sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sistem pemilu, Fadli Zon: Demokrasi kita dikendalikan cukong

Demokrasi di Indonesia cenderung mahal lantaran sistem yang ada.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Selasa, 09 Jun 2020 23:58 WIB
Sistem pemilu, Fadli Zon: Demokrasi kita dikendalikan cukong

Komisi II DPR RI harus benar-benar dapat mengahsilkan Undang-Undang (UU Pemilu) yang proporsional. Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Fadli Zon mengungkapkan, tidak sekadar politis demi kepentingan partai politik saja.

Menurut Fadli, penting rasanya DPR menjadi pihak yang dapat mengubah sistem perpolitikan, dengan mengutamakan demokrasi secara utuh. Pasalnya, dia melihat sebaliknya, demokrasi di Tanah Air cenderung mahal lantaran sistem yang ada.

"Persoalan demokrasi kita sekarang ini, demokrasi bukan hanya prosedural. Tetapi, mungkin juga corrupted democracy yang membuat demokrasi mahal dan sangat mahal," papar Fadli, dalam sebuah disksusi daring bersama Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DNPIM), Selasa (9/5).

Salah satu, akar yang menjadikan demokrasi sangat mahal adalah persoalan biaya politik yang terbilang tinggi. Menurut Fadli, hal itu melahirkan setiap kontestasi politik menjadi battle of billioner.

Fadli menjelaskan, kontestasi politik di Tanah Air terkesan menjadi pertarungan antara orang yang memiliki uang, orang-orang kaya yang mempunyai modal atau orang-orang yang punya cukong. Sehingga, lanjutnya, tidak salah jika ada yang berpandangan bahwa demokrasi Indonesia menjadi barang penting yang dapat dikendalikan oleh cukong-cukong di belakang.

"Sehingga, demokrasi kita menjadi demokrasi yang dikendalikan oleh cukong. Sebetulnya, kalau mau jujur bicara, baik itu  pilpres maupun lain-lain sangat sedikit case yang tak terkait dengan itu," ujar Wakil Ketua Umum Gerindra itu.

Bagi Fadli, jika demokrasi Indonesia masih berpotensi disponsori para cukong, yang terjadi negara akan dikuasai oleh sistem oligarki. Mereka yang memiliki kepentingan cukup memegang parpol atau pun beberapa figur penting di dalamnya.

"Jadi, tidak ada namanya rakyat itu, rakyat itu hanya jadi angka-angka saja. Ini menurut saya, yang harus diubah total terkait dengan bagaimana partisipasi rakyat diterjemahkan secara subtantif dan memang ada keterwakilan," pungkasnya.

Sponsored
Berita Lainnya
×
tekid