sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pakar: RUU Cipta Kerja didesain untuk sentralisasi kekuasaan

Draf RUU Cipta Kerja Pasal 170 dinilai contoh konkret upaya sentralisasi kekuasaan.

Valerie Dante
Valerie Dante Sabtu, 22 Feb 2020 17:27 WIB
Pakar: RUU Cipta Kerja didesain untuk sentralisasi kekuasaan

Pakar hukum tata negara, Bvitri Susanti, menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja pada dasarnya didesain untuk memusatkan kekuasaan pemerintahan ke tangan presiden.

Salah satu contoh dari upaya sentralisasi kekuasaan tersebut tercermin dalam draf RUU Cipta Kerja Pasal 170 (1), yang menyebut presiden sebagai kepala negara memiliki kewenangan mencabut UU melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Tidak hanya itu, seorang presiden juga memiliki kewenangan mencabut Peraturan daerah (Perda) melalui Peraturan Presiden (Perpres).

"Pasal 170 itu merupakan contoh konkret upaya sentralisasi. Padahal dalam konstitusi Indonesia sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tata aturannya tidak bisa PP mencabut UU seperti yang dinyatakan dalam pasal itu," jelas Bivitri dalam diskusi 'Mengapa Galau pada Omnibus Law?' di The Maj, Jakarta, Sabtu (22/2).

Menurut UU No. 12 Tahun 2011, urutan tata aturan perundangan adalah UUD 1945, Ketetapan MPR (TAP-MPR), UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Menteri (Permen), lalu Peraturan Presiden (Perpres).

Lebih lanjut dia menjelaskan materi muatan UU tidak boleh diatur oleh PP. Pasalnya, setiap materi muatan yang dianggap mendasar dan terkait pidana hanya boleh diatur oleh kuasa wakil rakyat yang dalam konteks ini adalah DPR.

"Konsepsi yang diperkenalkan dalam RUU Cipta Kerja adalah kekuasaan ada di tangan presiden, baru kemudian didelegasikan kepada menteri-menteri maupun pemerintah daerah," kata dia. 

"Ini pertanda adanya upaya sentralisasi," imbuhnya.

Sponsored

Senada dengan Bvitri, perwakilan Ombudsman RI Alamsyah Saragih, yang juga menilai RUU Cipta Kerja memiliki semangat sentralisasi kekuasaan.

Ketika publik memprotes pasal 170, pejabat pemerintah meralat dengan mengatakan bahwa pasal itu keliru karena terjadi miskomunikasi atau salah memahami keinginan Presiden RI Joko Widodo.

"Bagi saya, kesalahan itu terjadi karena pemerintah terburu-buru dan ingin RUU ini selesai secepat mungkin," ungkap dia.

Menurut Alamsyah, wajar jika publik berkesimpulan bahwa prosedur penyusunan draf RUU Cipta Kerja berantakan dan tidak mempertimbangkan kepentingan orang banyak. Pemerintah telah menyerahkan draf RUU tersebut ke DPR pada 12 Februari.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat hukum dari UIN Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani, menyebut bahwa model omnibus law atau omnibus bill, yang digunakan untuk menyusun RUU Cipta Kerja, sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah negara lain. Namun, di luar negeri Omnibus law dipakai untuk UU terkait keuangan atau perpajakan, seperti di Australia.

"Selain itu, sejumlah pakar hukum juga telah memberi catatan penting soal omnibus law yang mereka sebut dapat menggerogoti proses demokrasi karena tidak transparan, tidak melibatkan publik, dan diburu-buru," ujar Andi.

Dia mengklaim bahwa omnibus law pada dasarnya mengandung "cacat bawaan" yang berpotensi merusak tatanan demokrasi suatu negara.

Berita Lainnya
×
tekid