Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bob Hasan, menyoroti pentingnya pembaruan pengaturan terkait visum et repertum atau surat keterangan dari seorang dokter ahli tentang hasil pemeriksaan, dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Menurutnya, selama ini visum sebagai alat bukti kerap dijadikan dasar utama dalam menentukan berat ringannya suatu tindak pidana, seperti dalam kasus penganiayaan. Namun, ia mengingatkan visum tidak selalu dapat menggambarkan kebenaran material secara menyeluruh jika tidak disertai verifikasi yang akurat.
“Visum ini sering disalahpahami atau dimanfaatkan. Kadang seseorang hanya dicolek, tapi di visum terlihat lebam. Bisa saja lebam itu terjadi sebelum kejadian, bukan akibat peristiwa pidana. Maka ini perlu ada penguatan dalam RKUHAP,” ujar Bob dalam rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen, Kamis (19/6).
Ia menekankan, dalam kasus-kasus seperti dugaan kekerasan, hasil visum sangat berpengaruh dalam menentukan pasal yang digunakan oleh penyidik, seperti Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Oleh karena itu, akurasi dan verifikasi terhadap hasil visum perlu menjadi perhatian dalam revisi undang-undang.
“Selama ini KUHAP tidak mengatur secara detail bagaimana visum diverifikasi. Ini yang harus kita lengkapi dalam RKUHAP agar penyidik, jaksa, dan hakim bisa menilai fakta lebih objektif,” tambahnya.
Bob juga menegaskan tujuan utama revisi KUHAP adalah untuk menghadirkan keadilan substantif, bukan hanya keadilan prosedural. Salah satu caranya adalah dengan memperkuat dasar hukum terhadap alat bukti seperti visum agar tidak digunakan secara sepotong-sepotong.
“RKUHAP harus memastikan kejelasan tentang bagaimana visum digunakan dan dikonfirmasi dalam proses penyidikan maupun persidangan. Ini penting agar tidak ada warga yang dirugikan karena bukti yang belum tentu benar secara material,” tuturnya.
Dengan RKUHAP yang lebih modern dan akurat, diharapkan sistem hukum pidana Indonesia semakin berpihak kepada keadilan dan perlindungan hak seluruh warga negara.