sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Penggalan kisah pembelajaran kewarganegaraan ala homeschooling

Latar belakang nilai setiap keluarga, menentukan tujuan dan arah pendidikan yang dilangsungkan melalui metode homeschooling.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Selasa, 17 Des 2019 12:43 WIB
Penggalan kisah pembelajaran kewarganegaraan ala homeschooling

Pembelajaran kewarganegaraan

Menanggapi hal itu, anggota Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI) Ellen Nugroho menegaskan pandangan dan sikap yang membaktikan kesetiaan mereka pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ellen justru menyanggah bahwa penyebaran radikalisme di Indonesia telah meluas melalui bermacam cara dan wahana, seperti dalam institusi keagamaan dan lembaga pendidikan.

“Tetapi kami yang tergabung di PHI tak perlu diragukan lagi, kami setia pada Pancasila dan NKRI,” kata Ellen.

Ellen menjelaskan, nilai keutamaan Pancasila biasa mereka terapkan dalam keluarga dan kegiatan keseharian di lingkungan sekitar tempat tinggal. Menurutnya, hal itu jauh lebih mengena pada anak dibandingkan disampaikan sebagai hapalan seperti diajarkan sekolah pada umumnya.

Dalam beberapa kali peringatan HUT Proklamasi RI, misalnya, Ellen dalam keluarga intinya mengajak anak-anak turut melaksanakan kerja bakti di kampung. Mereka juga terlibat menggelar upacara tujuh belasan secara internal di lingkungan perumahannya.

Sementara untuk melengkapi materi pembelajaran, homeschooler memilihkan bacaan biografi tokoh-tokoh sejarah, seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, juga Kartini, bagi anak-anak mereka.

“Jadi bukan buku teks pelajaran seperti di sekolah formal, kita juga berdiskusi dengan kritis. Pendidikan kewarganegaraan ini tidak dipraktikkan sebagai hapalan dan bukan formalitas, tetapi diterapkan secara langsung esensinya,” katanya.

Anggota PHI mencakup jejaring antarsesama keluarga pelaku sekolah rumah se-Indonesia. Hingga awal November 2019, anggota PHI mencakup 329 keluarga dengan 737 anak. Data ini meliputi pelaku homeschooling pada 86 simpul kota/kabupaten di 23 provinsi.

Sponsored

Sementara itu, pasangan orang tua Moi Kusman dan Ichsan Ruzuar punya cerita menarik seputar pengalamannya dalam menerapkan metode sekolah rumah. Homeschooling mereka terapkan pada ketiga anak mereka.

Moi dan Ichsan menerapkan pembelajaran homeschooling dipengaruhi layanan buku paket di sekolah putranya yang kurang berkualitas. Selain kurang lengkap, kala itu buku paket pelajaran yang dijual di sekolah putra pertama kurang sesuai dengan perkembangan materi pembelajaran anak.

Selain itu suatu kali anaknya mendapatkan nilai rapor kurang baik. Setelah diketahui, ternyata menurut guru sekolah, putranya pernah mendebat seorang guru bahasa Inggris terkait pelafalan kosakata tertentu yang berbeda dengan yang diajarkan gurunya.

“Misalkan, kata knife, anak saya menyebutkan ‘naiv’ yang berbeda dengan gurunya, ‘kenaif’,” ucap Moi.

Moi Kusman dan Ichsan Ruzuar yang tinggal di kota Bogor, Jawa Barat, melalui homeschooling mereka dapat lebih mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak.

“Jadi kami bisa mengembangkan kesepakatan kami sebagai orang tua dengan anak sebagai subjek pembelajar,” kata Ichsan yang diiyakan oleh Moi. Pengalaman menerapkan sekolah rumah dia lakukan secara berturut-turut pada ketiga anaknya sejak taman kanak-kanak hingga SMA.

Komunitas Silih Asah sebagai perkumpulan 20-an keluarga pelaku sekolah rumah secara rutin berkumpul dua minggu sekali. Moi menekankan semangat keberagaman yang mengacu pada falsafah dasar negara Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Praktiknya hal itu diterapkan dalam peringatan hari besar nasional, termasuk peringatan Hari Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober.

Moi menjelaskan, ada tiga kelompok anak anggota Silih Asah yang meniru dari kategori keanggotaaan dalam Pramuka. Komunitas ini terdiri atas Barudak (usia 5 tahun ke bawah), Siaga (enam tahun ke atas), dan Penggalang (13 tahun ke atas).

“Waktu Hari Sumpah Pemuda anak-anak Penggalang kami minta riset apa itu Sumpah Pemuda, mengapa ada peringatannya,” kata Moi.

Selain itu, para orang tua yang tergabung dalam Silih Asah menentukan tema berbeda setiap semester. Pada semester ini, misalnya, mereka mengambil tema rempah-rempah. Berangkat dari tema ini, anak-anak ingin diajarkan mengenai nilai keberagaman dalam kehidupan masyarakat sekaligus mengingatkan untuk merawat kekayaan Nusantara agar tidak dikuasai kembali oleh bangsa asing.

Dalam praktiknya, gagasan itu diterapkan dalam bentuk kegiatan yang sederhana. Misalnya, kelompok anak Barudak berkegiatan mewarnai bersama menggunakan kunyit. Hal ini, kata Moi, lalu dipakai sebagai cara memperkenalkan rempah sebagai bumbu dapur untuk memasak.

Menurut Moi, Gerakan Pramuka mereka pakai sebagai panduan dalam pembelajaran mengingat kegiatan Pramuka kental dengan nilai-nilai Pancasila, seperti tertuang dalam Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka.

“Prinsip-prinsip dalam Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka itu selalu dibacakan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid