sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Terganjal rapor merah Korps Adhyaksa

Institusi kejaksaan yang justru butuh pembenahan minim disorot di visi-misi capres-cawapres.

Ayu mumpuni Rakhmad Hidayatulloh Permana
Ayu mumpuni | Rakhmad Hidayatulloh Permana Kamis, 17 Jan 2019 09:40 WIB
Terganjal rapor merah Korps Adhyaksa

Meskipun nilai kerugiannya jauh melebihi kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-e) dan kasus Century, namun kasus mega korupsi penjualan kondensat oleh PT PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) sepi sorotan. Digarap Bareskrim Polri sejak 2015, kasus ini belum juga masuk meja hijau. 

Padahal, berkas untuk dua tersangka—Kepala BP Migas (sekarang SKK Migas) Raden Priyono dan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono—dinyatakan telah lengkap (P21) sejak Januari 2018. Pada akhir Maret 2018, Kejaksaan Agung dan Polri sepakat untuk menunda pelimpahan tahap dua (tersangka dan barang bukti) kasus tersebut. 

Alasannya, polisi masih memburu Direktur PT TPPI Honggo Wendratno yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Desember 2018 lalu, Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan, pihaknya masih menunggu polisi angkat tangan dalam perburuan terhadap Honggo. 

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, alasan yang diungkapkan Kejagung terkait kasus Honggo janggal. Pasalnya, Kejagung pernah mendorong peradilan in absentia untuk kasus-kasus korupsi lainnya. 

"Kalau nunggu Honggo sepuluh tahun lagi juga tidak akan tertangkap. Sekarang saja enggak bisa nangkep. Padahal, sebelumnya Kejagung pernah menyidangkan in absensia. Itu kan malah tidak adil. Saya mendengar sendiri orang di dalam situ (Kejagung) bilang itu (kondensat) jangan diterusin," ujar Boyamin kepada Alinea.id di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian kasus kondensat mencapai Rp35 triliun atau 15 kali lebih besar dari kerugian negara akibat korupsi proyek KTP-e. Sepanjang 2018, berkas kasus kondensat hanya bolak-balik dari Bareksrim ke Kejagung tanpa ada kelanjutan. 

Boyamin mengaku, tak tahu persis alasan kasus kondensat tak juga masuk ke persidangan. Namun, menurut dia, kasus mangkrak di Gedung Bundar bukan fenomena yang aneh. "Kalau bicara katakanlah level penyidikan saja sudah lebih banyak di Kejagung memang (lebih banyak dari KPK)," ujar Boyamin. 

Menurut dia, intervensi politis menjadi salah satu penyebab utama maraknya kasus mangkrak di Kejagung. Terlebih, Jaksa Agung HM Prasetyo memang berasal dari Partai NasDem. Di tengah minimnya transparansi, Boyamin menduga, sulit bagi kejaksaan untuk terlepas dari intervensi politis yang menghambat kinerja. 

Sponsored

"Misalnya pemanggilan Walikota Manado (Godbless Sofcar Vicky Lumentut) yang kasusnya sudah penyidikan. Itu kan terkait dana banjir. Tapi, karena ikut parpol yang menaungi Jaksa Agung langsung abis. Itu tidak ada apa-apa lagi," ujar Boyamin. 

Hal serupa, menurut Boyamin, juga ditunjukkan Kejagung dalam kasus dugaan korupsi dana hibah yang melibatkan mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. Meskipun kasusnya disidik kejaksaan hingga hampir dua tahun, hingga kini kejaksaan tak juga menetapkan tersangka. 

"Padahal menurut aturan hanya 80 hari dari penyidikan harus sudah ada tersangka. Di Kejagung itu, sepanjang mendapat intervensi politik, kasusnya menguap. Beda dengan KPK. Dapet intervensi, KPK itu masih melawan," ujar Boyamin. 

Alex Noerdin telah resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai gubernur dan saat ini tercatat sebagai calon legislatif dari Partai Golkar. Di Pilpres 2019, Golkar bersama Partai NasDem sama-sama mengusung pasangan Jokowi-Ma'ruf. 

Menurut Boyamin, keberadaan orang parpol sebagai pucuk pimpinan Kejagung menjadi salah satu penyebab buruknya kinerja kejaksaan dalam menuntaskan kasus. Karena itu, ia berharap siapa pun presiden yang terpilih nanti mengganti Jaksa Agung dengan orang yang benar-benar profesional.  

"Memang harusnya Jaksa Agung itu jangan dari parpol karena banyak kepentingan. Bukan dari parpol saja banyak kepentingan, apalagi dari parpol. Lebih baik dari internal yang integritasnya tinggi atau dosen yang bagus," ujar dia. 

Rapor merah kejaksaan 

Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kinerja kejaksaan dalam menangani kasus korupsi cenderung menurun. Pada semester I 2018, kejaksaan hanya menangani 68 kasus. Padahal, pada semester I 2017, jumlah kasus yang ditangani kejaksaan mencapai 135 kasus. 

Data ICW terkait kinerja kejaksaan dari November 2014 hingga Oktober 2016 juga merekam hal serupa. Dari 24 kasus korupsi yang ditangani Kejagung selama periode itu, hanya 8 kasus atau sekitar 33% yang naik ke penuntutan. Sisanya mangkrak di tahap penyidikan. 

Senada dengan Boyamin, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho, menyebut keputusan Jokowi memilih HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung menjadi salah satu penyebab minimnya kinerja Korps Adhyaksa dalam memberantas korupsi. 

"Jokowi masih juga memasukan orang yang punya afiliasi politik ke dalam salah satu institusi penegakan hukum, seperti kejaksaan. Posisi Jaksa Agung itu harusnya lepas dari jabatan politik," ujar Emerson kepada Alinea.id, Rabu (16/1). 

Dalam dokumen visi misi Jokowi-Ma'ruf, isu hukum dan korupsi masuk menjadi salah satu misi keduanya dari total 9 misi utama. Disebutkan dalam dokumen itu, Jokowi-Ma'ruf bakal membangun penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. 

Salah satu janji yang diutarakan Jokowi-Ma'ruf dalam misi itu ialah upaya penguatan KPK. Institusi hukum lainnya yang juga punya kewenangan menangani kasus korupsi seperti kepolisian dan kejaksaan minim diulas. 

Menurut Emerson, hal itu menunjukkan petahana yang terlalu bergantung kepada KPK dalam memberantas korupsi dan meningkatkan indeks prestasi korupsi (IPK). Padahal, IPK Indonesia tak hanya ditentukan oleh kinerja KPK saja. 

Emerson khawatir, misi Jokowi-Ma'ruf tak bakal berhasil jika institusi hukum seperti kejaksaan luput dibenahi.  

"Institusi seperti kejaksaan dan kepolisian tidak nampak di mata publik. Kalau seperti ini, tidak akan beda jauh dari periode sebelumnya. Kita belum keluar dari zona negara paling korup di dunia, 37 skor persepsi korupsinya. Masih (kanker) stadium tiga," cetus Emerson. 

Dorong revisi UU Kejaksaan

Seperti Jokowi-Ma'ruf, penguatan KPK juga menjadi salah satu misi pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi). Dalam pidatonya saat menyampaikan visi misi Ahad (31/1) lalu, Prabowo bahkan menjanjikan kenaikan gaji hakim, jaksa dan aparat kepolisian. 

Menurutnya, ketiga pilar penegakan hukum itu vital bagi keberlangsungan pemerintah Indonesia dan mencegah korupsi merajalela. "Bila perlu kita naikkan berkali-kali lipat," cetus Prabowo. 

Wakil Ketua Komisi Kejaksaan RI (KKRI) Erna Ratnaningsih mengatakan, perbaikan kesejahteraan saja tak cukup meningkatkan kinerja aparat penegak hukum seperti kejaksaan. Menurut dia, kejaksaan juga perlu diperkuat kewenangannya agar tak mudah diintervensi. 

Salah satunya lewat revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). "Lembaga lain yang kesejahteraannya sudah ditingkatkan juga tidak banyak berubah. Jadi yang terpenting adalah perubahan sistem yang mempersulit atau mencegah seseorang melakukan tindakan-tindakan curang," ujar dia. 

Revisi regulasi, lanjut Erna, juga harus diarahkan untuk mempertegas 'jenis kelamin' para jaksa. Pasalnya, selama ini jaksa tidak diatur dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN). "Jaksa ini masuk ASN atau tidak. Ini debatable dan jadi permasalahan juga. Harus ada kejelasan terkait itu," ujar dia. 

Menurut catatan KKRI, 888 laporan aduan terkait kinerja kejaksaan sepanjang 2018. Angka itu tak jauh berbeda dengan laporan yang diterima KKRI tahun lalu. Mayoritas laporan 'bergenre' putusan pengadilan yang terus tertunda, pemberian petunjuk yang tidak jelas, dan penanganan kasus yang berlarut-larut.

Selain persoalan-persoalan teknis dan hambatan kualitas sumber daya manusia di tubuh kejaksaan, Erna mengatakan, kejaksaan membutuhkan pemimpin-pemimpin baru yang visioner agar kinerjanya bisa digenjot. 

"Tidak hanya Jaksa Agung tapi juga kepala kejaksaan tinggi yang ada di daerah. Pos-pos kejaksaan memang harus diisi oleh orang-orang yang akuntable dan memiliki komitmen untuk melakukan perubahan. Meskipun memang posisi Jaksa Agung itu hak prerogatif presiden," ujarnya. 
 

Berita Lainnya
×
tekid