sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Indonesia bantah sembilan tuduhan Uni Eropa atas subsidi biodiesel

Uni Eropa menyatakan Indonesia telah melanggar aturan dunia untuk subsidi biodiesel.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Jumat, 26 Jul 2019 18:13 WIB
Indonesia bantah sembilan tuduhan Uni Eropa atas subsidi biodiesel

Pemerintah Indonesia membantah tuduhan Uni Eropa atas pemberian subsidi untuk produk biodiesel. Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengatakan Uni Eropa menuduh pemerintah Indonesia memberikan subsidi yang dilarang dalam kebijakan organisasi perdagangan dunia (WTO).

“Tuduhannya pemerintah dan lembaga memberikan subsidi yang dilarang WTO agreement. Yaitu berupa kontribusi finansial, diberikan oleh pemerintah atau lembaga yang dipercaya oleh pemerintah dan bersifat spesifik memberikan benefit kepada produsen,” katanya dalam konferensi pers di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (26/7).

Ia menjelaskan, jika subsidi itu khusus diberikan kepada satu komoditas tertentu misalnya kelapa sawit saja, dianggap tidak fair, karena dinilai akan mendistorsi harga.

“Padahal kita memberi subsidi kepada semuanya, tidak ada yang dikhususkan,” ujarnya. 

Uni Eropa mengeluarkan sembilan tuduhan terhadap Indonesia. Tuduhan itu pertama pemberian dana subsidi bagi produsen biodiesel. Pradnyawati mengatakan, hal ini terkait dengan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS).

Ia mengatakan pemberian dana tersebut untuk membayar selisih harga biodiesel dari petro diesel, dan sumber dananya juga dari perusahaan.

“Tidak ada pemerintah menyalurkan. Mekanismenya pemerintah membayar selisih harga yang disangka pemberian subsidi,” jelasnya.

Kedua, pembatasan ekspor minyak kelapa sawit. Menurutnya, dikuranginya ekspor kelapa sawit mentah (CPO) oleh pemerintah untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri dan mendukung program hilirisasi dianggap Uni Eropa sebagai usaha untuk menekan harga menjadi lebih murah dari seharusnya.

Sponsored

“Padahal itu karena panennya berlimpah,” ucapnya.

Ketiga, mengenai income tax benefits for listed investment. Pradnyawati mengatakan, hal yang sama juga dilakukan oleh negara-negara lainnya, di mana pemerintah memberikan insentif di daerah-daerah terpencil (remote) agar berkembang. Menurutnya tuduhan tersebut tidak adil.

Keempat, pengistimewaan dan dukungan ekspor oleh EximBank Indonesia. Dia menjelaskan, EximBank memang dibentuk untuk keperluan ekspor, namun beroperasi berdasarkan logika bisnis.

“Mereka menuduh kita mendukung ekspor. Padahal EximBank beroperasi berdasarkan normal bisnis base. Mencari keuntungan. Cuma memang mereka nyasar nasabah ekspor,” tuturnya.

Kelima, subsidi kawasan industri. Hal ini, hampir sama dengan poin ketiga, di mana daerah-daerah industri tertentu yang belum berkembang diberi insentif oleh pemerintah agar terus berkembang.

“Tuduhan yang sama juga berlaku untuk poin keenam mengenai, pajak industri rintisan. Itu kan insentif untuk mendukung industri rintisan,” ujarnya.

Ketujuh, kebijakan impor fasilitas penunjang. Hal ini pun, lanjut Pradnyawati, lazim digunakan oleh negara-negara berkembang, bahkan negara maju.

“Kita impor mesin untuk pabrik. Semua negara berkembang bahkan negara maju kalau mereka bisa impor dan lebih murah dan bagus pasti impor,” imbuhnya.

Kedelapan, pembebasan pajak PPN. Dia menjelaskan, hal ini dikarenakan untuk yang terkait dengan keperluan khusus menyangkut permodalan industri, ada pengecualian pengenaan pajak.

Sementara yang kesembilan, adalah pemberian subsidi kepada industri kelapa sawit yang menguntungkan produsen. 

“Ini lebih mengada-ada lagi, itu palm oil industri itu sudah mandiri. Malah pemerintah mengharapkan dapat pemasukan atau devisa dari situ. Kalau ada subsidi itu tidak bisa dibuktikan,” katanya.

Pradnyawati menambahkan semua tuduhan tersebut tidak berdasar. Uni Eropa dinilai tidak menggunakan data yang benar dalam melakukan penyelidikan. 

Sebelum ini, Uni Eropa telah dua kali memperkarakan hal yang sama, yaitu pada tahun 2013 dan 2017. Namun, dalam gugatan ke WTO, pemerintah Indonesia menang.

“Tahun 2013 dan tahun 2017 mereka tidak cukup bukti. 2013 mereka memakai metodologi yang salah, tidak menggunakan data perusahaan untuk menghitung cost of production, karena akan dibandingkan dengan ekspor untuk melihat margin dumping. Terus profitnya juga, mereka menerapkan profit yg sangat tinggi, padahal tidak setinggi itu,” katanya.

Ke depan, ucapnya, pemerintah akan melayangkan protes dan keberatan atas tuduhan tersebut.

“Kita sudah koordinasi dengan semua perusahaan, supplier, dan firma hukum, sehingga memudahkan kita untuk mengumpulkan semua bukti dan argumen, data, dan informasi yang dapat mematahkan investigasi Uni Eropa,” tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid