sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gibran vs Purnomo dan betapa sakralnya restu penguasa parpol

Tak hanya modal elektabilitas, calon kepala daerah juga harus bisa mengambil hati para petinggi parpol.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 20 Des 2019 17:15 WIB
Gibran vs Purnomo dan betapa sakralnya restu penguasa parpol

Genderang kontestasi Pilkada 2020 kian kencang terdengar. Partai politik mulai memanaskan mesin untuk dapat memenangkan calon yang diusung. Para calon yang akan berlaga pun mulai tebar pesona untuk merebut hati publik. 

Potret tersebut setidaknya bisa dilihat dari rivalitas Gibran Rakabuming Raka dan Achmad Purnomo. Kedua kader PDI-Perjuangan itu sama-sama terus bermanuver untuk mendapatkan tiket maju di Pilwalkot Solo. 

Gibran adalah putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), sedangkan Purnomo saat ini masih menjabat sebagai Wakil Wali Kota Solo. Pekan lalu, Gibran telah mendaftarkan diri sebagai bakal calon wali kota ke DPW PDI-P Jawa Tengah. Di sisi lain, Purnomo diusulkan DPC PDI-P Solo. 

Rivalitas Gibran dan Purnomo terekam dalam survei Median yang dirilis, beberapa hari lalu. Dalam survei yang digelar pada periode 3-9 Desember lalu, Purnomo unggul dari segi popularitas dan elektabilitas jika dibanding Gibran. 

Direktur Median Rico Marbun, mengatakan, sebenarnya ada 18 nama yang masuk ke radar survei. Namun, hanya Purnomo dan Gibran yang elektabilitasnya 'memadai' untuk diusung menjadi calon kepala daerah. 

"Hanya Gibran dan Achmad Purnomo yang elektabilitasnya di atas yang lain," kata Rico saat memaparkan hasil survei kepada wartawan di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (16/12) lalu. 

Hasil survei menunjukkan Purnomo dikenal 94,5% responden, sedangkan Gibran oleh 82,3% responden. Adapun dari segi elektabilitas, Purnomo unggul jauh dengan raupan 45% suara responden. Gibran hanya mengantongi 24,5%.

Namun demikian, hasil survei tersebut belum bisa jadi penentu siapa yang bakal diusung PDI-P di Pilwalkot Solo. Politikus PDI-P Aria Bima mengatakan, DPP PDI-P yang bakal menentukan siapa yang berhak mendapatkan tiket pencalonan. 

Sponsored

"Proses penyaringan ada di dewan pimpinan pusat (DPP). Hal yang sangat khusus adalah kewenangan ketua umum partai," ujar Aria kepada Alinea.id di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/12). 

Meski semua berpulang ke Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum, Aria mengatakan, popularitas dan elektabilitas tetap bakal menjadi  pertimbangan partai. "Karena ini kan yang memilih adalah rakyat. Rakyat yang bakal memberi penilaian," ujarnya.

Putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka (tengah) berjalan menuju Kantor DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah untuk mengembalikan formulir pendaftaran pencalonan sebagai Wali Kota Surakarta di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (12/12). /Antara Foto

Hal senada diungkapkan Ketua DPD PDI-P Jateng Bambang Wuryanto. Menurut Bambang, rivalitas antara Gibran dan Purnomo pada akhirnya akan diselesaikan oleh Megawati. 

"Karena dampaknya nasional saya kira ketua umum yang ambil keputusan, ya. Di wilayah ini (Solo) lagi. Dalam hal-hal yang menyangkut isu nasional, hampir pasti ibu turun gunung untuk ambil keputusan," ujarnya.

Terkait hasil survei, Bambang mengatakan, itu bukan jaminan Gibran bakal tersingkir. "Kalau Mas Gibran (elektabilitasnya) melebihi Pak Purnomo itu baru pertanyaan. Itu benerlah karena Pak Purnomo sudah kerja di situ cukup lama. Sudah dikenal. Jadi, wajar. Tapi, survei itu bersifat dinamis," kata dia. 

Bambang pun optimistis keputusan yang diambil Megawati bakal ditaati semua kader di daerah. "Ketika ketum meluncurkan perintah A, maka ke bawah sampai grassroot akan mengatakan A. Enggak ada yang katakan, 'Saya B'. Semua A," ujarnya.

Megawati memang berulangkali menjadi penentu keputusan akhir terkait siapa yang bakal dicalonkan PDI-P sebagai kepala daerah. Pada 2018 misalnya, Megawati 'mengirimkan' Puti Guruh Soekarno sebagai pendamping Saifullah Yusuf di Pilgub Jatim. Puti ialah salah satu cucu Sukarno. 

Di Pilgub Jabar, Megawati juga mengeluarkan rekomendasi untuk mengusung kader PDI-P TB Hasanuddin sebagai cagub. Padahal, PDI-P sempat digadang-gadang bakal mengusung mantan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil sebagai calon. 

Khusus untuk Pilwalkot Solo, dari sisi kedekatan, Gibran bisa dikata selangkah lebih maju ketimbang Purnomo. Selain 'punya' Jokowi, Gibran juga sudah pernah mengunjungi langsung Megawati untuk membahas pencalonannya di Solo. 

Ketua Umum PDI-Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri. /Antara Foto

Pola pencalonan Golkar, PPP, dan NasDem

Mekanisme mengusung calon seperti yang dipraktikkan PDI-P bisa dikata sudah menjadi budaya di kalangan parpol. Di Golkar misalnya, menurut Sekretaris Jenderal Golkar Lodewijk F Paulus, restu ketum menjadi penentu tiket pencalonan. 

"Jadi penjaringan itu dilakukan oleh DPD masing-masing bertingkat. Dari DPD kabupaten/kota provinsi. Baru setelah itu yang menetapkan tetap ketua umum partai lewat di DPP," ujarnya kepada Alinea.id, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa(17/12).

Menanggapi rivalitas Gibran dan Purnomo, Lodewijk mengatakan, Golkar biasanya akan menggunakan lembaga survei untuk menguji kelayakan kader yang saling bersaing. 

"Ada 10 lembaga survei yang kita rekomendasikan. Nah, kami lihat yang punya kans. Pertama, punya popularitas bagus, elektabilitas bagus, terus dukungan logistik juga oke," ujar dia. 

Meski demikian, Lodewijk tak menyangkal faktor kedekatan dengan ketua umum partai juga berpengaruh. "Bisa iya, bisa tidak. Kalau umpamanya deket dengan ketua umum, tapi ternyata elektabilitasnya jeblok, ya enggak ada artinya," ujar dia. 

Mekanisme pencalonan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pun setali tiga uang. Wasekjen PPP Ahmad Baidowi mengatakan, PPP akan menjaring  kader yang layak diusung untuk menjadi kepala daerah lewat mekanisme rapat di DPP. 

"Semua nanti ditentukan oleh DPP. Sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi, usulan itu bisa dari bawah, bisa langsung dari DPP. Kita mendengarkan aspirasi, tapi keputusan ada di DPP pada akhirnya," ujarnya kepada Alinea.id.

Mekanisme sedikit berbeda dipraktikkan NasDem. Menurut Sekretaris Fraksi Partai Nasdem di DPR Saan Mustofa, peran ketua umum tak begitu dominan dalam menentukan calon yang bakal diusung NasDem. "Ketum konsultasi aja," imbuh dia.

Dijelaskan Saan, NasDem membuka pendaftaran bagi tokoh-tokoh potensial untuk maju sebagai calon. Biasanya, nama-nama tokoh tersebut diusulkan DPC atau DPW sebelum sampai ke DPP. DPP kemudian menggelar survei untuk memastikan kelayakan calon-calon yang diusulkan. 

Ada tiga variabel yang dijadikan patokan oleh NasDem untuk menguji kelayakan seorang calon dalam survei tersebut, yakni popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. 

"Tiga hal itu kami jadikan  pertimbangan untuk mengusung kepala daerah. Setelah itu, kami melakukan survei dan kami plenokan. Dari hasil itu  beberapa hal kita konsultasikan dengan ketum. Ini lho hasil dari pleno terkait standar syarat yang kita tentukan soal kapabilitas, integritas, komitmen dan sebagainya," tutur dia. 

Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. /Antara Foto

Hambat regenerasi 

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, mekanisme pencalonan kepala daerah di PDI-P merupakan gambaran nyata oligarki parpol di Tanah Air. Menurut dia, oligarki parpol merupakan penyakit lama yang tak kunjung bisa disembuhkan.

"Parpol yang melekat dengan tata kelola berbasis oligarki menjadikan ketua umum dan lingkaran elite partai menjadi penentu. Hampir semua kebijakan strategis, termasuk menentukan sosok yang akan diusung parpol untuk menjadi kepala daerah, haruslah sekehendak ketua umum," jelasnya. 

Menurut Lucius, budaya sentralistik dan oligarki itu membuat parpol kerap subjektif dalam menilai kelayakan calon kepala daerah. Padahal, belum tentu calon yang diusung diminati atau bahkan dibutuhkan publik di daerah yang menggelar pilkada.

"Sebab nanti elektabilitas figur atau pun kapasitas sama sekali tak berpengaruh untuk mempengaruhi keinginan ketum. Survei elektabilitas hanya akan menentukan bila ketum tak punya kandidat favorit," ujar Lucius.

Lucius memandang kebijakan sentralistik parpol turut membunuh bibit-bibit calon pemimpin di daerah. "Tentu saja ini dampak buruk bagi demokrasi. Akhirnya terlihat pada kualitas pemimpin yang dihasilkan. Sulit mengharapkan jaminan kualitas dari kader yang diusung hanya bermodal disukai pimpinan parpol," tuturnya. 

Infografik Alinea.id/MT Fadillah

Ucapan Lucius itu 'diamini' hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2019. Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor, hampir semua partai di Indonesia masih bercorak sentralistik. 

"Hasil penelitian LIPI menunjukkan bahwa kandidasi, baik aturan mainnya maupun tradisinya, dan nilai nilai yang berlaku memang belum murni menunjukkan satu pola demokratis dalam memberikan keputusan," ujar Firman kepada Alinea.id.

Menurut kajian LIPI, lanjut Firman, pola sentralistik itu kental ada pada proses pencalonan kepala daerah di PDI-P, Partai Gerindra dan PPP. "Selebihnya ada pencampuran antara suara mayoritas kemudian dikonfrontir oleh keputusan elite," ungkap dia. 

Firman mengatakan, potret ini kurang mendidik bagi demokrasi di tingkat akar rumput. Pasalnya, masyarakat daerah dipaksa menuruti kemauan elite politik di tingkat pusat. Padahal, kader-kader di daerahlah yang tahu kebutuhan daerah mereka. 

"Lalu untuk apa buat kepengurusan sampai cabang kalau ujung-ujungnya ditentukan oleh pusat. Jadi, memang fungsi kepengurusan cabang hanya sebatas untuk rekrutmen anggota saja. Untuk kandidasi belum terlalu signifikan," katanya.

Lebih jauh, Firman mengatakan, kebijakan sentralistik bisa menjadi bumerang bagi parpol. "Nantinya kandidat yang maju bakal diperjuangkan setengah hati lantaran tak sesuai aspirasi. Hukumnya bagi partai apa? Ya, kalah dalam kontestasi," ujarnya.

Terpisah, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Ninis Khoirun Nisa Agustyati mengatakan, kebijakan sentralistik parpol dan pengaruh selera ketua umum dalam penentuan kandidat kepala daerah berimplikasi negatif terhadap regenerasi pemimpin di parpol.

Kader-kader potensial di daerah, kata Ninis, bakal menjadi kelompok yang paling dirugikan oleh pola semacam itu. "Kader-kader yang ada di daerah memang bakal mudah sekali tersingkir jika ada orang baru yang dekat dengan elite partai politik," ujar dia. 

Berita Lainnya
×
tekid