sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sesat pikir rencana pelonggaran PSBB

Pelonggaran PSBB merupakan wujud kegagalan pemerintah melindungi rakyat.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 18 Mei 2020 20:37 WIB
Sesat pikir rencana pelonggaran PSBB

Rencana pemerintah melonggarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai sebagai wujud kegagalan negara melindungi rakyat. Berkaca dari potensi pelanggaran HAM by commission, pemerintah diminta untuk bertanggung jawab atas apabila ada kematian warga akibat pelonggaran PSBB.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil sekaligus Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Khalisah Khalid mengatakan, rencana melonggarkan PSBB lebih bermuatan kepentingan politik dari pada mempertimbangkan data dan kalkulasi rasional kesehatan masyarakat. 

Kebijakan politik menyangkut kedaruratan kesehatan masyarakat tanpa mempertimbangkan data merupakan wujud kegagalan pemerintah melindungi warganya.

"Untuk melancarkan kebijakan ini, tampak adanya agenda setting seperti survei-survei dan penonjolan kebijakan di negara-negara lain tentang mulai dibukanya kekarantinaan kesehatan," ujar Khalisah dalam keterangan tertulis, Senin (18/5).

Kedua hal ini, menurut dia, mengandung sesat pikir yang disengaja untuk menggiring opini bahwa sudah saatnya membuka kekarantinaan kesehatan.

"Perbandingan pastilah harus yang setara/ekuivalen. Misal, tidak mungkin membandingkan rasa lezat kari kambing dengan buah mangga," bebernya.

Pelonggaran PSBB di beberapa negara telah terukur dengan pendekatan kurva epidemiologi Covid-19, yang mana terjadi penurunan data penularan berturut-turut selama 14 hari. Sementara kurva penurunan di Indonesia tidak bisa dibilang valid karena rasio tes Indonesia masih rendah. Indonesia belum melakukan tes massal yang proporsional dengan tracing agresif seperti negara-negara rujukan pelonggaran PSBB.

Selain itu, beberapa negara yang dijadikan perbandingan sudah jauh lebih lama melakukan lockdown yang selalu dihindari Indonesia dengan berbagai alasan.

Sponsored

"Dari data yang belum diketahui validitasnya karena sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk saja, kurva Indonesia belum menurun. Malahan naik terus," tutur Khalisah.

Tingkat tes Covid-19 di Indonesia masih di bawah rata-rata negara-negara ASEAN atau 628 per 1 juta penduduk. Dibandingkan dengan Singapura yang 30.000 per satu juta penduduk dan Malaysia 7.500 per 1 juta penduduk.

Apalagi, belum semua provinsi memiliki laboratorium dan tenaga medis yang siap melakukan pengetesan. Rendahnya, rasio tes sangat menyulitkan untuk pemeriksaan, apakah sudah melewati titik puncak pandemi atau belum sesecara nasional. 

Khalisah mengatakan, PSBB di berbagai daerah sangat bervariasi tingkat kedisplinan hingga waktu pelaksanaan. Transportasi publik turut andil dalam perbedaan hasil PSBB.

"Berdasar alasan di atas kami menolak pelonggaran PSBB dan kembali mendesak pemerintah tetap melakukan tes masif dan tracing yang agresif. Ini bisa dilakukan sambil meningkatkan dukungan sosial ekonomi bagi warga yang terdampak Covid-19," ucapnya.

Adapun sejumlah organisasi dan aktivis HAM serta lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil antara lain YLBHI, WALHI, ICW, PSHK, Lokataru, AJI, Migrant Care, dan lainnya.

Sebelumnya (16/5), LSI Denny JA, mengusulkan pemerintah melonggarkan PSBB mulai dari daerah sekitar DKI. Peneliti LSI Denny JA, Ikram Masloman mengatakan, pelonggaran PSBB bisa dilakukan mulai dari daerah-daerah yang telah mengalami penurunan tambahan jumlah kasus.  Dia merekomendasikan DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Bandung Barat, dan Provinsi Bali.

Berita Lainnya
×
tekid