sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Serangan siber: Cara populer untuk membungkam kritik terhadap pemerintah

Dari telaah isu dan pelaku hak digital utama di Indonesia, berdasarkan wawancara yang dilakukan, terkumpul lima isu penting.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Kamis, 24 Feb 2022 21:24 WIB
Serangan siber: Cara populer untuk membungkam kritik terhadap pemerintah

Perlindungan aktivis dan jurnalis sebagai salah satu prioritas paling awal Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) ketika mulai menangani hak-hak digital karena dilatari sejarah otoriter Indonesia.

Demikian bunyi 'Laporan Hak Digital Indonesia 2021' diterbitkan EngageMedia pada Desember 2021 bekerja sama dengan konsultan penelitian Dr Diani Citra dan Dr Indriaswati Saptaningrum. Penelitian ini memetakan isu-isu utama hak digital, kebijakan, dan aktor serta jaringan masyarakat sipil di Indonesia. Laporan ini mengkaji tonggak dan tantangan gerakan hak digital Indonesia melalui kacamata jurnalis, aktivis, lembaga pemerintah, pejabat, pemimpin industri, dan peneliti.

Dari telaah isu dan pelaku hak digital utama di Indonesia, berdasarkan wawancara yang dilakukan, terkumpul lima isu penting yang saat ini sedang ditangani oleh berbagai aktor hak digital di Indonesia. Kelima isu meliputi perlindungan aktivis dan jurnalis, kriminalisasi wicara digital, mitigasi dampak manipulasi dan disinformasi media, perlindungan dan keamanan data, serta akses.

"Pembahasan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang bersifat membatasi, pada tahun 2007 ditanggapi oleh wartawan dan blogger yang termasuk kelompok-kelompok pertama yang menyerukan kebebasan di internet. UU ITE, dimaksudkan untuk mengatur arus informasi dan transaksi elektronik lainnya secara daring, disahkan pada tahun 2008 dan diamandemen pada tahun 2016. Kaum jurnalis dan masyarakat telah ditindas dengan pasal-pasal tentang pencemaran nama baik yang ternyata disalahgunakan," kata laporan yang dipimpin tim riset Diani Citra PhD dan Indri Saptaningrum PhD.

Pada periode Januari hingga Oktober 2020 saja, terjadi sebanyak 60 serangan digital yang menyasar jurnalis dan aktivis, seperti dicatat Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (The Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet).

Pencemaran nama baik secara daring dapat dihukum hingga empat tahun penjara, ancaman hukuman penjara yang berat memiliki dampak mengerikan pada jurnalisme yang meliputi isu-isu kontroversial atau menantang para individu yang memiliki kekuasaan, menjadi konsekuensi yang memberatkan kebebasan pers. Peningkatan signifikan dari jumlah serangan digital terhadap aktivis dan jurnalis terjadi antara tahun 2019 dan 2021.

Laporan ini mengutip: "Serangan-serangan tersebut memiliki bentuk yang berbeda-beda, mulai dari peretasan akun media sosial hingga doxing (mengungkapkan informasi pribadi secara daring tanpa persetujuan) hingga serangan DDoS terhadap situs web atau server sebuah organisasi, yang merupakan sebuah taktik yang makin marak sejak 2019," menurut Damar Juniarto dan Anton Muhajir, dalam 'The Rise of Digital Authoritarianism' berdasarkan wawancara dengan Abdul Manan, AJI.

Namun apapun caranya, serangan-serangan ini membuktikan adanya cara-cara yang makin populer untuk membungkam kritik terhadap pemerintah. Temuan ini diperoleh dari sembilan responden anonim yang diwawancarai (Damar Juniarto dan Anton Muhajir, 'The Rise of Digital Authoritarianism') dan wawancara dengan Ade Wahyudin, LBH Pers.

Sponsored

Keengganan target dari serangan (korban) untuk melibatkan lembaga penegak hukum, yang mereka pandang dengan skeptisisme, cukup beralasan hingga sering memperparah dampak dari insiden seperti itu. Terutama karena para aktor penyerangnya berasal dari dalam pemerintah itu sendiri, jalan buntu dari segi hukum kerap dihadapi oleh wartawan dan aktivis yang mengupayakan solusi hukum.

Selain itu, aktor yang beritikad baik dalam komunitas penegak hukum seringkali kesulitan untuk menemukan ahli forensik digital dengan kualifikasi yang mumpuni di Indonesia, sedangkan ahli digital forensik yang ada membutuhkan biaya yang sangat tinggi meskipun keahlian mereka kerap diabaikan oleh pengadilan.

Salah satu aktor tertua dan terpenting dalam membela hak-hak aktivis dan jurnalis Indonesia khususnya dalam isu kebebasan berpendapat: Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Komite Keselamatan Jurnalis didirikan pada tahun 2019, dengan fasilitasi dari Dewan Pers, untuk menangani peningkatan serangan yang dapat mengancam jiwa jurnalis media daring.

AJI memimpin pembentukan jaringan ini, dengan anggota Sindikasi, YLBHI, LBH Pers, dan beberapa asosiasi jurnalistik lainnya. Sementara itu, LBH Pers ICJR dan ELSAM, memberikan bantuan hukum dan telah memprakarsai beberapa koalisi ad hoc untuk mengkonsolidasikan dukungan untuk usaha advokasi mereka.

Intinya disimpulkan bahwa Indonesia telah mengalami laju perkembangan teknologi yang cepat, tetapi laporan utama tentang kebebasan internet dan indeks demokrasi negara menunjukkan penurunan ruang sipil daring, dengan catatan angka tentang kebebasan internet menurun selama empat tahun terakhir.

Berita Lainnya
×
tekid