Upah buruh, problem yang tak kunjung usai
Kenaikan upah itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Erik, seorang pekerja di sebuah pabrik manufaktur otomotif di kawasan Tambun, Bekasi, sangat bersyukur menerima gaji Rp4,6 juta sebulan. Di samping itu, ia juga memperoleh jaminan uang transportasi, uang makan, jemputan, uang lembur, dan BPJS.
"Alhamdulillah cukup. UMR (upah minimun regional) sini juga lumayan gede," ujar Erik ketika ditemui Alinea.id di kawasan Tambun, Bekasi, Selasa (22/10).
Kondisi berbeda diterima Sri, seorang buruh pabrik garmen di Blora, Jawa Timur. Ia mengaku hanya menerima upah sebesar Rp1 juta per bulan.
“Tak diberikan jaminan apa pun,” kata Sri saat dihubungi, Rabu (16/10).
Perkara upah buruh memang selalu menjadi problem yang terus menerus terjadi. Pemerintah pun berusaha meningkatkan kesejahteraan buruh dari tahun ke tahun, melalui sejumlah kebijakan.
Pada 15 Oktober 2019, mantan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengeluarkan surat edaran Nomor B-m/308/HI.01.00/X/2019 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2019.
Di dalamnya disampaikan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memutuskan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2020 sebesar 8,51%.
Pertimbangan kenaikan UMP dan UMK dihitung dari inflasi di setiap daerah sebesar 3,39% dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12% pada 2019.
Surat yang ditujukan kepada seluruh gubernur di Indonesia itu harus diumumkan pada 1 November 2019. Akan tetapi, Hanif membantah kewajiban pengumuman itu dan besaran kenaikan upah minimum.
“Besarannya (upah) belum. Kita masih tunggu data dari BPS (Badan Pusat Statistik). Siapa bilang mau ngejar sampai tanggal 1 November? Kemarin buruh bilang mau tanggal 1 November sih, yang penting upah tetap naik saja kok,” ujar Hanif saat ditemui di Pasific Place, Jakarta, Selasa (15/10).
Hanif mengatakan, kenaikan upah itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Di sana, sudah diatur besaran kenaikan upah buruh seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
“Pertanyaannya bukan relevan atau tidak relevan, upah kita berbasis regulasi atau peraturan. Kalau relevan atau tidaknya, pertanyaanmu bisa dijawab kalau mengedepankan tuntutan pasar. Masalahnya, yang berlaku di Indonesia, bukan itu,” kata Hanif.
Buruh-pengusaha, beda pendapat
Akan tetapi, Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyono mengkritik penerapan formula perhitungan kenaikan upah berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Ia meminta, perhitungan kenaikan upah minimum disepakati melalui perundingan antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Alasannya, landasan survei kebutuhan hidup layak masing-masing daerah berbeda-beda.
“Tidak bisa dipukul rata dengan ukuran perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tingkat nasional,” kata Kahar saat dihubungi, Rabu (16/10).
Kahar mengatakan, inflasi di beberapa daerah terhitung jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat nasional. Akibatnya, kenaikan upah lebih rendah daripada inflasi. Ia menyarankan, besaran kenaikan upah bertumpu pada survei kebutuhan hidup layak yang sudah ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.
Kahar membeberkan data. Tahun lalu, kata dia, di Banten inflasinya lebih tinggi daripada tingkat nasional. Misalnya, kenaikan upah 8% berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi 2019, untuk daerah yang saat ini upah minimumnya tinggi, seperti Karawang dan Jakarta yang nyaris Rp4 juta, maka akan semakin tinggi.
“Coba bandingkan dengan Sleman, Sukabumi, atau Ciamis yang upahnya cuma Rp1,6 juta. Kecil naiknya, dan akan terus menerus kecil. Sementara yang saat ini tinggi akan terus tinggi. Ibarat, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin,” ujar Kahar.
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, pengusaha keberatan dengan kenaikan upah minum tahun depan. Sebab, menurut dia, perekonomian Indonesia tengah lesu.
“Kita juga akan menghadapi resesi, mestinya kita berjaga-jaga untuk menghadapinya. Jadi memang kenaikan ini bukanlah hal yang mudah,” ucap Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) ini saat ditemui di Pasific Place, Jakarta, Selasa (15/10).
Menurut CEO Sintesa Group yang pula empat pilar usaha di bidang manufaktur, energi, industri, dan produk konsumen ini, pengusaha harus mengadakan kesepakatan bilateral dengan buruh-buruhnya, jika sedang terlilit masalah keuangan.
Menentukan tingkat upah
Laporan World Development Report 2019: The Changing Nature of Work menyebutkan, nyaris semua negara berkembang, termasuk Indonesia, produktivitasnya rendah. Banyak ditemukan pemberian upah informal, tanpa kontrak atau perlindungan tertulis.
Laporan yang diterbitkan Bank Dunia itu menyebut, perundang-undangan perburuhan tidak jelas dalam mengatur peran dan tanggung jawab pelaku usaha dan buruhnya. Bahkan, kerap kali buruh tak diberi akses tunjangan pensiun, asuransi kesehatan, dan tunjangan kehilangan pekerjaan.
Terkait upah minimum, uang pesangon, prosedur perekrutan, serta pemecatan, Bank Dunia menyebut, terlalu membebani perusahaan.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, upah minimum di Indonesia tak terlalu rendah, juga tak terlampau tinggi.
Berbeda dengan di Vietnam dan beberapa negara lainnya, UMP di Indonesia dikategorikan sebagai upah layak. Enny menekankan, seharusnya peran pemerintah dalam urusan upah ada pada upaya menggaransi UMP.
“Sebaiknya pemerintah bukan membuat regulasi yang kompleks menyangkut pengupahan, melainkan memastikan rambu-rambu perjanjian kerja sama bersama antara buruh dan perusahaan. Intinya, pemerintah menjamin hak-hak pelaku usaha dan buruh,” kata dia saat dihubungi, Rabu (16/10).
Bila semua sektor memberlakukan hal itu, kata dia, akan terjadi keterbukaan. Berpijak dari sana, menurutnya, tingkat upah bisa ditentukan berdasarkan produktivitas, keterampilan, dan pengalaman pekerja.
Sebab, menurutnya, formula kenaikan upah buruh di masing-masing daerah dan sektor perusahaan takbisa digeneralisir berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015.
“Ada beberapa daerah seperti DKI, yang sekarang level UMP-nya tinggi. Jadi, begitu ada kenaikan dalam formula itu, di satu sisi buat pekerjanya happy, tetapi di sisi lain ketika terjadi tekanan ekonomi seperti sekarang, perusahaan atau pabrik intensif padat karya di sekitar DKI sudah pasti get out. Sudah pasti menyerah dan relokasi ke daerah-daerah yang UMP-nya masih rendah,” kata Enny.
Terkait investasi, Enny berpendapat, kenaikan upah buruh bukan faktor tunggal penghambat. Menurut dia, hal yang utama dikeluhkan investor adalah regulasi ketenagakerjaan di Indonesia.
Demi meningkatkan daya saing, Enny menyarankan pemerintah untuk menyederhanakan regulasi ketenagakerjaan. Ia mengaku, menemukan sekitar 10 peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih.
“Kalau faktor lain belum diselesaikan, upah akan dirasa membebani investor, pasti akan membuat mereka semakin tidak berminat memasuki sektor padat karya,” ujar Enny.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Bailout SVB dan pendanaan startup yang kian selektif
Sabtu, 25 Mar 2023 16:05 WIB
Jerat narkotika di kalangan remaja
Jumat, 24 Mar 2023 06:10 WIB