sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pemerintah dan BI sepakat tanggung renteng pembiayaan Covid-19

Pemerintah dan BI sepakat burden sharing demi menanggulangi dampak Covid-19. Ini hitung-hitungannya.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Senin, 06 Jul 2020 19:33 WIB
Pemerintah dan BI sepakat tanggung renteng pembiayaan Covid-19

Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia akan mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB) dalam rangka berbagi beban atau burden sharing demi menanggulangi dampak Covid-19 dan juga memulihkan ekonomi nasional akibat pandemi tersebut

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan skema burden sharing yang telah disepakati dengan BI adalah berkaitan dengan public goods/benefit dan nonpublic goods/benefit

Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemda. Sementara pembiayaan untuk nonpublic goods yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha, terdiri dari pembiayaan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), korporasi non-UMKM, dan nonpublic goods lainnya. 

"Burden sharing antara pemerintah dengan BI ini dilakukan dengan prudent, penerapan tata kelola yang baik (good governance), serta transparan dan akuntabel," katanya dalam video conference, Senin (6/7).

Adapun skemanya adalah pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti pembiayaan bidang kesehatan Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L), dan Pemda Rp106,11 triliun atau total Rp397,56 triliun akan diterbitkan surat berharga negara (SBN) yang dibeli BI secara langsung.

BI menanggung semua beban dalam pembelian SBN melalui mekanisme private placement, dengan tingkat kupon sebesar suku bunga acuan BI atau BI reverse repo rate, dan BI akan mengembalikan bunga atau imbalan yang diterima kepada pemerintah secara penuh.

"Beban bunga pemerintah untuk SBN khusus diterbitkan private placement adalah untuk pemerintah 0%," ujarnya.

Untuk pembiayaan nonpublic goods yang berkaitan dengan dunia usaha, terdiri dari pembiayaan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Rp123,46 triliun, korporasi non-UMKM Rp53,57 triliun, termasuk insentif pajak Rp120,61 triliun akan ditanggung bersama antara pemerintah dan BI.

Sponsored

Skemanya adalah dengan menerbitkan SBN dengan tingkat BI reverse repo rate, yang akan dijual kepada pembeli dengan mekanisme pasar. Namun, pemerintah hanya akan menanggung beban bunga sebesar BI reverse repo rate dikurangi 1%.

"Jadi pemerintah menanggung suku bunganya adalah 1% di bawah reverse repo rate, BI menanggung bunganya antara 1% di bawah reverse repo rate hingga market ratenya," ucapnya.

Dengan demikian, pembiayaan nonpublic goods untuk UMKM dan korporasi non-UMKM, akan ditanggung oleh pemerintah melalui penjualan SBN kepada pasar dan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate tiga bulan dikurangi 1%. 

Sementara itu, untuk pembiayaan nonpublic goods lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh pemerintah sebesar market rate. Dengan demikian, pembiayaan nonpublic goods tetap dilakukan melalui mekanisme pasar (market mechanism) dan BI bertindak sebagai standby buyer/last resort sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) pertama tanggal 16 April 2020.

Dilakukan negara lain

Menurut Sri, skema berbagi beban aantara pemerintah dan Bank Sentral, seperti antara Kementerian Keuangan dan BI juga dilakukan di berbagai negara untuk menangkal efek Covid-19 bagi perekonomian.

“Dalam menghadapi situasi Covid-19 yang memengaruhi seluruh negara di dunia, banyak negara juga melakukan langkah extraordinary ini dengan burden sharing antar pemerintah dan bank sentral,” katanya.

Dia melanjutkan, sejumlah negara mengambil langkah yang sama untuk menyeimbangkan antara kebijakan fiskal dan moneternya guna mengelola perekonomian negara agar tidak semakin terpuruk dihajar pandemi.

Sri menyebutkan, negara-negara seperti Korea Selatan, India, Hungaria, Chile, Afrika Selatan, Turki, Thailand, dan Filipina juga mengambil langkah extraordinary yang sama agar terus bertahan dari badai yang menerpa.

“Itu adalah negara berkembang yang juga melakukan apa yang disebut burden sharing atau bank sentralnya membeli bonds dari pemerintah secara langsung,” ujarnya.

Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang langkah kebijakan yang diambil lebih berat dengan menggabungkan kebijakan quantitative easing (QE) dengan memonetisasi utang pemerintah dengan lebih besar.

"Dalam hal ini di negara maju quantitative easing dan monetisasi dari utang pemerintah dilakukan secara lebih advance atau lebih maju. Ini sudah dilakukan sejak terjadinya krisis ekonomi 2007-2008," jelasnya.

Untuk negara berkembang seperti Indonesia, meski tidak melakukan langkah serupa negara maju, kebijakan yang diambil pemerintah tetap dilakukan secara hati-hati dan prudent.

"Kami paham bahwa situasi yang dilakukan emerging market berbeda dengan kondisi negara maju. Namun kami tetap menjaga antara kondisi extraordinary yang membutuhkan langkah extraordinary, dengan kehati-hatian dalam rangka menjaga keseluruhan kepentingan dalam jangka pendek menengah, dan panjang," tuturnya. 

Berita Lainnya
×
tekid