Selama puluhan tahun, halusinasi suara menjadi salah satu gejala paling membingungkan dalam skizofrenia. Banyak ilmuwan menduga, fenomena ini muncul ketika otak gagal mengenali suara internalnya sendiri sebagai milik pribadi.
Kini, riset terbaru yang terbit di Schizophrenia Bulletin memperkuat dugaan tersebut. Tim peneliti dari Australia dan Hong Kong menemukan adanya gangguan khas pada mekanisme saraf yang seharusnya membedakan antara “suara batin” dan suara dari luar.
"Temuan itu menguatkan hipotesis lama bahwa sebagian “suara” yang didengar pasien mungkin sebenarnya adalah pikiran mereka sendiri," jelas Thomas J Whitford, peneliti utama dalam riset tersebut, seperti dikutip dari Psychiatrist, Kamis (23/10).
Para peneliti menyebut sumber masalahnya sebagai kerusakan pada sistem yang dikenal dengan istilah corollary discharge—mekanisme otak yang memberi tahu diri sendiri, “ini berasal dariku.”
Pada otak yang sehat, corollary discharge berfungsi seperti filter otomatis. Saat seseorang berbicara, otak memprediksi bunyi suaranya sendiri dan menekan sebagian respons pendengaran agar tidak terkejut mendengarnya. Proses ini disebut speaking-induced suppression (SIS).
Namun, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penderita skizofrenia memiliki respons SIS yang lebih lemah. Mereka tidak mampu membedakan dengan jelas antara suara sendiri dan suara eksternal.
Riset terbaru ini melangkah lebih jauh. Alih-alih hanya meneliti suara yang diucapkan, tim peneliti mengamati sinyal listrik otak saat partisipan membayangkan mengucapkan suku kata sederhana seperti “ba” atau “bi.”
Tujuannya untuk mencari tahu apakah efek penekanan yang sama terjadi pada “suara batin” dan apakah ketidakhadirannya bisa menjelaskan halusinasi.
Dalam eksperimen, para peserta penelitian dibagi menjadi tiga kelompok: pasien skizofrenia dengan halusinasi suara, pasien tanpa halusinasi, dan kelompok kontrol sehat.
Dalam setiap percobaan, peserta diminta membayangkan mengucapkan suku kata tertentu, mendengarkan bunyi yang sama atau berbeda lewat headphone, atau melakukan keduanya bersamaan.
Para peneliti kemudian memantau gelombang N1—penanda awal proses pendengaran dalam EEG. Pada peserta sehat, N1 melemah saat suara imajiner mereka cocok dengan suara yang didengar, menandakan adanya penekanan normal.
Namun demikian, pada pasien dengan halusinasi, efeknya justru berbalik: respons N1 meningkat. Otak mereka memperkuat, bukan menekan, suara yang mereka bayangkan sendiri.
Pasien tanpa halusinasi juga menunjukkan pola abnormal, meski berbeda. Mereka gagal menunjukkan penekanan normal dan justru menurun saat suara tidak cocok.
Tingkat gangguan N1 ini sejalan dengan tingkat keparahan halusinasi. Semakin kuat halusinasi yang dialami, semakin besar pembalikan efek penekanan yang terdeteksi.
Temuan ini memberikan bukti fisiologis bahwa mekanisme penekanan “suara batin” memang rusak pada skizofrenia—terutama pada pasien yang mendengar suara. Kegagalan corollary discharge membuat pikiran sendiri terasa asing, seolah berasal dari luar diri.
“Peningkatan saliens auditori ini mungkin mengaburkan batas antara diri dan dunia luar,” tulis para peneliti.
Pasien yang tidak mengalami halusinasi menunjukkan pola serupa, tetapi dalam derajat lebih ringan. Ini membuka kemungkinan bahwa gangguan tersebut bisa menjadi penanda biologis untuk spektrum skizofrenia secara umum.
Dalam jangka panjang, pola EEG seperti ini bisa digunakan untuk mendeteksi risiko psikosis lebih awal, memantau efektivitas terapi, atau bahkan melatih ulang sistem pemantauan diri lewat teknik neurofeedback dan stimulasi otak.
"Studi ini mengingatkan betapa rapuhnya batas antara diri dan dunia. Bagi kebanyakan orang, suara dalam kepala terasa akrab. Namun bagi sebagian lainnya, ketika sistem otak itu gagal, suara tersebut bisa berubah menjadi sosok asing yang menakutkan," jelas Whitford cs.