sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Benang kusut perizinan properti

Proses pengajuan izin dalam membangun proyek properti masih sering dipersulit oleh pemerintah, terutama di tingkat dua (kabupaten/kota).

Akbar Persada Laila Ramdhini
Akbar Persada | Laila Ramdhini Kamis, 01 Nov 2018 17:03 WIB
Benang kusut perizinan properti

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejauh ini sudah menetapkan sembilan tersangka, terkait dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Diduga, Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari pengusaha, berkenaan dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta.

Dikutip dari Antara, diduga pemberian terkait dengan berbagai izin yang tengah diurus pemilik proyek seluas total 774 hektare, yang dibagi ke dalam tiga fase, yakni fase pertama 84,6 hektare, kedua 252, 6 hektare, dan ketiga 101,5 hektare.

Keterkaitan beberapa dinas dalam proses perizinan, karena proyek ini cukup kompleks. Ada rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga fasilitas pendidikan.

Sehingga, dibutuhkan banyak perizinan, seperti rekomendasi penanggulangan kebakaran, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), banjir, tempat sampah, hingga lahan pemakaman.

Rentan suap

Masalah perizinan dalam dunia properti di Indonesia memang cukup rumit. Terkadang, pengusaha yang ingin proyeknya berjalan mulus, tak jarang melakukan kecurangan dengan menyuap pejabat terkait.

Dalam keterangan pers yang diterima beberapa waktu lalu, Dewan Pembina Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo mengungkapkan, bisnis properti memang rentan terhadap kasus suap. Sebab, ada peluang yang terjadi di lapangan.

Sponsored

Eddy mengatakan, baik pemerintah maupun pengembang sama-sama saling memanfaatkan.

“Bagi pemberi izin, mereka kerap memanfaatkan posisi dengan mempersulit pembuatan perizinan. Sementara dari pihak pengembang, mereka ingin agar masalah perizinan cepat selesai, agar proses pembangunan cepat berlangsung,” kata Eddy dalam keterangan persnya, belum lama ini.

Menurut Eddy, sebenarnya di dalam aturan, waktu untuk membuat perizinan tidak lama. Misalnya, untuk pembuatan perizinan mendirikan bangunan, waktunya hanya sebulan.

Pembangunan gedung-gedung apartemen di kawasan Meikarta, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (16/10)./Antara Foto.

“Namun, jika tidak ada uang tambahan, bisa-bisa proses pembuatannya bisa memakan waktu hingga satu tahun,” ujarnya.

Kondisi ini, kata Eddy, yang terkadang membuat pengembang harus mengeluarkan uang pelicin untuk menyuap pihak-pihak tertentu. Tujuannya, proyek mereka bisa tetap jalan.

Eddy melanjutkan, semestinya pengembang menahan diri menggunakan “jalur khusus” untuk mengurus perizinan. Tak masalah waktunya agak lama, tapi lebih aman dan tak melanggar hukum.

“Kami berharap, pihak pemerintah dan pengusaha properti menghilangkan mental curang agar industri properti bisa berjalan dengan lancar,” kata Eddy.

Terkadang, dipersulit pemerintah

Di sisi lain, Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan, proses pengajuan izin dalam membangun proyek properti masih sering dipersulit oleh pemerintah, terutama di tingkat dua (kabupaten/kota).

Dia menyebut, biasanya kendala yang ditemukan adalah panjangnya birokrasi dan minimnya jumlah pegawai di pemerintahan, yang bisa menangani perizinan.

“Benang kusut proses perizinan ini sebetulnya ada di pemerintah sendiri atau yang mengeluarkan izin,” kata Soelaeman di Hotel Fairmont, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Soelaeman menjelaskan, banyak proses yang harus dilewati untuk memperoleh izin membangun properti, terutama untuk hunian. Rangkaian proses perizinan itu, antara lain izin penetapan lokasi, ruang proyek, mendirikan bangunan, dan seterusnya.

Menurut Soelaeman, untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan saja, sang pemohon harus memenuhi banyak syarat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan analisis lalu lintas.

Dari data DPP REI semester I-2018 disebutkan, ada lima jenis perizinan yang harus diurus pengembang, sebelum membangun properti. Lima izin itu, antara lain izin dari pemerintah daerah, izin terkait pertanahan, izin perbankan, izin infrastruktur, dan izin perpajakan.

Foto udara perumahan khusus nelayan bantuan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Tungkal Hilir, Tanjungjabung Barat, Jambi, Minggu (28/10)./AntaraFoto.Perizinan tersebut masing-masing mempunyai jumlah dokumen perizinan yang mesti dipenuhi. Untuk izin pemerintah daerah saja, ada 20 dokumen perizinan, di antaranya izin prinsip, lokasi, dan masterplan. Terkait pertanahan, ada delapan perizinan. Kemudian, izin perbankan ada lima, izin infrastruktur ada sembilan, dan izin perpajakan ada enam.

Dia menilai, bila pola pikir dan gaya kerja pemerintah daerah belum berubah, maka proses tadi akan memakan waktu yang lama. Padahal, kata dia, para pengembang telah memiliki perhitungan waktu dan target untuk menuntaskan konstruksi, sesuai dengan perencanaan perusahaan.

“Kita butuh kecepatan, juga transparansi ke konsumen dan pemberi pinjaman (perbankan). Sehingga, proyek pembangunan harus selesai sesuai target dan janji kita kepada semua pihak,” kata dia.

Meski begitu, sudah banyak kantor pemerintah daerah yang mendukung reformasi birokrasi. Mereka pun sudah memotong jalur birokrasi yang panjang, serta memberikan kemudahan untuk para pengembang hunian.

 Ada lima jenis perizinan yang harus diurus pengembang, sebelum membangun properti.

Soelaeman menyebut, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Jambi, Pekanbaru, Palembang, dan Serang merupakan contoh pemerintah daerah yang baik dalam proses pemberian izin ini.

DPP REI, menurut Soelaeman, sangat mendukung penerapan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS). OSS ini, kata Soelaeman, akan mempermudah para pengusaha untuk mengurus perizinan. Selain itu, bisa meminimalisir praktik kecurangan di lapangan.

“Ada 425 kota/kabupaten se-Indonesia. Kalau ini bisa berjalan dengan baik, maka seharusnya tidak ada halangan untuk membangun hunian bagi masyarakat,” katanya.

Dihubungi terpisah, Kepala Seksi Komunikasi dan Informasi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Pemprov DKI Jakarta Rinaldi mengatakan, perizinan dari Pemprov DKI Jakarta untuk rumah tinggal akan turun selama tujuh hari kerja, sedangkan untuk apartemen memakan waktu 20 hari kerja.

Lebih lanjut, dia mengatakan, proses mengurus perizinan cukup lama, karena ada perbedaan pemahaman di masyarakat terkait izin mendirikan bangunan yang baru bisa diproses bila sudah lengkap persyaratannya.

“Masyarakat melihat, waktu proses izin mendirikan bangunan sejak mereka memproses KRK (keterangan rencana kota) yang merupakan salah satu persyaratan izin mendirikan bangunan,” kata Rinaldi, ketika dihubungi, Kamis (1/11).

Penunjukan konsultan yang tidak memahami ketentuan teknis pembangunan di Jakarta, menurut Rinaldi juga jadi kendala lain dalam mengurus izin membangun properti.

Berita Lainnya
×
tekid