sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Subarudi

Hukuman bagi penulis KTI di BRIN: Sebuah ironi dan irasionalitas 

Subarudi Rabu, 24 Jan 2024 17:45 WIB

Dampak dari pembatasan jumlah penulis dalam KTI
Pemberian sanksi etika dan penurunan tukin oleh manajemen BRIN terhadap para penulis dengan alasan yang tidak jelas dan tidak ada penjelasan resmi terkait kekeliruan dari kasus KTI “A Cronicle” tersebut. Ketidak jelasan ini menyasar kepada semua lini, di mana penulis book chafter juga dikenakan sanksi etika karena penulisnya lebih dari 20 penulis sebagaimana diungkapkan dalam Webinar oleh PPI Pusat pada 8 Januari 2023 dengan topik “Indeksasi Jurnal di Lingkungan BRIN”. Hal yang sama dialami penulis ketika memasukan KTI di jurnal internasional yang dikelola BRIN yang telah meminta kepada para penulisnya untuk mengurangi jumlah penulisnya. 

Penulis pada awalnya mengirimkan abstrak sebuah KTI pada sebuah jurnal internasional terindeks bereputasi global tinggi (Q1) di lingkungan BRIN. Saat itu dinyatakan bahwa abstrak diterima, tetapi karena cakupannya terlalu luas, sehingga diminta penulisnya untuk lebih fokus pada salah satu aspek pokok bahasan saja. Penulis sebagai penulis utama setelah mempelajari abtrak yang telah direview, kemudian mengundang dan menambahkan para penulis lain baik dari dalam maupun dari luas institusi BRIN sesuai dengan bidang kepakarannya agar kualitas KTI tersebut meningkat dengan pendekatan multi-disiplin ilmu.

Akhirnya draf awal KTI tersebut sudah selesai dengan jumlah penulis sekitar 22 (dua puluh dua) penulis dan kemudian dikirimkan kembali ke pengelola jurnal tersebut. Setelah di-review, dikatakan oleh ketua editor jurnal tersebut, bahwa format penulisan KTI belum sesuai dengan format pengutipan pustakanya dan catatan lainnya, sebaiknya jumlah penulis dikurangi. Minimal dikembalikan pada saat awal pengiriman abstrak, yakni enam penulis. 

Setelah catatan ketua editor jurnal tersebut di-posting di WAG, memang ada 1-2 peneliti mengundurkan diri tanpa menjelaskan alasannya. Penulis sebagai penulis pertama dan bertanggung jawab atas KTI memerintahkan penulis lain yang submit ke jurnal tersebut untuk menarik KTI yang sudah direvisi ke jurnal tersebut. Penulis merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hati dan sepertinya tidak beretika, apabila penulis meminta penulis lainnya yang sudah berkontribusi positif terhadap penyelesaian sebuah KTI untuk mengundurkan diri. Lebih baik KTI tersebut ditarik sebagai suatu indikasi dukungan terhadap pelanggaran etika antara sesame penulis, walaun tidak ada jaminan setelah terbit di jurnal lainnya juga akan dituduhkan sebagai pelanggaran etika.

Secara umum, dapat dikatakan pelanggaran etika sebagai kebijakan kamuflase untuk menutupi kekhawatiran tidak tercapainya jumlah KTI yang sudah ditergetkan dan kemungkinan besar manajemen BRIN akan memunculkan kebijakan pembatasan jumlah penulis dalam penulisan sebuah KTI. Kebijakan reaktif ini sudah menjadi agenda seting (teori siklus kebijakan) yang rutin dijalankan oleh manajemen BRIN ketika muncul kasus, sehingga filosofi kebijakan yang diterapkannya adalah “Memecahkan masalah dengan masalah”. Tagline BRIN ini berseberangan dengan tagline Pegadaian “Memecahkan masalah tanpa masalah”.

Argumentasi logis yang dikemukan oleh penulis untuk tidak menyetujui penandatangan permohonan maaf dan sekaligus menarik KTI “A Cronicle” dari penerbitnya adalah sebagai berikut: (1) Hukuman yang dijatuhkan kepada para penulis tanpa ada dasar aturan tertulis sebagaimana dalam SK Kepala BRIN No. 198/2023; (2) manajemen BRIN meminta dihapuskan KTI tersebut sepertinya melebihi kewenangannya dibandingkan dengan penerbit jurnal dan komunitas ilmiah di jurnal tersebut; (3) Bagaimana mungkin manajemen BRIN telah memberikan hukuman, tetapi tanpa ada jejak KTI sebagai obyek hukuman dan barang buktinya; (4) Lembaga BRIN sebenarnya tidak dirugikan secara materiil dan immateriil karena (i) semua penulis tidak ada satupun yang mengajukan KTI tersebut sebagai KKM, dan (ii) walaupun ada di manajemen BRIN lainnya sudah disetujui, tetapi terpaksa ditanggalkan sebagai KKM demi mengedepankan rasa keprihatinan dan solidaritas atas para penulis lainnya yang terkena hukuman; (5) penulis sangat yakin bahwa penulisan surat pencabutan oleh sebagaian besar penulisnya sebagaimana disarankan oleh Dewan Etik, akan ditolak penerbit KTI tersebut karena tanpa dijelaskan alasan rasional dan logis terkait usulan pencabutan tersebut; (6) Pihak Sponsor kemungkinan akan meminta pengembalian dananya karena sudah masuk buku pencatatan institusinya bahwa dana tersebut digunakan untuk membiayai penulisan KTI “A Cronicle” dan jika diperiksa ternyata KTI tersebut tidak ada, maka pihak sponsor dapat terkena tuduhan delik penipuan atau delik korupsi karena membiaya KTI fiktif; (7) KTI tersebut sudah banyak dikutip oleh para penulis internasional lainnya dalam pembuatan KTI mereka dan jika dihilangkan timbul pertanyaan terkait dimana etika dan tanggung jawab para penulis dan penerbit KTI tersebut; (8) pemberian hukuman terhadap para penulis yang tidak tahu apa kesalahannya menjadikan hukuman itu adalah sebuah tindakan dzolim dan kesewenang-wenangan dari manajemen BRIN. Kesewenangan tersebut bahkan melebih kewenangan para hakim di semua pengadilan (Negeri, Tinggi dan Mahkamah Agung) yang selalu menjunjung tinggi filosofi keadilan, yaitu “Lebih baik melepaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. 

Jadi, bagaimana mungkin penulis dan para penulis lain KTI “A Cronicle” tersebut dapat menerima hukuman yang mereka sendiri tidak mengetahui pasal mana dan aturan mana yang dilanggarnya dan diharuskan meminta maaf serta harus menerima sanksi disiplin dan pemotongan tukin dari pimpinan institusinya. Pemberian hukum ini menciderai asas hukum pidana yang berbunyi “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” yang mempunyai pengertian sebagai “tiada peristiwa hukum atau tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu peristiwa hukum dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas peristiwa itu” (https://kamushukum.web.id/arti-kata/nullumdelictumnullapoenasinepraevialegepoenali/).

Asas legalitas ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.” (Sopandi, 2010; JDIH Yogyakarta, 2012).

Sponsored

Penutup 
Sebagai sebuah civitas lembaga riset, maka sudah seharusnya manajemen BRIN lebih menggunakan pendekatan “komunikasi dua arah” dan bukan pendekatan “kekuasaan” terhadap persoalan KTI yang sudah diterbitkan. Hal ini dimaksudkan untuk membuka ruang dialog dan diskusi ilmiah untuk menyelesaikan semua persoalan di internal BRIN khususnya yang terkait dengan publikasi KTI.

Oleh karena itu, sanksi hukuman disiplin harus segera dicabut sebagaimana penjelasan ilmiah di atas dan sesuai juga dengan diktum sebuah keputusan yang umumnya terdapat klausul "Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan ini dalam keputusan ini, akan diadakan perbaikan dan perhitungan kembali sebagaimana mestinya”.

Rasanya ironis dan irasional ketika para peneliti dalam mempublikasikan KTI nya harus berjuang dengan segenap tenaga dan kemampuannya, tetapi malah mendapat sanksi hukuman serta harus melaporkan terlebih dahulu KTI tersebut kepada atasan langsung para penulisnya. Hal ini akan menjadi boomerang bagi manajemen BRIN karena akan menghilangkan independensi dan memasung kreavitas penulis yang sudah berusaha menghasilkan KTI terbaiknya sesuai kepakarannya untuk diterbitkan di jurnal-jurnal internasional bereputasi tinggi.

Seharusnya, manajemen BRIN belajar dari keterpurukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga superbody ternyata tidak mampu menunjukkan kinerjanya karena indepedensinya dihilangkan dan pimpinannya  tak kuasa karena takut kehilangan jabatannya setelah UU KPK direvisi.

Berita Lainnya
×
tekid