sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pandemi, masalah ekonomi, dan keinginan bunuh diri

Kondisi ekonomi yang sulit bisa memicu seseorang depresi hingga memilih bunuh diri.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Selasa, 29 Jun 2021 07:43 WIB
Pandemi, masalah ekonomi, dan keinginan bunuh diri

Kondisi pandemi yang tak juga menunjukkan kurva menurun berpotensi meningkatkan tekanan psikologis masyarakat. Bagi orang yang tidak kuat menahan dampak pandemi, akan sangat mungkin mengalami gangguan kesehatan jiwa seperti gangguan kecemasan, depresi, hingga keinginan bunuh diri.

Baru-baru ini peristiwa bunuh diri menggegerkan perumahan Patimura, Tulungagung, Jawa Timur. Seorang warga bernama Oscar Syarifudin nekat mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangannya.

Menurut Kasubbag Humas Polres Tulungagung Iptu Trisakti Saiful Hidayat, penyebab aksi ekstrim pria 36 tahun itu lantaran depresi akibat tunggakan pinjaman online (pinjol) yang berjumlah belasan juta.

“Dari ponsel korban hanya ditemukan tagihan utang kepada korban dari sejumlah penagih utang, dari pinjol,” jelasnya, kepada Alinea.id, lewat sambungan telepon, Kamis (24/6). 

Keterangan beberapa saksi menyebutkan korban memang mempunyai masalah terkait pinjaman daring. "Korban diduga depresi karena terlilit banyak utang dan banyak yang menagih sehingga pada akhirnya korban melakukan bunuh diri," imbuh Trisakti.

Ilustrasi pixabay.com.

Januari lalu, warga Kedungadem, Bojonegoro juga sempat dihebohkan oleh kasus bunuh diri seorang petani berinisial TR (41). Menurut kesaksian istrinya, HN (39), TR nekat mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam sumur sedalam 7 meter yang terletak di belakang rumahnya. 

HN berkisah, kejadian itu terjadi pada Jumat (15/1) sekitar pukul 22.00 WIB. Mulanya, TR hanya berpamitan untuk buang air kecil. Namun bukannya menuju ke kamar mandi yang terletak di bagian depan rumah, TR justru menuju ke belakang rumah tempat sumur berada. 

Sponsored

Menurut HN, seminggu terakhir, TR memang tidak bertingkah seperti biasa. Perempuan yang bekerja sebagai tukang sayur itu menyebut suaminya menjadi “lebih diam”. Hal itu tak lain karena masalah ekonomi yang sedang dihadapi keluarganya selama beberapa waktu belakangan.

Ada pula Rahma (25) yang merupakan penyintas kasus bunuh diri. Kepada Alinea.id, dia bercerita, keinginan untuk mati mulai terlintas di benaknya sejak September 2020. 

Pemicunya adalah ketika lulus dari perguruan tinggi pada Januari 2020, dirinya tak kunjung mendapat pekerjaan yang diimpikan. Ia melamar ke berbagai perusahaan, baik untuk posisi sebagai penerjemah hingga customer service (CS), namun tak ada satu pun yang lolos. 

“Enggak dapet juga, malah habis itu ada Covid. Tambah susah (mendapatkan pekerjaan),” katanya melalui sambungan telepon, Jumat (25/ 6).

Mau tak mau, Rahma akhirnya bekerja dengan kerabatnya di sebuah percetakan. Namun, baru saja mulai mengais rejeki, Rahma pun harus dihadapkan oleh kenyataan pahit lainnya. Perusahaan percetakan tempatnya bekerja terdampak pandemi. Akibatnya, ada pengurangan karyawan dan dia adalah salah satu karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Terhitung sejak Juni 2020, dirinya pun hanya di rumah saja. Kondisi itu lantas membuatnya tertekan. Hari-harinya ia lewati dengan menangis. “Sampai pertengahan November, itu aku mutusin buat mati aja. Daripada hidup juga enggak guna, malah nambah beban orang tua,” katanya.

Beruntung, sayatan silet di pergelangan tangannya tidak sampai ke titik nadinya. “Waktu itu ketahuan sama mbak, terus dibawa ke rumah sakit. Sampai sekarang masih perawatan (dengan psikiater),” ceritanya.

Faktor putus asa

Guru Besar Ilmu Kriminologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan bunuh diri. Pertama, karena putus asa dan kedua yakni altruistic suicide atau bunuh diri yang bersifat sukarela, misalnya membela suatu faham tertentu dan ingin menegakan suatu kebenaran tertentu. 

Adapun untuk fenomena bunuh diri selama pandemi, menurutnya lebih banyak disebabkan oleh putus asa.

"Seperti mempunyai hutang enggak bisa membayar lalu bunuh diri. Lalu ada karena punya penyakit yang tidak bisa disembuhkan lalu takut keluarga tidak bisa membantu lalu mereka bunuh diri," kata Adrianus, kepada Alinea.id, Minggu (27/6).

Pada kesempatan lain, Spesialis Kedokteran Jiwa Hervita Diatri mengatakan, kasus-kasus tersebut adalah sedikit dari banyak kasus bunuh diri lain yang tak dikabarkan oleh media. Bahkan, potensi kasus bunuh diri akan sangat mungkin bertambah jika pandemi tak juga usai. 

“Karena pandemi yang belum juga selesai ini, tekanan yang dirasakan masyarakat juga akan semakin besar,” tuturnya, kepada Alinea.id, Senin (28/6).

Hal ini ditunjukkan pula oleh analisis data 4.010 swaperiksa yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). Dari analisis tersebut, menunjukkan bahwa 1 dari 5 orang memiliki pemikiran untuk untuk ‘lebih baik mati’.

Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.

Hervita bilang, depresi hingga bunuh diri selama pandemi Covid-19 memang lebih banyak diakibatkan oleh tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat. Bagaimana tidak? Sebaran virus SARS-CoV-2 di Tanah Air yang semakin masif membuat ekonomi nasional juga mengalami keterpurukan. 

“Karena pandemi, banyak yang kemudian di-PHK, ada juga yang dikurangi gajinya, lalu untuk menutup kebutuhannya, dia utang. Itulah yang kemudian bikin masyarakat lebih mudah tertekan,” jelasnya.

Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat jumlah orang miskin di ibu kota mencapai 496,84 ribu orang pada September 2020 lalu. Jumlah itu setara dengan 4,69% dari total penduduk Jakarta. Dibandingkan dengan Maret 2020, angkanya naik 15.980 orang atau 0,16%.

Lonjakan pinjaman online 

Di sisi lain, pinjaman online melalui fintech (teknologi finansial), jumlahnya pun turut bertambah dari yang semula hanya 43.561.362 rekening peminjam pada Desember 2020, menjadi 60.300.729 rekening pada April 2021. Adapun untuk akumulasi jumlah pinjaman hingga April 2021 telah mencapai Rp194.096,80 miliar.

Selain pinjaman melalui fintech resmi yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pinjol ilegal pun kian marak selama pandemi. Padahal, pinjol ilegal berisiko memberikan dampak negatif bagi kehidupan peminjam. 

“Pinjol ilegal itu sangat berbahaya. Fee besar, bunga tinggi, jangka waktu singkat, denda besar, penagihan tidak beretika, semua kontak HP (handphone) diakses untuk menagih," kata Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam L Tobing kepada Alinea.id, melalui pesan singkat, Rabu (23/6).

Jumlah pinjaman online (Sumber: Statistik Fintech Lending, Otoritas Jasa Keuangan).
Periode Jumlah rekening penerima pinjaman aktif  Akumulasi jumlah pinjaman
Desember 2018 4.359.448 entitas Rp22,66 triliun
Desember 2019 18.569.123 entitas Rp81,49 triliun
Desember 2020 43.561.362 Rp155,9 triliun
April 2021 60.300.729 Rp194,09 triliun
     
     

Dia bilang, dengan berbagai tekanan yang diberikan oleh para kreditur ilegal, tak heran jika kemudian banyak peminjam yang mengalami depresi hingga berakhir bunuh diri. Tongam lantas berpesan kepada masyarakat yang telah dirugikan oleh pihak pinjol ilegal, baik dengan mendapat ancaman hingga penipuan untuk tidak ragu melaporkannya kepada pihak berwajib. 

“Biar nanti segera diproses (hukum),” ujar dia.

Dihubungi terpisah, pendiri Ruang Empati dr Teddy Hidayat mengatakan, selain ekonomi, ancaman kesehatan dan ketidakstabilan kondisi selama pandemi Covid-19 juga membuat angka gangguan kesehatan jiwa di Indonesia meningkat. Hal itu terlihat dari hasil Riskesdas Kementerian Kesehatan RI yang menunjukkan jumlah orang dengan gangguan mental emosional berjumlah 6,1% atau 11.315.500 jiwa. 

Namun, setelah lima bulan pandemi, berdasarkan hasil survei PDSKJI, angka gejala cemas menjadi 65%, depresi 62% dan PTSD (gangguan stress pascatrauma) 75%. Sementara survei CESD Unpad setelah 6 bulan pandemi mendapatkan gejala depresi 47%, stres akut dan PTSD 35,51%.

"Kondisi ini dapat menyebabkan disabilitas dan akan menjadi beban serta kendala dalam pemulihan baik kesehatan maupun ekonomi," tutur Teddy kepada Alinea.id, Jumat (25/6).

Hervita Diatri pun mengamini hal tersebut. Psikiater yang juga bekerja sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) ini menilai Covid-19 yang berdampak pada kesehatan fisik dan mental masyarakat, pada akhirnya dapat mempengaruhi pula kondisi sosial ekonomi Indonesia. 

Masalah kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya, semakin parah karena pandemi. Tidak hanya itu, tingginya proporsi depresi, kecemasan, dan distres di masyarakat juga dialami oleh kelompok petugas di layanan kesehatan.

Belum lagi faktor terputusnya layanan kesehatan bagi orang dengan gangguan jiwa dan meningkatkan risiko kekambuhan mereka. “Semakin terbatasnya jangkauan pelayanan kesehatan mental di masyarakat juga menjadi masalah lain," katanya, kepada Alinea.id, Senin (28/6).

Hervita dan sejumlah akademisi UI lain yang tergabung dalam Tim Sinergi Mahadata Tanggap Covid-19 UI di bawah koordinasi Direktorat Inovasi dan Science Techno Park (DISTP) UI dan Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran UI memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah. Tujuannya, tentu saja agar pandemi tak semakin melemahkan mental masyarakat. 

“Untuk mencegah krisis kesehatan mental selama dan setelah pandemi dengan memfasilitasi hasil surveilans masalah kesehatan mental dan sumber daya kesehatan,” urainya.

Tidak ada data

Di sisi lain, meskipun jumlah kasus bunuh diri di Indonesia terus meningkat, namun tidak ada data naik turunnya kasus bunuh diri 10 tahun ke belakang. Pasalnya, menurut Suicidolog Benny Prawira Siauw,  sampai saat ini Indonesia tidak memiliki database untuk bunuh diri nasional. Data yang ada hanyalah riset ilmiah dari tiap kelompok khusus seperti remaja atau mahasiswa. 

“Jadi tidak bisa disimpulkan ada peningkatan atau malah penurunan,” katanya, Kamis (24/6).

Pendiri dan kepala koordinator dari komunitas Into The Light Indonesia ini mengungkapkan, sedikitnya ada delapan tanda peringatan seseorang ingin melakukan bunuh diri. Pertama membicarakan keinginan bunuh diri. Kedua, membenci dan menghujat diri sendiri. Ketiga, mencari cara memastikan untuk bunuh diri. Keempat, mengatur segala hal untuk ditinggalkan.

Selanjutnya, seseorang kerap mengucapkan perpisahan. Kemudian, mereka biasanya menarik diri dari orang lain. Ketujuh, orang tersebut kerap merusak diri sendiri, dan terakhir terjadinya perubahan fisik dan mood yang drastis.

"Semakin banyak tandanya, semakin kuat indikasi bahwa ia memiliki risiko bunuh diri," imbuhnya  yang fokus pada komunitas pencegahan bunuh diri itu.

Ilustrasi Pixabay.com.

Benny melanjutkan, bagi orang yang pernah mencoba bunuh diri biasanya memiliki risiko lebih tinggi untuk memiliki pemikiran bunuh diri lagi. Terlebih apabila dia mengalami kembali peristiwa yang memicu pemikiran bunuh diri sebelumnya. Karenanya, para penyintas bunuh diri sangat membutuhkan dukungan dari orang sekitarnya untuk menuju proses pemulihan yang maksimum. 

"Tunjukkan bahwa kamu khawatir dan peduli dengan kondisi mereka, dan ajaklah mereka untuk membicarakan dengan baik-baik," sarannya.

Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA (P2MKJN) Kementerian Kesehatan dr. Siti Khalimah, SpKJ, MARS mengakui, kesehatan jiwa masyarakat terganggu selama pandemi. Akibatnya, lebih banyak orang rentan stres, depresi, atau mengalami gangguan jiwa lainnya, bahkan terancam bunuh diri. 

Jika dampak pandemi dibiarkan, yang dikhawatirkan kasus bunuh diri semakin bertambah. Meski begitu, hingga saat ini belum ada data yang jelas terkait angka bunuh diri di Indonesia. 

"Bunuh diri ini masalah sangat sensitif dan terkait dengan stigma, sehingga mereka cenderung tidak melaporkan terkait kesehatan jiwa dan bunuh diri," jelas Siti Khalimah, kepada Alinea.id, Jumat (25/6).


 

Berita Lainnya
×
tekid