sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pembentukan TGPF dari masa ke masa

Solusi pembentukan TGPF untuk kasus Novel Baswedan dikhawatirkan jadi retorika saja.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Kamis, 22 Feb 2018 18:14 WIB
Pembentukan TGPF dari masa ke masa

Kepulangan Novel Baswedan ke Indonesia pada Kamis (22/2) menuai sejumlah respon. Mantan Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan kepulangan Novel baiknya diikuti dengan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Tujuannya, untuk mengurai benang kusut kasus penyiraman air keras yang dialami Novel sepuluh bulan lalu, yang hingga kini masih gelap.

Usulan pembentukan TGPF ini juga disampaikan sejumlah pihak lainnya, seperti pegiat PP Muhammadiyah, YLBHI, Komnas HAM, dan Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi. Pembentukan TGPF dinilai penting, mengingat kasus Novel telah mangkrak dan pelaku penyiraman tak kunjung ditemukan.

Dalam keterangan persnya beberapa waktu lalu, Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak menduga, ada keganjilan dalam penanganan perkara Novel oleh polisi. “Ini bukan soal Novel Baswedan sebagai individu, tapi kasus teror terhadap agenda pemberantasan korupsi. Kenapa penanganannya tidak bisa secepat Densus Anti Teror 88 ketika menangani terorisme,” ujarnya, dikutip dari Antara.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan TGPF jadi solusi alternatif saat terjadi kemacetan dalam proses penyelidikan sebuah perkara. Cara-cara yang digunakan oleh mereka yang bergabung dengan TGPF pun di luar proses hukum, sehingga bisa mencari celah yang belum diselidiki institusi projustitia. Ia mencontohkan, cara Polri mengusut kasus Novel adalah dengan memanggil saksi, terduga pelaku, dan semacamnya.

Namun TGPF melampaui itu, karena mereka bisa menelisik faktor politik, siapa yang jadi alat, siapa yang diduga berdasarkan penelusuran profil korban. Dengan begitu, hasil temuan bisa memberikan sumbangsih kepada proses hukumnya sendiri. Jadi proses projustitianya tetap ber­jalan, tapi hasil investigasi ini bisa dipakai atau dilebur ke projustitia.

Namun, hasil temuan TGPF yang hanya berupa rekomendasi tak urung jadi persoalan sendiri. Sebab eksekutor hukumnya tetap mereka yang duduk di instansi resmi, bukan TGPF. Ketidakefektifan pembentukan TGPF ini bisa ditelusuri dari sejarah pembentukannya dalam kasus-kasus di masa lalu.

Menilik sejarah Indonesia, TGPF sudah pernah dibentuk beberapa kali untuk beberapa kasus yang dinilai lamban pengusutannya. Alinea mencatat, ada lima kasus dengan efek besar yang disertai pembentukan TGPF. Kasus-kasus itu antara lain pelanggaran HAM 1965, Talangsari, Mesuji, Mei 1998, dan pembunuhan Munir. Sayangnya, rekomendasi dan analisis temuan dari TGPF untuk kasus-kasus tersebut menguap begitu saja.

 

 

Sponsored
Berita Lainnya
×
tekid