Ada saat-saat ketika dunia terasa mengecil dan kita tenggelam di dalam momen-momen ajaib: hutan yang sunyi setelah hujan, alunan simfoni yang menyapu seluruh ruangan, atau langit malam yang penuh bintang.
Para penyair menyebutnya kekaguman, sedangkan para mistikus menyebutnya “transendensi.” Kini, neurosains mulai memetakan apa yang sebenarnya terjadi di otak ketika kita mengalaminya.
Salah satu studi terkait dilakoni para peneliti University of California Los Angeles (UCLA), yakni Beatrix Krause-Sorio, Sergio Becerra, Prabha Siddarth, Stacey Simmons, Taylor Kuhn, dan Helen Lavretsky. Riset bertajuk "Your brain on art, nature, and meditation: a pilot neuroimaging study" itu sudah terbit di Jurnal Frontiers in Human Neuroscience, awal 2025.
Dalam risetnya, para peneliti melibatkan sembilan relawan sehat. Mereka diminta berbaring di dalam mesin pemindai fMRI sambil menikmati tiga pengalaman berbeda: seni yang dibuat kecerdasan buatan, panorama alam yang luas, dan visual kosmik yang dirancang untuk memicu rasa “terhubung dengan semesta.”
Selain itu, mereka juga dikenalkan dengan teknik-teknik meditasi. Hasilnya menarik. Eksperimen meditasi menyalakan jaringan pengenalan, sensasi tubuh, dan memori pada otak—seolah merajut kesadaran diri dengan persepsi.
"Selama meditasi dibandingkan dengan menonton video seni, peningkatan respons BOLD (blood-oxygen-level dependent) diamati pada persimpangan antara operkulum parietal dan sentral kiri, serta pada girus-pre dan post-sentral kanan," tulis Sorio dan kawan-kawan.
BOLD adalah sinyal yang dideteksi oleh mesin MRI fungsional (fMRI) yang menunjukkan perubahan oksigenasi darah terkait aktivitas neuron di otak. Ketika otak aktif, aliran darah dan oksigen meningkat ke area tersebut, menciptakan perbedaan dalam sinyal magnetik yang dapat diukur oleh fMRI untuk memetakan fungsi otak
Pertemuan dengan alam menenangkan otak, menurunkan sirkuit stres sambil mempertajam area visual, sedangkan seni menggelitik rasa ingin tahu, tapi melibatkan lebih sedikit respons-respons bagian otak secara keseluruhan. Tiga kondisi ini seakan menunjukkan bahwa setiap bentuk keajaiban berbicara dengan “dialek” sarafnya sendiri.
Melihat pemandangan alam—air terjun, hutan, garis pantai—bukan hanya memicu area visual, tapi juga menurunkan aktivitas di area yang terkait stres dan emosi. Ini selaras dengan teori stress reduction: alam menyembuhkan bukan dengan memacu otak, tapi dengan menenangkannya.
Seni AI--seperti karya Refik Anadol yang memadukan jutaan foto alam menjadi video halusinasi mesin--memunculkan rangkaian cahaya dan warna yang indah namun asing. Bagi otak, itu ibarat teka-teki visual—menarik tapi tetap “terbatas”.
"Paparan terhadap seni, alam, atau meditasi—semuanya merupakan pengalaman transenden manusia—memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan dan kesejahteraan. Memusatkan perhatian ke dalam diri atau menyaksikan video seni dan alam membangkitkan emosi positif yang dapat membantu menyembuhkan kondisi terkait stres," tulis para peneliti.
Ketika peserta diminta merenungkan “semesta” lewat meditasi, para peneliti otak mereka justru bekerja lebih kompleks. Area fusiform gyri (pengenalan objek), postcentral gyri (sensasi tubuh), dan hippocampus (memori) aktif bersamaan.
"Rasa kagum bukan cuma perasaan lewat. Setiap momen transendensi meninggalkan 'sidik jari' di otak—jaringan memori, sensasi, dan kesadaran diri ikut terbentuk. Sama seperti lapar memetakan jalur nafsu makan, rasa takjub bisa membentuk jalur makna dalam hidup kita," kata President of ACCESS Health International, William A. Haseltine, mengomentari riset Sorios dan kawan.
Ilustrasi kemampuan otak. /Foto Pixabay
Bukan sekadar pelarian
Artinya, seni, alam, dan meditasi bukan sekadar pelarian. Mereka adalah “alat” alami otak untuk mereset keseimbangan: antara perhatian, stres, dan refleksi. Ketiganya sama vitalnya dengan makan, tidur, atau olahraga.
"Otak manusia diciptakan bukan hanya untuk bertahan, tapi juga untuk melampaui batas dirinya. Keindahan, kesunyian, dan kebesaran dunia mengajak kita keluar dari ruang sempit kesadaran sehari-hari," jelas Haseltine seperti dikutip dari Psychology Today.
Tantangannya, bagaimana membawa pengetahuan ini ke dunia nyata? Bisakah rumah sakit memasukkan seni dan cahaya alami sebagai bagian terapi? Bisakah sekolah dan kantor menyediakan ruang hening sama seriusnya dengan ruang rapat?
"Jika iya, mungkin transendensi tak lagi jadi kemewahan langka, tapi sumber daya sehari-hari untuk bertahan di dunia yang bising," imbuh Haseltine.