sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Segudang ancaman di balik proyek Belt and Road Initiative

Dalam OBOR, Indonesia menawarkan proyek di empat wilayah, yakni Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali.

Fandy Hutari Manda Firmansyah Armidis
Fandy HutariManda Firmansyah | Armidis Jumat, 10 Mei 2019 18:21 WIB
Segudang ancaman di balik proyek Belt and Road Initiative

Arus barang China

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad meminta pemerintah untuk mewaspadai berbagai tawaran investasi, terkait proyek OBOR.

Tauhid menyarankan pemerintah meninjau ulang tujuan investasi, apakah investasi tersebut sekadar bisnis ke bisnis atau ada tujuan lain di luar itu. Sebab, kata dia, investasi OBOR tidak menyangkut pengaruh peran negara alias bisnis ke bisnis.

Ia memberikan catatan pengalaman investasi China di masa lalu. Pada 15 Juni 2004, Indonesia sepakat bergabung dalam ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerja Sama Ekonomi Menyeluruh antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China.

Melalui perjanjian tersebut, negara-negara ASEAN dan China membuka kawasan perdagangan bebas, dengan mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang, baik tarif maupun nontarif.

Selain itu, disepakati pula peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, serta peningkatan aspek kerja sama ekonomi untuk mendongkrak perekonomian negara anggota ACFTA.

"Dulu ACFTA, kita tidak menyangka barang-barang China masuk ke Indonesia jauh lebih besar. Elektronik, pakaian, tekstil, dan lain sebagainya. Itu gara-gara satu perjanjian ACFTA saja. Memang dibuka ekspor ke sana (China), tapi timbal baliknya apa? timbal baliknya kita juga menerima barang mereka," tutur Tauhid saat dihubungi, Jumat (10/5).

Tauhid juga mewanti-wanti pemerintah menyoal proyek infrastruktur, yang besar kemungkinan bertujuan membuka keran masuknya barang China ke Indonesia.

Sponsored

"Jangan sampai dalam rangka memperhalus saja, dalam tanda kutip, pasar kita dikuasai oleh mereka," kata Tauhid.

Di sisi lain, Tauhid juga mengimbau semua kalangan untuk meninjau dan mengawasi proyek OBOR. Tauhid mengatakan, bila kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya jauh dari kelayakan bisnis, sebaiknya dihindari. Meski itu proyek infrastruktur.

"Tidak semua proyek infrastruktur menguntungkan, harus dipertimbangkan. Yang menguntungkan contohnya jalan tol. Listrik, bendungan, dan beberapa yang paket itu (One Belt, One Road), mohon dicermati lagi," tutur Tauhid.

Selain itu, Tauhid menuturkan, jika investor China masuk ke ranah infrastruktur potensi risiko sangat tinggi. Bila Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ikut bergabung dan tak mampu membayar, maka kegagalan BUMN jadi tanggung jawab pemerintah.

"Nah, ini harus hati-hati. Kalau bisnis ke bisnis, tentunya ada risiko gagal, yang berpengaruh pada persoalan nilai tukar, dan macam-macam lah," ucap Tauhid.

Proyek PLTU

Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) bertemu Presiden China Xi Jinping di Balai Agung Rakyat, Beijing, Kamis (25/4). /Antara Foto.

Salah satu proyek yang ditawarkan pemerintah adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menegaskan, proyek PLTU batu bara dalam prakarsa OBOR menggambarkan korupsi politik batu bara.

"Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa bisnis batu bara, baik pertambangan maupun PLTU batu bara, sarat dengan kepentingan elite politik dan korup,” tutur Tata saat dihubungi, Jumat (10/5).

Pemerintah Indonesia menawarkan proyek listrik energi kotor batu bara dalam kerangka OBOR. Proyek itu, antara lain PLTU batu bara berkapasitas 1.000 megawatt kawasan industri dan pelabuhan internasional di Tanah Kuning, Mangkupadi, Kalimantan Utara; PLTU batu bara berkapasitas 2 x 350 megawatt di Celukan Bawang, Bali; serta PLTU Mulut Tambang Kalselteng 3 berkapasitas 2 x 100 megawatt dan Kalselteng 4 berkapasitas 2 x 100 megawatt di Kalimantan Tengah.

Menurutnya, proyek PLTU bertujuan meningkatkan ketergantungan pemerintah terhadap penggunaan batu bara. Padahal, tren dunia sudah berubah drastis karena memanfaatkan energi terbarukan.

Perusahaan Indonesia yang terlibat proyek PLTU batu bara ialah PT Toba Bara Sejahtra bekerja sama dengan Powerchina International Group dan Lumbung Group Co yang bekerja sama dengan Engineering Department of China National Electric.

PT Toba Bara Sejahtra digawangi Presiden Komisaris Djusman Syafi’I Djamal dan Direktur Pandu Patria Sjahrir, yang merupakan orang kepercayaan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.

Terkait proyek PLTU, Tata mengingatkan kembali kasus suap PLTU batu bara Riau-1, yang menyeret Menteri Sosial Idrus Marham, Direktur Utama Pembangkit Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Eni Maulani Saragih, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.

Selain itu, kata Tata, elite politik juga menunggangi kepentingan umum dengan kepentingan politik atau komersil kelompok tertentu, yang mendominasi industri atau sektor yang seharusnya diregulasi.

"Regulatory capture telah menyebabkan tumbuh pesatnya bisnis pertambangan batu bara dan diabaikannya kerusakan lingkungan, serta dampak sosial dari tambang tersebut," ujar Tata.

Terkait isu lingkungan, Tata mengatakan, dampak negatif PLTU batu bara adalah pencemaran lingkungan.

“Banyak lubang terlantar dengan tingkat keasaman dan kontanimasi logam yang tinggi, air dari sungai berubah menjadi keruh dan tercemar, serta tidak dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan untuk air minum hewan ternak,” kata Tata.

Hal senada diungkapkan Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono. Yuyun menilai, pemerintah munafik dengan menyodorkan investasi PLTU batu bara dalam kerangka OBOR. Syarat yang dikemukakan pemerintah agar menggunakan teknologi ramah lingkungan dalam PLTU batu bara, menurut Yuyun, tidak sesuai dengan yang dilakukan di lapangan.

“Pertanyaannya adalah teknologi ramah lingkungan tidak mengurangi emisi. Dia membuat PLTU lebih efisien, tetapi bukan berarti mengurangi emisi,” kata Yuyun saat dihubungi, Jumat (10/5).

Ironisnya, negara-negara lain, termasuk China, sudah meninggalkan batu bara sebagai sumber energi. Yuyun menyarankan pemerintah untuk membangun sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan.

“Kepentingan politiknya sebenarnya jadi pertanyaan ke pemerintah Indonesia. Kenapa kok kita masih mengajukan investasi ke proyek OBOR ini PLTU batu bara? Bisa jadi, ini memfasilitasi kepentingan pebisnis-pebisnis tambang batu bara,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid