sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

MK diharap berani selesaikan dualisme kepemimpinan di DPD RI

"Tinggal keberanian MK, berani atau tidak menerima permohonan dari Ibu Hemas (Ratu Hemas). "

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Rabu, 13 Feb 2019 14:20 WIB
MK diharap berani selesaikan dualisme kepemimpinan di DPD RI

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia periode 2009-2012, Harifin Andi Tumpa, berharap polemik kepemimpinan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dapat segera dituntaskan. Mahkamah Konstitusi (MK), dinilai menjadi kunci penyelesaian dualisme DPD.

Selain MK, Mahkamah Agung (MA) sebenarnya memiliki kewenangan untuk menyelesaikan persoalan ini. Namun dalam perkara ini, MA dinilai telah berpihak karena mengambil sumpah Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD pada April 2017 lalu. 

"Hakim punya wewenang kekuasaan untuk menafsirkan UU. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menyelesaikan konsitusi, karena MA sudah terlibat dalam pusaran sengketa tersebut", kata Harifin dalam diskusi di Hotel Ashey, Jakarta Pusat, Selasa (13/2).

Pendapat yang sama dilontarkan mantan Ketua MK, Mahfud MD. Menurutnya, seharusnya MK lebih berani dan berinisiatif menyelesaikan persoalan ini. Karena Indonesia merupakan negara hukum, maka seharusnya ada pihak yang memutuskan sengketa hukum yang ada.

"Secara yuridis Ratu Hemas dan Pak Farouk masih sah, keduanya mengklaim. Kalau sama-sama sah harus diputuskan, dan harus dianggap sama-sama mempunyai legal standing, kemudian tinggal keberanian MK saja, berani enggak?", tutur Mahfud MD.

Menurut Mahfud MD, MK harus berani membuat terobosan dan menetapkan legal standing agar tidak terjadi kemacetan.

"Tinggal keberanian MK, berani atau tidak menerima permohonan dari Ibu Hemas (Ratu Hemas). Menurut saya yang penting diterima dulu, lalu nanti substansinya diuji," katanya.

Sebelumnya, Gusti Kanjeng Ratu Hemas melaporkan dualisme kepemimpinan di DPD RI ke MK. Gugatan dualisme DPD teregister dengan nomor perkara 1/SKLN-XVII/2019 pada 11 Januari 2019.  

Sponsored

Persoalan ini dimulai saat DPD melakukan pemilihan pimpinan, yang mengangkat Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang sebagai ketua dan dilantik pada 4 April 2017 lalu.

Hemas, bersama pimpinan DPD lain, yaitu Farouk Muhammad, dan Nurmawati Dewi Bantilan, menentang pemilihan karena meyakini masa pimpinan DPD berlaku lima tahun. Keyakinan ini mengacu pada putusan MA No.20P/HUM/2017, yang menyatakan masa jabatan pimpinan DPD sama dengan pimpinan lembaga tinggi lain, yaitu DPR dan MPR.

Berita Lainnya
×
tekid