghasilan kurang dari Rp2 juta, dan sisanya 17,8% berpenghasilan dari Rp2 juta hingga Rp5 juta,” papar Edo. 

Sponsored

Selain itu, anggaran yang dibutuhkan untuk Covid-19 sebesar Rp503 triliun, padahal selama ini bangsa Indonesia sudah menanggung beben biaya pengobatan yang tinggi untuk penyakit akibat rokok. 

“Di 2019 saja kerugian ekonomi yang ditanggung Indonesia akibat tingginya penyakit konsumsi rokok sebesar Rp446 triliun. 

Untuk itu, Edo berharap harga rokok harus dinaikkan agar rokok lebih sulit di jangkau dan juga dapat mengurangi beban ekonomi yang muncul dari keterjangkauan tersebut. 

Berita Lainnya
×
tekid