sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dinilai rugikan petani sawit, DPR minta larangan eskpor CPO dicabut

Larangan ekspor CPO dan turunannya dinilai telah menimbulkan beberapa dampak yang merugikan petani sawit.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Kamis, 19 Mei 2022 09:36 WIB
Dinilai rugikan petani sawit, DPR minta larangan eskpor CPO dicabut

Anggota Komisi VI DPR, Rudi Hartono Bangun, meminta pemerintah segera membuka kembali ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya. Menurutnya, larangan ekspor CPO dan turunannya yang sudah berlaku sejak 28 April 2022 tersebut telah menimbulkan merugikan, salah satunya bagi petani sawit.

Dia berpandangan, jika harga sawit semakin anjlok, petani bisa kembali miskin. Oleh karenanya, pemerintah seharusnya melakukan pengkajian yang mencegah terjadinya dampak seperti ini.

"Harus dibukalah (ekspor CPO dan turunannya). Bukan untuk kepentingan pengusaha minyak goreng dan pengusaha CPO, tapi petani sawit. Jadi petani yang sekarang hasil sawitnya enggak laku, enggak diterima pabrik, busuk di pohon, busuk di mobil, itu sudah merugi beberapa bulan ini," ujar Rudi dalam keterangannya, Kamis (19/5). 

Menurut Rudi, saat ini petani sawit mengalami kerugian yang besar. Selain karena harga tandan buah segar (TBS) yang bisa mencapai Rp1.000 per kilogram, petani sawit kini juga mengalami kesulitan dalam menjual TBS dikarenakan pabrik-pabrik yang belum bisa menerima kembali TBS dari petani karena kelebihan stok.

"Jadi ketika menekan satu atau sekelompok pengusaha agar menormalkan CPO, jangan juga dikorbankan petani-petani kecil yang sejumlah 20 juta lagi. Akhirnya harga TBS anjlok, enggak laku di tingkat-tingkat pabrik dan tingkat-tingkat desa, kecamatan, jadi sekarang petani sawit resah, akhirnya muncullah demonstrasi," kata politikus Partai Nasdem ini.

Untuk itu, menurut Rudi, pemerintah perlu serius menyelesaikan permasalahan CPO ini dengan menyelesaikan permasalahan mafia minyak goreng.

Selain itu, pemerintah juga perlu dengan tegas menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO), sehingga rantai pasok dalam negeri dapat lebih aman dan cukup. Termasuk kepada jajaran Kementerian Perdagangan untuk tidak bermain-main.

"Kebijakan DMO dan DPO kuota minyak goreng dalam negeri itu yang serius lah. Itu yang benar-benar Kementerian Perdagangan jangan main mata, kan kebutuhan kita cuma 16 juta ton dalam negeri, produksi kita 65 juta ton. Kalau 16 juta ton pemerintah betul-betul bilang setop jangan diekspor, semua aparaturnya mengawasi, itu stok aman," ucap Rudi.

Sponsored

Sebelumnya, anggota Komisi VII DPR Mulyanto menilai, kebijakan melarang ekspor CPO dan turunannya harus diikuti dengan kebijakan pembelian TBS sawit oleh pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan lembaga terkait. Ia menegaskan, upaya tersebut perlu dilakukan agar hasil panen petani sawit rakyat tetap tersalurkan ke industri yang membutuhkan, sehingga harga jual TBS tetap terjaga.

Mulyanto menyebutkan, pemerintah harus membuat kebijakan yang terintegrasi, terkait satu sama lain agar tidak ada pihak yang dirugikan atas pemberlakuan sebuah kebijakan.

"Terkait pembelian TBS sawit oleh pemerintah hal ini sangat dimungkinkan. Karena saat ini pemerintah sedang gencar memproduksi biofuel. Jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak membeli hasil panen sawit rakyat. Mereka sudah tidak tahan lagi menanggung beban atas anjloknya harga TBS sejak Presiden Jokowi mengumumkan pelarangan ekspor CPO dan turunannya," ujar Mulyanto kepada Alinea.id, Rabu (18/5).

Politikus PKS ini tak memungkiri pemerintah memang menghadapi  kondisi yang dilematis. Namun demikian, Mulyanto meminta pemerintah jangan takluk terhadap mafia minyak goreng (migor) dan pengusaha nakal lalu tunduk mencabut kebijakan larangan ekspor CPO tersebut. 

Mulyanto menegaskan, kebijakan urgensi yang mendesak diperlukan oleh masyarakat saat ini adalah kebijakan agar petani sawit rakyat tidak menjadi korban.

Berita Lainnya
×
tekid