sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kongsi koalisi Prabowo-KIB: "Besar badan, tapi kurang tenaga..."

Wacana peleburan koalisi parpol pendukung Prabowo dan KIB dinilai sulit terealisasi.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 14 Apr 2023 06:13 WIB
Kongsi koalisi Prabowo-KIB:

Manuver untuk membentuk koalisi besar terus digelar para petinggi partai politik jelang Pemilu 2024. Teranyar, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menyambangi Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto di kediamannya di Kertanegara 4, Jakarta Selatan, Kamis (6/4). 

Dalam pertemuan selama sekitar satu jam itu, Yusril menjajaki kemungkinan PBB bergabung dalam koalisi besar parpol. Meski belum terbentuk, Yusril menyebut koalisi besar merupakan kerja sama politik paling ideal bagi parpol di Indonesia. 

"Koalisi besar itu betul-betul semua bersatu, menyatukan. Tidak ada lagi yang di luar. Ini memang sesuatu yang ideal. Kerja sama, kegotongroyongan, dan tidak ada oposisi yang frontal," kata Yusril kepada wartawan usai pertemuan itu. 

Gagasan pembentukan koalisi besar kali pertama mencuat dalam pertemuan antara Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar pada awal Februari lalu. Dalam pertemuan itu, keduanya membuka peluang untuk melebur Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). 

KIB saat ini beranggotakan Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hingga kini, KIB belum mengumumkan capres yang bakal diusung di Pilpres 2024. Adapun KKIR berisi PKB dan Gerindra. Belum punya pendamping, Prabowo digadang-gadang jadi capres yang bakal diusung KKIR.

Wacana koalisi besar kembali menguat setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertandang ke DPP PAN di Jakarta, awal April lalu. Bertajuk silaturahmi bulan Ramadan, acara itu juga dihadiri Ketum PAN Zulkifli Hasan, pelaksana tugas Ketum PPP Mardiono, Prabowo, Airlangga, dan Muhaimin. 

Ditanya wartawan soal wacana pembentukan koalisi besar lima parpol pendukung pemerintah, Jokowi menyebut bakal merestui peleburan KIB-KKIR. "Cocok. Saya hanya bilang cocok," ujar Jokowi. 

Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Ferry Noor mengatakan merapat ke koalisi besar merupakan langkah yang paling realistis bagi partainya. Ia berharap PBB bakal mendapat efek ekor jas dari koalisi besar dan Prabowo. 

Sponsored

"Partai-partai besar ini punya tokoh, tapi kami menyodorkan nama Prof Yusril Ihza Mahendra untuk mendampingi Prabowo. Efek ekor jas ketika memilih capres yang menang tentu berdampak kepada partai kami," kata Ferry kepada Alinea.id, Rabu (12/4).

Ferry mengakui bukan perkara mudah untuk meloloskan Yusril sebagai pendamping Prabowo. Apalagi, PBB bukan parpol penghuni parlemen. Pada Pemilu 2019, PBB hanya mengantongi 0,79% suara. Di lain sisi, posisi pendamping Prabowo di pentas pilpres juga diminati Muhaimin dan Airlangga.  
 
"PBB juga tidak bisa memaksa. Namanya koalisi gabungan semua partai politik itu sulit berkompromi. Kami memahami semua serba berat dari sisi PBB. Tinggal bagaimana kebijakan partai politik koalisi ini. Siapa yang terbaik di antara mereka untuk mendampingi calon presidennya," ucap Ferry.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri acara silaturahmi Ramadan di Kantor DPP PAN di Jakarta, awal April lalu. /Foto Instagram @zul_hasan

Manuver realistis

Jika terealisasi, peleburan KIB dan KKIR bakal menghasilkan koalisi yang setidaknya bakal beranggotakan lima parpol penghuni parlemen. Berbasis hasil Pileg 2019, kelima parpol itu mengantongi sekitar 45% suara nasional. Di parlemen, gabungan lima parpol itu menguasai 284 kursi anggota DPR. 

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad berpandangan wacana pembentukan koalisi besar mencuat karena KIB tidak memiliki figur yang kompetitif untuk bersaing di Pilpres 2024. Itulah kenapa KIB menjajaki kemungkinan berkoalisi dengan parpol pengusung Prabowo.

"Seperti Gerindra atau KKIR itu menjadi pilihan realistis. Prabowo adalah satu dari sedikit tokoh nasional yang saat ini paling kompetitif untuk menjadi calon presiden," jelas Sadiman kepada Alinea.id, Selasa (11/4).

KIB dan KKIR, kata Saidiman, bisa klop lantaran punya persoalan serupa. Seperti KIB, KKIR juga belum menyepakati format capres-cawapres meskipun PKB gencar mempromosikan Cak Imin sebagai pendamping Prabowo. 

"Tantangan mereka sekarang adalah bagaimana mempertemukan kepentingan masing-masing partai. Misalnya, siapa di antara ketua umum lima partai itu yang bisa diajukan sebagai cawapres. Pembicaraan atau kesepakatan dengan paket capres-cawapres itu pasti tidak mudah dan sederhana," kata Saidiman.

Ketua DPP Partai Golkar Dave Laksono mengatakan Golkar berhasrat menyodorkan Airlangga sebagai kontestan di Pilpres 2024 jika koalisi besar terwujud. Ia mengakui pembahasan soal capres-cawapres bakal alot di antara partai anggota koalisi. 

"Saat ini, (pembentukan koalisi) masih tahap penjajakan, belum menentukan hal-hal yang strategis. Seiring dengan berkembangnya waktu, akan ada arah yang lebih jelas ke depannya," kata Dave kepada Alinea.id, Selasa (11/4).

Dave tak sependapat jika gagasan koalisi besar disebut sebagai manuver politik KIB yang tak punya calon kuat di Pilpres 2024. "Pandangan dari luar, kami terus melakukan konsolidasi dan selalu berjalan dengan baik," kata Dave.

Lebih jauh, Dave mengungkap para petinggi parpol di KIB dan KKIR bakal segera bertemu untuk menetapkan hal-hal strategis, termasuk di antaranya soal format capres dan cawapres. "Tunggu saja nanti keputusan dari setiap partai," imbuhnya. 

Selain Prabowo, saat ini baru mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang telah dideklarasikan sebagai capres di Pilpres 2024. Saat ini, Anies didukung Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

PDI-P jadi satu-satunya parpol yang belum punya koalisi. Meski begitu, PDI-P bisa mengusung sendiri capres mereka lantaran mengantongi 19,33% suara pada Pemilu 2019. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Ketua DPR RI Puan Maharani mencuat jadi kandidat terkuat yang bakal diusung  kubu banteng moncong putih. 

Menyoal wacana koalisi besar, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai NasDem Hermawi Taslim berujar NasDem dan kawan-kawan tak mau ambil pusing.  Meski begitu, ia mengakui koalisi parpol pengusung Anies tengah berkonsolidasi untuk menambah kekuatan politik. 

"Koalisi kami jumlah suaranya sudah 28%. Kami siap menghadapi koalisi mana pun. Tetapi, kami juga terus membangun silahturahmi dan terbuka terhadap tambahan koalisi," kata Hermawi.

Ketum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar (kiri) bersama Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto. /Foto Instagram @prabowo

Bukan jaminan 

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak berpendapat gagasan pembentukan koalisi besar digaungkan demi memperkuat basis keterpilihan capres dan cawapres KIB dan KKIR.  Menurut dia, KIB dan KIR tidak punya modal yang kuat untuk mengarungi Pilpres 2024.

"Jadi, keduanya sadar betul perlu membuat terobosan politik. Di KIR sendiri, meskipun ada PKB, Prabowo masih bermanuver untuk mendapatkan cawapres yang lebih bisa mendongkrak elektabilitas, antara lain dengan terus melobi Khofifah (Indar Parawangsa)," kata Zaki kepada Alinea.id, Senin (10/4).

Dari hitung-hitungan politik, Zaki memandang parpol KIB bakal lebih diuntungkan dengan terbentuknya koalisi besar. Pasalnya, KIB tidak memiliki calon yang layak tanding di Pilpres 2024. PPP dan PAN, dua parpol anggota KIB, juga terancam tidak lolos ambang batas parlemen sebesar 4%. 

"Apalagi, PAN dan PPP yang terancam suaranya jeblok. Mereka harus berjuang keras untuk bisa lolos electoral threshold. Jadi, koalisi akbar Ini dimaksudkan untuk mengatasi kendala-kendala internal KKIR dan KIB," ucap Zaki.

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Secara teori, menurut Zaki, peleburan koalisi bisa bermakna penggabungan konstituen. Namun, hitung-hitungan itu tidak baku. Pasalnya, pemilih atau simpatisan sebuah parpol pada pemilu tak selalu memilih capres-cawapres yang diusung parpol tersebut. 

"Akan terjadi mobilisasi semua ceruk pemilih parpol koalisi, dari sayap Islam hingga nasionalis. Tapi, dalam riil politik, hitungan matematis sering meleset dan tidak jalan. Pada pilpres, figur yang paling menentukan, bukan partai pendukungnya," ucap Zaki.

Zaki mencontohkan Pilpres 2004. Pada putaran kedua, pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi diusung koalisi gemuk yang beranggotakan PDI-P, Golkar, PPP, PBR, PDS, PKPB, dan PNIM. Meski begitu, Pilpres 2004 dimenangi pasangan Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla yang diusung lebih sedikit parpol. 

"Koalisi kebangsaan Mega-Hasyim yang didukung koalisi raksasa, rontok. Kalah telak oleh koalisi pendukung SBY-JK. Saat ini jenis yang sama, koalisi kebangsaan, coba dihidupkan lagi di bawah komando Jokowi. Jika salah berhitung, bisa-bisa nasibnya sama dengan koalisi kebangsaan sebelumnya," kata Zaki.

Zaki sependapat penentuan format capres-cawapres bakal jadi ujian terberat koalisi besar. Jika gagal melalui itu, bukan tidak mungkin wacana koalisi hanya bakal sekadar angin lalu. Jika terbentuk pun, koalisi potensial tidak efektif lantaran ada parpol yang hanya sekadar "numpang nama".

"Tidak semua parpol koalisi memiliki komitmen kuat, terutama mereka yang kurang terakomodasi. Akibatnya, koalisi bisa menjadi 'besar badan, tapi kurang tenaga'. Tidak lagi gesit bergerak. Akhirnya, justru menjadi beban. Tuah Jokowi, yang saat ini masih dianggap ampuh, pada 2024 nanti juga akan makin memudar seiring kekuasaan politiknya yang mendekati akhir," jelas Zaki.

Berita Lainnya
×
tekid