Dibahas hanya dalam jangka waktu kurang dari 3 jam, Badan Legislasi DPR menyetujui revisi peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib atau Tatib DPR. Mulanya diusulkan Mahkamah Kehormatan DPR (MKD), revisi Tatib DPR lantas disahkan di rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2).
MKD mengusulkan penambahan satu pasal, yakni Pasal 228A. Pasal itu memberikan kewenangan bagi DPR untuk "melakukan evaluasi secara berkala terhadap pemimpin lembaga dan kementerian yang disepakati di rapat paripurna." Evaluasi dilakukan komisi terkait dan hasilnya bersifat mengikat untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Dengan disahkannya revisi tatib, semua pejabat negara yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR bisa dievaluasi oleh parlemen, termasuk di antaranya para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
Direktur Pusat Studi Konstitusi, Demokrasi dan Masyarakat (SIDEKA) Fakultas Syariah UIN Samarinda, Suwardi Sagama mengkritik revisi Tatib DPR yang memberi kewenangan bagi DPR untuk mengevaluasi pejabat negara. Menurut dia, semestinya Tatib DPR hanya berlaku untuk internal DPR.
"Namun peraturan yang bersifat internal tetapi dibawa keluar memperlihatkan minimnya referensi atau bahkan kegagalan dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai legislatif. Hukum tertinggi adalah konstitusi, dalam hal ini UUD1945. Ada teori hirearki peraturan perundang-undangan. Artinya, peraturan yang dibuat di bawah konstitusi mengacu hukum di atasnya," kata Suwardi kepada Alinea.id, Rabu (5/2).
Suwardi menilai revisi Tatib DPR menyalahi trias politika yang dianut Indonesia. Pasalnya, DPR kini seolah punya kewenangan layaknya lembaga eksekutif yang bisa mengevaluasi dan merekomendasikan pemberhentian pejabat negara.
legislator DPR yang ingin memperluas kewenangan tidak hanya sekadar memilih, namun juga memberhentikan pejabat negara, merupakan DPR periode 2024-2029 tidak memahami tata negara. Sebab, konsitusi telah membagi fungsi lembaga negara
"DPR selayaknya menjalankan tugas dan fungsinya sebagai legislatif, sebagaimana pemisahan yang sudah memberikan kewenangan pada kekuasaan lain, yakni ada pada eksekutif dan yudikatif. Ini bisa menjadi preseden buruk terhadap lembaga DPR dan mencoreng citranya," kata Suwardi.
Dosen hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini sepakat revisi Tatib DPR potensial menimbulkan dampak negatif. Dengan kewenangan besar seperti itu, DPR seolah bisa "mengatur" kebijakan dan perilaku pejabat-pejabat tinggi negara.
"Beberapa lembaga strategis negara yang terutama bertugas untuk memberantas korupsi, termasuk menjalankan fungsi-fungsi strategis, bisa kapan saja dijegal kalau dirasa tidak sesuai dan tidak bisa diintervensi," kata Orin kepada Alinea.id, Rabu (5/2).
Senada, Orin berpandangan revisi itu bertentangan dengan semangat pemisahan kekuasaan. Ia berharap revisi tersebut dibatalkan atau diuji materi ke MK. "Karena seharusnya peraturan yang lebih rendah tidak bisa bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi," kata Orin.