sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Visi pangan Ganjar, Prabowo, dan Anies: Masih sekadar omong kosong? 

Pemenuhan pangan jadi salah satu isu utama yang 'dijual' Ganjar, Prabowo, dan Anies di Pilpres 2024.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 30 Sep 2023 12:14 WIB
Visi pangan Ganjar, Prabowo, dan Anies: Masih sekadar omong kosong? 

Pangan jadi salah satu topik yang paling hangat diperbincangkan di pentas Pilpres 2024 dalam beberapa hari terakhir. Di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDI-P di JI-Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (29/9), misalnya, kedaulatan pangan jadi topik utama yang dibahas. 

Sebelumnya, isu pangan juga dijadikan "peluru" oleh Muhaimin Iskandar, pasangan dari bacapres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan. Muhaimin menyebut program food estate yang diinisiasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2020 telah gagal. 

Selain Jokowi, pria yang kini akrab disapa Gus Imin itu juga dinilai menyerang Prabowo Subianto, capres dari Gerindra. Sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo jadi salah satu menteri yang ditugaskan Jokowi untuk menjalankan proyek itu. 

Ganjar, Anies, dan Prabowo sendiri sudah punya visi-misi awal terkait pangan. Dalam sejumlah forum publik, Ganjar, misalnya, sudah mengungkap sejumlah strategi untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. 

Ada tiga strategi utama Ganjar. Pertama, menggenjot kinerja birokrasi untuk memantau ketersediaan suplai dan permintaan. Kedua, mendongkrak sentra produksi bahan pokok. Ketiga, menyeimbangkan neraca ekspor-impor pangan. 

Di lain sisi, Prabowo mengungkap bakal melanjutkan program food estate yang digagas Jokowi. Ia juga menjanjikan memberi makan siang dan minum susu gratis untuk semua murid di sekolah, pesantren, serta anak-balita. Kartu Sembako juga bakal dipertahankan jika Ketum Gerindra itu memenangi kontestasi. 

Adapun Anies lebih banyak mengkritik kebijakan-kebijakan terkait pangan yang dijalankan pemerintah. Dalam adu gagasan yang digelar Mata Najwa di Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (19/9), Anies menyebut harga pangan masih terlampau mahal. Ia juga berjanji bakal memerangi mafia-mafia produk pertanian. 

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikun menilai visi pangan Ganjar, Prabowo, dan Anies masih sekadar wacana "ompong". Ia memandang strategi-strategi para bacapres yang diumbar ke publik belum menyentuh akar persoalan. 

Sponsored

Ia berujar ada segudang masalah pelik yang perlu diselesaikan daripada sekadar menggenjot produksi dan swasembada pangan. Yang paling penting harus dipersoalkan ialah keberpihakan negara terhadap impor dan minimnya upaya-upaya untuk menyejahterakan petani. 

"Mereka masih terlihat sekali tidak menguasai masalah dan hanya beretorika saja. Pada praktiknya, setiap presiden ketiga berhadapan dengan kenyataan, selalu mencari jalan pintas, yaitu dengan mengandalkan impor pangan," kata Soemitro saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Sebagai gambaran, Soemitro menyinggung persoalan di kalangan petani tebu yang sulit sekali mendapatkan bibit lantaran dikelola pihak swasta dan BUMN. 

"Padahal itu tugas pemerintah untuk menyediakan bibit unggul, tetapi karena itu ada di dalam pengelolaan BUMN maka dia tidak mendapatkan dana dari APBN," ucap Soemitro.

Tak hanya itu, menurut Soemitro, petani juga kerap sulit mendapatkan pupuk subsidi saat dibutuhkan. "Kalau sekarang, gampang. Orang kita lagi enggak musim tanam. Coba nanti bulan ke-10 dan ke-11. Pada saat hujan turun, saat mau turun tanam, susah itu pupuk," imbuhnya. 

Khusus untuk tebu, Soemitro merinci sejumlah kebijakan yang perlu diubah demi menyejahterakan petani. Pertama, ialah penetapan harga eceran tertinggi (HET) gula yang tak boleh lebih dari Rp14.500. Sejak 2016, kebijakan itu tak boleh diutak-atik. 

"HET di petani itu semestinya naik 15 ribu. Dari dulu, gula itu (harganya) 1,5 kali lipat dari harga beras, yaitu ketika harga beras Rp10 ribu. Harusnya harga itu disesuaikan dengan mekanisme pasar," ucap Soemitro.

Persoalan pelik juga muncul karena gula lokal kerap kali dipaksa bersaing dengan gula impor yang lebih murah. Menurut Soemitro, gula produksi domestik kalah bersaing karena pabrik-pabrik pengolahan gula milik BUMN sudah tua dan fasilitasnya tak diperbaiki. 

"Perlu diketahui 70% gula kita kan milik BUMN. Kalau mau efisien, ya, pemerintah turun tangan perbaiki lebih efisien mesin pengolahan gula kita sudah pada tua. Sehingga kita tidak bisa bertanding secara efisien dengan pabrik gula," ucap Soemitro.

Ketiga bacapres, lanjut Soemitro, harus sadar bahwa upaya-upaya menggenjot produksi pangan tak akan berarti apa-apa tanpa memerhatikan kesehatan petani. Sebelum ada program-program konkret untuk menyejahterakan petani, Soemitro menyebut para bacapres hanya sekadar beretorika. 

"Semuanya mengejar swasembada dan ingin menyajikan harga murah. Tapi, realitanya akhirnya mengadakan pemerkosaan pada produsen. Siapa produsen? Ya, petani. Sekarang yang dibutuhkan itu bagaimana produktivitas meningkat, tapi tidak menurunkan keuntungan dan membebani dari petani," ucap Soemitro.

Gubernur DKI Jakarta saat panen raya di Sumedang, Jawa Barat, Juni 2021. /Foto dok. Pemprov DKI Jakarta

Petani mitra bisnis

Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Abdul Hamid juga pesimistis. Dia mengaku belum melihat gagasan ketiga bacapres yang menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi petani cabai. Padahal, komoditas cabai sangat mudah dipengaruhi oleh inflasi.

Ia bertutur selama ini sektor percabaian tak pernah diurus serius oleh pemerintah. Harga cabaik kerap naik turun lantaran produksinya masih sangat konvensional.

"Pada saat musim kemarau, dia (petani) enggak produksi. Pada musim hujan, dia susah produksinya. Harga mahal dan turun naik. Saya pernah mengusulkan ditanam dengan green house. Itu saya pastikan enggak terpengaruh cuaca," kata Hamid kepada Alinea.id, Senin (25/9).

Jika mau serius menyejahterakan petani cabai, Hamid berpendapat para bacapres harus menyusun program-program yang secara khusus bertujuan untuk mengubah skema produksi. Hamid mencontohkan skema green house yang pernah ia usulkan kepada Bank Indonesia (BI).

"Pengalaman saya, ukuran satu hektare itu, kalau terbuka itu, paling tinggi (menghasilkan) 15 ton per hektar selama 8 bulan. Kalau pakai green house, per hektare itu bisa sampai 180 ton. Jadi timpang sekali dan ini tidak dipengaruhi oleh cuaca. Hanya memang investasi awalnya besar. Biaya besar itu untuk membangun green house," ucap Hamid.

Hamid mengaku sudah berulangkali meminta kepada BI dan Kementerian Pertanian untuk merangsang investasi pada pola penanaman cabai di rumah kaca. Namun, pemerintah sejauh ini hanya bersedia menggelontorkan bantuan ke petani. Belum ada yang mau serius berbisnis dengan para petani. 

"Karena modelnya itu bantuan. Bantuan itu satu kali, satu tahun, selesai. Yang penting pemerintah itu sudah ada berita acara serah terima. Padahal, green house dan tata kelola niaga perlu diubah. Setiap presiden belum serius garap ini," kata Hamid.

Sektor pertanian cabai, kata Hamid, juga sulit berkembang karena direcoki birokrasi badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD). Di lain sisi, harga komoditas itu juga kerap dipermainkan oleh perusahaan swasta. 

Karena itu, Hamid menegaskan, pemerintah harus mulai menyusun skema baru untuk menggandeng petani sebagai mitra bisnis. "Kalau bisnis lebih ada semangat pemberdayaan ketimbang ngasih bantuan setelah itu selesai, nanti yang berbisnis silakan bisa BUMN, BUMD atau siapa saja, tapi langsung kepada petani," kata Hamid.

Petani memanen padi menggunakan alat mesin pertanian (alsintan) saat panen raya di areal lumbung pangan (food estate) di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (12/9/2020). Panen raya di areal tersebut stabil meski di tengah pandemi COVID-19 dengan hasil 12 ton padi jenis hibrida dari lahan dua hektare. /Foto Antara

Perlu terobosan

Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso sepakat perlu ada terobosan untuk membangun kedaulatan pangan. Menurut dia, selama sepuluh tahun terakhir gagasan untuk menggenjot produksi pangan tak pernah serius direalisasikan. 

Alih-alih mendongkrak produksi, Dwi menyebut, pemerintah kerap mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik. Ia mencontohkan konsumsi gandum yang naik dari 4% pada dekade 1970-an menjadi sekitar 28% pada 2021. Untuk memenuhi kebutuhan gandum, pemerintah mengandalkan impor. 

"Saat ini, ada beberapa hal yang teramat penting yang jarang disentuh yaitu pergeseran dari beras ke makanan berbahan baku gandum. Itu yang amat sangat jarang disentuh. Padahal, semakin lama gandum semakin mahal," ucap Andreas kepada Alinea.id.

Nasib komoditas pangan lainnya juga tidak menggembirakan. Meskipun bisa ditanam di dalam negeri, banyak komoditas pangan yang kebutuhannya dipenuhi menggunakan skema impor. Artinya, strategi mengenjot produksi dalam negeri dan membangun swasembada pangan tak berjalan. 

"Gandum itu 100% impor, kedelai 70% impor, dan gula 70% kita impor.  Setiap presiden pasti, entah apa namanya, mendorong swasembada pangan atau pajale (padi, jagung, dan kedelai). Tapi, apa hasilnya? Semakin lama impor kita semakin tinggi. Itu yang terjadi," kata Andreas.

Andreas juga menyinggung program pangan Presiden Jokowi yang ingin swasembada beras. Namun, ternyata produksi beras terus merosot 0,23% per tahun. Di lain sisi, milai impor komoditas pangan Indonesia dari 2008 hingga 2018 naik sekitar tiga kali lipat, yakni dari 8 juta ton menjadi 27,6 juta ton. 

"Masuk akal apa enggak dalam tempo sepuluh tahun naik segitu. 
Siapa pun presiden yang nanti berkuasa. Walaupun retorikanya menyeimbangkan impor-ekspor, meningkatkan produksi, tapi setiap presiden pada kenyataannya sama saja. Impor itu yang jadi pilihan," kata Andreas.

Menyandingkan strategi-strategi membangun kedaulatan pangan yang diutarakan para bacapres, Andreas sepakat ketiganya masih sekadar beretorika. Persoalan utama, semisal besarnya kuota impor dan kesejahteraan petani belum tersentuh. 

"Saya melihat pola pikirnya yang penting pangan murah. Biang keroknya apa? Sederhana saja, ketika dihadapkan pada pilihan pilihan konsumen atau produsen, dalam hal ini petani, pemerintah itu selalu menjatuhkan pilihannya pada konsumen. Akhirnya, impor jadi solusi. Semua masih terlihat retorika," ucap Andreas.

 

Berita Lainnya
×
tekid