sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Papua, kekerasan, dan Pemilu rawan konflik

Aparat kepolisian dan sejumlah ormas mengadang aksi damai Aliansi Mahasiswa Papua pada 1 Desember 2018.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Selasa, 04 Des 2018 19:58 WIB
Papua, kekerasan, dan Pemilu rawan konflik

Pada 1 Desember 2018, para mahasiswa asal Papua di sejumlah daerah, yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), menggelar aksi damai memperingati hari kemerdekaan Papua Barat. Namun, aksi tersebut berujung pada penangkapan lebih dari 300 peserta aksi oleh aparat kepolisian.

The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menyebut secara rinci jumlah mereka yang diamankan. Di Kupang ada 18 orang, Ambon 43 orang, Ternate 99 orang, Jayapura 85 orang, Jakarta 140 orang, Manado 29 orang, Waropen 7 orang, dan Surabaya 233 orang.

Dari jumlah tersebut, penangkapan di Surabaya terlihat sangat mencolok. Biro Organisasi Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua Yohanes Giyai mengatakan, sebelumnya mereka sudah meminta izin dan menyerahkan surat pemberitahuan tiga hari menjelang aksi ke Polda Jawa Timur.

“Kami bertemu unit intelijen dan keamanan. Dia mengusulkan agar kami membuat acara seminar atau ibadah saja daripada aksi damai. Tapi selama ini kami direpresif ketika menggelar kegiatan semacam itu,” kata Yohanes, ketika dihubungi, Selasa (4/12).

Yohanes kemudian “diping-pong”. Dia diarahkan ke bagian administrasi Polda Jawa Timur, yang lantas menolak surat pemberitahuan itu. Tak menyerah, Yohanes bersama teman-temannya bernegosiasi dengan Polda Jawa Timur. Akhirnya, surat mereka diterima, dengan hanya mendapatkan stempel “surat diterima.”

Diadang aparat dan ormas

Selain kesulitan mengurus surat izin, Yohanes mengaku, pada 30 November 2018 asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, sudah didatangi sejumlah organisasi masyarakat dan aparat.

Pada 1 Desember 2018, Aliansi Mahasiswa Papua akhirnya melakukan long march dari Monumen Kapal Selam ke Gedung Grahadi, Surabaya. Saat mereka berjalan di depan kantor RRI Surabaya, Yohanes mengatakan, pihak kepolisian mengadang mereka.

Sponsored

Selain pihak kepolisian, sejumlah ormas, seperti FKPPI, Patriot Garuda, Persaudaraan Setia Hati Terate, dan Pemuda Pancasila ikut melakukan pengadangan.

“Kami berorasi dan memilih bertahan di sana. Mereka melontarkan pernyataan rasis. Kemudian datanglah anggota PP (Pemuda Pancasila). Mereka melempar batu dan sampah. Ada juga yang membawa bambu runcing,” ujar Yohanes.

Akibatnya, empat orang peserta aksi mengalami luka di kepala, dan 16 orang lainnya pun mengalami luka di tubuh mereka. Peserta aksi kemudian memilih balik kanan ke asrama di Jalan Kalasan. Namun, selama perjalanan itu, Yohanes mengatakan, mereka dipukuli oleh anggota ormas.

Polisi bersiaga saat unjuk rasa sekelompok orang yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Papua di Jalan Pemuda, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (1/12). (Antara Foto).

Akan tetapi, Arifin anggota Patriot Garuda, salah satu ormas yang ikut mengadang aksi mahasiswa Papua itu mengaku tak melakukan hal yang dituduhkan.

“Tidak. Kami tidak pernah berkata rasis,” ujar Arifin, saat dihubungi, Selasa (4/12).

Arifin berdalih, pihaknya hanya tak bisa menerima aksi yang terkait dengan pemisahan diri Papua dari indonesia.

“Terserah mereka mau membuat acara apa saja. Tapi jika berhubungan dengan aksi separatis, pengibaran bendera Kejora, kami turun,” kata Arifin.

Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya Fatkhul Khoir mengatakan, peristiwa diskriminasi, intimidasi, hingga penangkapan paksa aksi mahasiswa Papua di Surabaya tidak hanya terjadi kali ini saja. Menurut catatan KontraS Surabaya, dari rilis pers yang diterima Alinea.id, sepanjang 2018, sudah ada empat kali hal serupa terjadi.

Singkat cerita, usai perdebatan panjang, aparat gabungan akhirnya membawa 233 orang peserta aksi di asrama mahasiswa Papua ke Polresta Surabaya. Setelah ditahan tanpa kejelasan, kepolisian membebaskan para mahasiswa tersebut, dengan catatan mereka harus segera kembali ke kota masing-masing.

“Pengacara kami, Veronica Koman, menjadi jaminan untuk membebaskan kami,” kata Yohanes.

Berbeda dengan pengakuan Yohanes, dari rilis pers yang diterima Alinea.id, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Syahar Diantono membantah, kepolisian menangkap 233 orang terkait aksi damai mahasiswa Papua di Surabaya.

“Polda Jawa Timur mengatakan bahwa itu tidak benar. Sekarang semuanya dipulangkan,” ujar Syahar, Senin (3/12).

Selain itu, mengenai informasi ada satu orang warga negara Australia yang ikut ditangkap, Syahrar mengaku, tak ada hubungannya dengan aksi Aliansi Mahasiswa Papua.

Akar masalah dan Pemilu

Insiden di beberapa kota terkait aksi damai peringatan kemerdekaan Papua kemungkinan akan berimbas terhadap Pemilu 2019 nanti. Belum lagi masalah insiden itu selesai, peristiwa berdarah terjadi di Papua.

Pada Minggu (2/12) waktu Indonesia Timur, terjadi pembunuhan terhadap 31 pekerja pembangunan jalan di Kali Yigi-Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua. Diduga, pembunuhan itu dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Sebenarnya, dari mana akar masalah konflik Papua?

Polisi berusaha menghadang sekelompok orang dari salah satu ormas saat unjuk rasa sekelompok orang yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Papua di Jalan Pemuda, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (1/12). (Antara Foto).

Di dalam bukunya Roadmap Papua, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muridan S. Widjojo menulis, setidaknya ada empat isu yang dikelompokkan sebagai masalah di Papua. Pertama, masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang asli Papua sejak 1970.

“Kedua adalah kegagalan pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat,” tulis Muridan.

Ketiga, sebut Muridan, ada kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Yohanes mengkonfirmasi masalah ketiga ini. Menurutnya, Papua selama ini tak pernah menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia.

“Kebangsaan orang Papua berbeda dari kebangsaan Indonesia, teritorial jajahannya pun sudah berbeda. Tidak pernah ada Jong Papua di Sumpah Pemuda,” kata Yohanes.

Keempat, masalah pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga Papua. Amnesty International Indonesia dalam laporan berjudul "Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati” yang terbit pada 2018 menyebutkan, sejak reformasi setidaknya terdapat lima kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua.

Dari laporan tersebut, sejak Januari 2010 hingga Februari 2018, Amnesty mencatat terdapat setidaknya 95 korban dalam 69 insiden pembunuhan di luar hukum.

Sebanyak 56 korban dibunuh dalam konteks nonpolitis, 39 lainnya dalam konteks prokemerdekaan yang damai, seperti unjuk rasa atau pengibaran bendera Bintang Kejora. Dari 95 korban tersebut, 85 korban merupakan orang asli Papua.

Melihat segala peristiwa dan catatan masalah tersebut, Papua menjadi salah satu wilayah yang masuk dalam indeks kerawanan Pemilu, yang diluncurkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, mendefinisikan kerawanan tersebut sebagai segala hal yang menimbulkan gangguan saat Pemilu. Titi melihat, Papua sejak dahulu selalu masuk dalam indeks tersebut.

“Mau siapapun presidennya nanti, Papua pasti ‘dijajah’,” ujar Yohanes, pesimis.

Yohanes menilai, selama ini pemerintah pusat semata-mata hanya melihat Papua dari sisi ekonomi, tanpa memperhatikan hak-hak warganya.

Menurutnya, pembangunan di Papua yang saat ini seperti digenjot, dilakukan hanya untuk mengeksploitasi alam Papua. Yohanes pun mengambil sikap golput saat Pemilu nanti.

“Golput adalah salah satu cara perlawanan kami,” katanya.

Di sisi lain, untuk meredam konflik yang bisa terjadi saat Pemilu, Titi menyarankan agar pemerintah melakukan koordinasi dan membuat tindakan antisipatif.

“Melibatkan tokoh masyarakat dan agama juga penting untuk menciptakan dialog, agar bisa meredam konflik-konflik yang kemungkinan bisa terjadi di Papua,” ujar Titi saat dihubungi, Selasa (4/12).

Berita Lainnya
×
tekid