sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Saat parpol-parpol memburu ekor jas Anies, Sandi, dan Erick

PPP mendeklarasikan Sandi sebagai cawapres meski belum mengantongi persetujuan dari PDI-P dan Ganjar.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 23 Jun 2023 06:15 WIB
Saat parpol-parpol memburu ekor jas Anies, Sandi, dan Erick

Meski belum mendapat "lampu hijau", Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah resmi menunjuk Sandiaga Uno sebagai bakal calon wakil presiden (bacawapres) mendampingi Ganjar Pranowo di Pilpres 2024. Keputusan itu disepakati dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) VI PPP di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta, akhir pekan lalu. 

Keputusan itu terkesan terburu-buru. Pasalnya, Sandi baru bergabung dengan PPP selang beberapa hari sebelum rapimnas. Namun, Ketua DPP PPP Ahmad Baidowi berdalih keputusan itu telah dipikirkan matang-matang oleh parpolnya. 

"Kalau bisa menempatkan kadernya sebagai cawapres kan bagus, seperti dulu PPP menempatkan (eks Ketum PPP) Pak Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Jadi, bukan sesuatu yang berlebihan kalau kemudian menempatkan Pak Sandiaga sebagai wakil presiden," ucap Awiek, sapaan akrab Baidowi, kepada Alinea.id, Selasa (20/6). 

Taktik "menaturalisasi" Sandi, kata Awiek, merupakan pilihan paling realistis bagi PPP. Ia menyebut PPP tak mau hanya jadi penonton di Pilpres 2024. PPP saat ini tercatat menjadi salah satu parpol pengusung Ganjar Pranowo. "Partai ingin yang terbaik," imbuh dia. 

Sandi merupakan salah satu kandidat cawapres dengan elektabilitas tertinggi. Dalam sigi Litbang Kompas yang dirilis Mei lalu, misalnya, elektabilitas Sandi mencapai 11,9%. Eks politikus Gerindra itu ditempel Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang tingkat keterpilihannya 9,3%. 

Di lain sisi, PPP jadi salah satu parpol dengan elektabilitas terendah di beragam papan survei. Dalam survei terbaru Indopol yang dirilis beberapa hari lalu, partai berlambang kakbah itu berada di urutan ke-11 dengan elektabilitas 1,21%. PPP bahkan berada di bawah Partai Perindo dan Hanura yang notabene bukan parpol penghuni parlemen saat ini. 

Awiek membantah deklarasi dini Sandi sebagai cawapres merupakan strategi parpol untuk mendapatkan coat tail effect (efek ekor jas) dari Sandi. Ia menyebut PPP bakal mengandalkan kinerja para caleg untuk lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) sebesar 4%. 

"PPP enggak sama sekali terpengaruh dengan hasil survei. Sejauh ini, yang disurvei itu partai politik, belum sama calegnya. Kenapa kemudian hasil survei selalu meleset dengan hasil pemilu? Karena ketika pemilu itu ada partai, ada caleg dan tim sukses. Oleh karena itulah, PPP pasti lolos PT," ucap Awiek.

Sponsored

Selain PPP, Partai Amanat Nasional (PAN) jadi salah satu parpol yang diprediksi sejumlah lembaga survei bakal terpental dari Senayan. Dalam sigi Indopol, misalnya, partai besutan Zulkifli Hasan itu hanya mengantongi elektabilitas 2,90%. 

Belakangan, PAN juga "wara-wiri" mempromosikan Menteri BUMN Erick Thohir sebagai cawapresnya, baik untuk dipasangkan dengan Ganjar atau Prabowo Subianto. Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menyebut keputusan mengusung Erick sudah disepakati internal PAN sejak lama. 

"Kami mendorong Mas Erick karena hasil keputusan Rakernas PAN 2020. Sebab dari visi dan pemikiran Mas Erick sama dengan platform PAN. Erick bagi PAN bukan orang lain buat PAN," kata Viva saat dihubungi Alinea.id, Kamis (22/6).

Soal survei sejumlah lembaga yang memprediksi PAN tak lolos ambang batas parlemen, Viva tak ambil pusing. Ia menyebut PAN sejak 2004 kerap dianggap sebagai partai yang punya elektabilitas rendah dan terancam gagal menempatkan kadernya di DPR. 

"Sampai tahun 2022 ini, beberapa lembaga survei merilis hasil survei bahwa PAN adalah partai nasakom, partai yang nasibnya satu koma. Jika hasil dari lembaga survei itu akurat dan valid, maka sejak Pemilu 2004 PAN seharusnya tidak lolos parliamentary threshold," kata Viva. 

Meski begitu, menurut Viva, PAN tetap memanfaatkan hasil survei sejumlah lembaga sebagai rujukan untuk merancang strategi pemenangan. Di sisi lain, PAN juga menggelar survei internal saban pemilu sebagai data pembanding.

"Ketika kami menanyakan kepada surveyor mengapa hasil survei selalu berbeda dengan hasil pemilu, mereka menjawab, 'Karena yang berperan penting adalah pergerakan para caleg PAN di dapil masing-masing.' Itulah kenapa hasil pemilu juga sering berbeda dengan hasil survei kami, ” ucap Viva.

Menparekraf Sandiaga Uno (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Umum PPP Mardiono dalam Rapimnas PPP di Jakarta, Juni 2023. /Foto Instagram @sandiuno

Butuh kerja keras

Direktur Riset Indonesia Presidential Studies (IPS) Arman Salam  memandang manuver PPP dan PAN mengusung cawapres merupakan strategi untuk meraup efek ekor jas dari para kandidat. Tanpa lonjakan elektabilitas, kedua parpol itu disebut Arman bakal sulit untuk kembali menghuni Gedung DPR. 

"Berdasarkan survei IPS pertengahan tahun 2022, tiga partai penghuni Senayan berada diujung tanduk yakni PPP, PAN dan NasDem. Angka elektabilitasnya di bawah 3%. Manuver cepat dilakukan oleh NasDem dengan mendeklarasikan Anies (Baswedan). NasDem berhasil mengangkat suara dengan mendulang Anies effect," kata Arman kepada Alinea.id, Selasa (22/6).

NasDem mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres pada Oktober 2022. Survei Litbang Kompas yang dirilis pada Februari 2023 mencatat elektabilitas melonjak signifikan setelah deklarasi tersebut, dari 4,3% menjadi 7,3%. 

Meski begitu, Arman menilai, NasDem belum sepenuhnya "aman". Elektabilitas NasDem potensial tergerus lantaran salah satu kadernya, yakni eks Menkominfo Johnny G Plate, kini tersandung kasus korupsi. "Bukan tidak mungkin terjadi degradasi suara pada Nasdem saat ini akibat ulah para menterinya," ucap Arman.

Lantas bagaimana dengan PAN dan PPP? Menurut Arman, kedua parpol itu harus kerja keras jika ingin mendapatkan efek ekor jas dari Sandi dan Erick. Pasalnya, kedua figur itu dianggap belum memiliki ikatan emosional dengan konstituen PAN dan PPP. 

"Di sisi lain, masyarakat sadar apa yang dilakukan PPP dan PAN adalah upaya politik untuk mengatrol suara. Figur yang digadang partai tersebut juga (dianggap hanya memanfaatkan parpol) sebagai kendaraan untuk masuk sebagai jajaran cawapres primadona," ucap Arman.

Lebih jauh, Arman menyebut asosiasi antara kandidat dan parpol juga bukan jaminan untuk mendongkrak elektabilitas. Menurut dia, mayoritas pemilih tak selalu mencoblos parpol pengusung kandidat capres atau cawapres yang mereka sukai. 

"Antara pilihan partai dan capres tidak melulu linier atau berbanding lurus. Publik bisa membedakan antara memilih partai dan capres. Hal ini menandakan militansi terhadap partai tidak kuat dalam konteks partisan di indonesia. Figure ID lebih dominan dibanding party ID," jelas Arman.

Senada, peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad memandang wajar jika PPP dan PAN "jor-joran" mengusung cawapres mereka masing-masing. Menurut dia, kedua parpol itu tak punya tokoh kuat yang bisa dijadikan sebagai wajah partai di Pemilu 2024. 

"Karena itu, apa yang dilakukan NasDem mendorong figur populer untuk menjadi capres sejak dini atau PPP dan PAN yang mengambil Sandiaga dan Erick Thohir sebagai figur cawapres adalah upaya untuk mendongkrak suara partai melalui aspek ketokohan tersebut," ucap Saidiman kepada Alinea.id, Selasa (20/6).

Menurut Saidiman, PAN dan PPP masih punya peluang besar untuk mendongkrak elektabilitas parpol dengan memanfaatkan ketokohan Sandi dan Erick. Kedua figur itu, kata dia, terutama bisa jadi magnet untuk menggaet para pemilih pemula. 

"Mungkin dengan munculnya sosok baru dan muda seperti Sandiaga Uno, itu akan mampu menarik pemilih baru dan muda. Sedangkan PAN, terlihat sekali pascakepindahan Amien Rais itu kehilangan figur tokoh. Erick Thohir mungkin bisa sedikit banyak mengisi kembali kekosongan figur itu," ujar Saidiman.

Meski begitu, asosiasi parpol dengan para kandidat tersebut bukannya tanpa risiko. Saidiman mencontohkan NasDem yang ditinggalkan sejumlah kader dan konstituennya setelah mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres. 

"Partai ini cukup berhasil menarik pendukung Anies, walaupun dengan risiko kehilangan sebagian pendukung lama yang anti pada Anies," jelas Saidiman. 

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri), Menteri BUMN Erick Thohir (kanan), dan Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang di sela-sela pertandingan antara timnas Indonesia vs Argentina di GBK, Jakarta, Juni 2023. /Foto Instagram @erickthohir

Saling menguntungkan? 

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak memandang manuver PPP dan PAN mengusung Sandi dan Erick sebagai cawapres masing-masing merupakan pilihan politik paling realistis. Kedua parpol butuh suntikan elektabilitas "instan" supaya bisa kembali berkantor di Senayan. 

"Pilihan tersebut merupakan pilihan taktis dan strategis. Di beberapa survei, nama Sandi dan Erick juga cukup leading dibanding nama-nama lain. Keduanya sudah sering masuk dalam big three cawapres dengan elektabilitas tinggi," kata Zaki kepada Alinea.id. 

Selain suntikan elektabilitas, Zaki berpandangan, PPP dan PAN memilih Sandi dan Erick karena kedua tokoh itu merupakan pengusaha kaya. Kekuatan finansial dari keduanya bisa membantu memuluskan kerja mesin parpol di Pemilu 2024. 

"Tampaknya mereka sadar parpol yang fakir bakal terseok-seok dalam kontestasi pemilu yang akan menghabiskan dana hingga triliunan. Dengan mengajukan dua juragan besar itu, diharapkan dapat membantu keterbatasan finansial mereka," ucap Zaki.

Meski begitu, menurut Zaki, pilihan petinggi PPP dan PAN sebenarnya tak sejalan dengan keinginan konstituen kedua parpol tersebut di akar rumput. Mengutip survei sejumlah lembaga, ia menyebut kontituen PPP dan PAN cenderung memilih Anies sebagai capres. 

"Survei-survei itu mengonfirmasi dukungan grassroot condong ke AB (Anies Baswedan). Tetapi, parpol terpaksa harus melawan aspirasi arus bawahnya dengan mengikuti instruksi 'Pak Lurah' yang akan menghukum kedua parpol tersebut jika mengajukan Anies," ucap Zaki.

Upaya mengusung Sandi dan Erick, lanjut Zaki, juga bisa berimplikasi negatif bagi PPP dan PAN. Sandi merupakan kader baru di PPP, sedangkan Erick bahkan tidak memegang kartu tanda anggota di PAN. Kedua parpol ini bisa dipersepsikan sekadar disewa untuk kendaraan politik. 

"Risiko negatifnya, PPP dan PAN yang memang terlihat semakin pragmatis, tipis, atau kurang ideologis. Parpol-parpol ini semakin dilihat sebagai penopang kekuasaan oligarki," ucap Zaki.

 

Berita Lainnya
×
tekid