Potensi konflik terbuka dan benturan fisik antara kelompok pendukung pasangan kandidat membayangi Pilpres 2024. Peneliti senior Populi Center Usep Saepul Ahyar mengatakan kericuhan terkait pilpres terutama mungkin terjadi karena "pertemuan" antara kelompok pendukung militan masing-masing kandidat.
"Pemilih tipe ini cenderung anti dengan kelompok lain, berbeda dengan swing voters yang rasional. Bentrok di masyarakat yang tidak hanya pada narasi tapi juga bisa pada konflik yang lebih serius," ujar Usep kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Survei Populi Center yang digelar pada periode 29 Oktober-5 November 2023 menunjukkan publik juga khawatir mengenai itu. Dari 1.200 responden, sebanyak 19,8% menyatakan khawatir bentrok antar pendukung calon terjadi. Itu khawatiran terbesar publik setelah politik uang (37,2%).
"Pihak yang anti itu semakin terlihat dari 2017 dan 2019 semakin menebal. Itu biasanya memang dipicu oleh kampanye yang agak ekstrem. Saya mengimbau ke seluruh parpol agar pemilih dibawa ke hal-hal yang rasional," kata Usep.
Menurut Usep, potensi konflik sebenarnya bisa dicegah bila para elite tidak memanfaatkan sentimen publik sebagai bagian dari strategi pemenangan. Berkaca dari Pemilu 2019, keributan di masyarakat dipicu oleh elite politik yang mengadu domba kelompok tertentu untuk mendapat simpati dan juga memecah suara.
"Kadang-kadang strategi ini tidak disadari. Masyarakat mungkin tidak menyadarinya. Adu domba atau bisa berlawanan bisa terbuka. Seperti Gibran (Rakabuming Raka) itu. Disinyalir juga ada kelompok tertentu yang memasang baliho tertentu yang terlalu banyak," ucap Usep.
Gibran saat ini diusung jadi pendamping Prabowo di Pilpres 2024. Sempat menolak pinangan sebagai cawapres karena alasan pengalaman dan regulasi, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu mendadak memenuhi syarat sebagai cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK) merilis putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, Oktober lalu. Putusan itu merevisi syarat usia bagi calon capres-cawapres yang tertuang dalam UU Pemilu.
Dalam putusannya, MK membolehkan calon yang belum berusia 40 tahun untuk berkompetisi menjadi capres dan cawapres. Syaratnya, sang calon harus pernah dipilih atau menjabat menjadi kepala daerah. Saat putusan itu diketok Ketua MK Anwar Usman, Gibran masih berusia 36 tahun. Anwar ialah besan Jokowi alias paman Gibran.
Sejak itu, isu mengenai pemilu bakal penuh kecurangan merebak. Di Bali, sempat beredar foto dan video baliho PDI-P dan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD (Ganjar-Mahfud) dicopot saat Jokowi berkunjung. Di Siantar, Sumatera Utara, beberapa hari lalu, baliho bergambar Ganjar juga dicopot jelang pertemuan antara Ganjar dan kelompok relawan.
Sebelumnya, Media Indonesia menurunkan laporan yang isinya mengulas isu keterlibatan aparat dalam pemasangan baliho Prabowo-Gibran secara masif. Tak hanya di Jawa Timur, baliho-baliho pasangan yang ditengarai didukung Jokowi itu bakal dipasang di berbagai daerah lainnya.
TNI dan Polri, kata Usep, wajib menjaga jarak dengan kepentingan politik terkait pemilu. Pasalnya, publik masih mempercayai kedua institusi itu dalam menjaga pemilu aman dan damai. Survei Populi menunjukkan sebanyak 69% publik percaya Polri netral dan 70% publik percaya TNI netral.
"Itu modal baik TNI dan Polri sebagai penengah konflik yang ada. Bukan hanya di panggung depan atau (ketika berhadapan dengan) otoritas. Itu yang harus dibuktikan. Jadi, tidak hanya retorika. Tapi, diimplementasikan pada konteks lapangan. Contoh, kalau memang baliho harus dicopot, semua kandidat harus dicopot juga," kata Usep.
Jauhi narasi ekstrem
Peneliti pusat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Djati belum melihat adanya gejala yang bakal mengarah ke bentrok fisik antarpendukung kandidat. Namun, ia memandang potensi itu bisa muncul jika tim kampanye atau para kandidat rutin mengeluarkan narasi-narasi ekstrem.
"Kalau, misalnya, masih menggunakan kampanye berbasis politisasi identitas. Tentu akan terjadi gesekan. Terlebih, para paslon ini punya irisan latar belakang sama yakni nasionalis dan religius," kata Wasisto kepada Alinea.id, Sabtu (11/11).
Untuk meminimalisasi konflik, Wasisto menyarankan kolaborasi erat antara tim kampanye, penyelenggara pemilu, dan aparat penegak hukum di lapangan. "Perlu dilakukan agar terhindar dari provokasi yang mengarah pada kontak fisik," kata Wasisto.
Pendapat berbeda diungkap pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bakir Ihsan. Menurut Bakir, potensi bentrok fisik bakal minim lantaran kontestasi pilpres diikuti tiga pasangan calon.
"Konflik ini bisa terkurangi dengan dua hal. Pertama, adanya kontrol masing-masing pihak untuk tidak mengumbar segala bentuk provokasi yang memantik emosi. Kedua, cairnya konsentrasi kompetisi dengan munculnya kontestasi lebih dari dua pasangan," ujar dia.