sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gaduh posisi Setya Novanto dan kinerja DPR

Produktivitas DPR dalam hal legislasi dipertanyakan. Apalagi dengan adanya kegaduhan posisi ketua sejak Setnov ditahan KPK.

Syamsul Anwar Kh
Syamsul Anwar Kh Rabu, 22 Nov 2017 21:14 WIB
Gaduh posisi Setya Novanto dan kinerja DPR

Kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memicu polemik setelah Setya Novanto (Setnov) ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Politikus Partai Golkar itu ditetapkan sebagai tersangka korupsi e-KTP untuk kedua kalinya setelah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilannya beberapa waktu lalu.

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengaku pihaknya telah menerima surat dari Setnov yang meminta agar posisinya sebagai ketua sekaligus anggota DPR tak berubah. Kini, pimpinan DPR juga masih menunggu surat resmi dari DPP Partai Golkar terkait nasib Setnov di parlemen. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyebut, pergantian pimpinan DPR tak bisa dilakukan dengan jalan pintas dan harus melalui Sidang Paripurna.

"Tidak bisa kita ambil jalan pintas, ada prosedur yang harus dijalani," ujar Fahri seperti dikutip dari Antara, Rabu (22/11).

Namun, Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Sufmi Dasco Ahmad menegaskan proses penyidikan dugaan pelanggaran etika terhadap Setnov tetap berlanjut. Bahkan, ia memastikan lembaganya tak terpengaruh oleh surat yang dikirimkan Ketua Umum Partai Golkar itu.

"Itu kan surat permohonan sehingga boleh dikabulin atau tidak," terang Dasco.

Meski demikian, dalam perkara Setnov, MKD merasa perlu memanggil pimpinan fraksi. Terlebih selama ini belum pernah ada kasus yang membawa institusi lembaga DPR dan Pimpinan DPR.

"Kalau di MKD prosesnya berjalan, kan butuh waktu sedangkan proses di pengadilan tidak sampai sebulan,” paparnya.

Saatnya Setnov mundur?

Sponsored

Kegaduhan terkait posisi Setnov di DPR, dianggap bisa berdampak pada fokus kinerja anggota dewan. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus menilai, salah satu efeknya ialah dalam hal legislasi.

“Hampir pasti kasus ini kemudian berdampak ke kinerja di bidang legislasi. Dalam kondisi tidak ada masalah serius saja, kinerja mereka (DPR) buruk. Apalagi ada kegaduhan ini, akan bertambah buruk,” ujar Lucius saat berbincang dengan Alinea.

Berdasarkan catatan Formappi, sejak Januari hingga Oktober, DPR baru mengerjakan lima dari 52 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2017. Sedangkan tahun lalu, legislatif hanya menyelesaikan 10 dari 51 Prolegnas prioritas dan pada 2015, parlemen menyelesaikan 3 dari 40 Prolegnas prioritas.

“Itu dikerjakan dalam kondisi tidak ada hal yang luar biasa, mestinya normal, itupun hanya sedikit hanya lima,” sambungnya.

Desakan penggantian DPR muncul juga dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Partai berlambang matahari itu menegaskan, DPR adalah lembaga milik semua orang, termasuk fraksi yang lain. Karena itu, Fraksi PAN mengimbau Golkar segera memroses pergantian Setnov agar parlemen tak tersandera.

"Citra DPR bisa menjadi lebih baik kalau dia mundur dan DPR tidak tersandera dengan kasus Novanto," tegas Sekretaris Fraksi PAN, Yandri Susanto seperti dikutip dari Antara.

Tak hanya itu, ia meminta DPP Partai Golkar mengambil kebijakan dengan mengutamakan harkat dan martabat institusi DPR. Kasus yang menyeret Setnov, lanjut Yandri, adalah persoalan pribadi dan bukan masalah kelembagaan.

"Betul itu hak Golkar, tapi sebaiknya Golkar melihat kondisi yang objektif bahwa hari ini Novanto tidak bisa melakukan apa-apa," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid