sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Profil Buya Syafi'i, ulama yang pernah tolak jabatan dari Jokowi

Buya Syafi'i dikenal cendekiawan yang mendedikasikan pemikirannya untuk keberagaman dan toleransi.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 27 Mei 2022 13:30 WIB
Profil Buya Syafi'i, ulama yang pernah tolak jabatan dari Jokowi

Kepergian Ahmad Syafi'i Maarif atau Buya Syafi'i meninggalkan duka mendalam bagi Bangsa Indonesia. Ia meninggal dunia pada umur 86 tahun, setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping. Buya dirawat di rumah sakit sejak 14 Mei 2022 lalu usai mengalami sesak napas.

Selama hidupnya, Buya Syafi'i dikenal sebagai salah satu ulama sekaligus cendekiawan yang mendedikasikan pemikirannya untuk keberagaman dan toleransi. Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu dikenal sebagai ulama moderat. 

Melalui Sekretaris Jenderal Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) Romo Adi Prasojo, Kardinal Ignatius Suharyo, mewakili umat Katolik Indonesia mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya Buya Syafi'i.

"Atas nama pribadi Bapak Kardinal Ignatius Suharyo dan umat Katolik KAJ, kami mengucapkan turut berduka mendalam atas kepergian Bapa Bangsa Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif kepada keluarga Buya Syafii Maarif dan keluarga besar PP Muhammadiyah. Semoga beliau husnul khatimah diterima amal ibadah dan diampuni kesalahannya. Selamat jalan Bapak Bangsa Buya terkasih," kata Romo Adi dalam keterangannya, Jumat (27/5).

Pengaruh Buya Syafi'i dalam membangun karakter bangsa dan keberangan sangat dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal 2015, sempat menawarkan posisi Dewan Pertimbang Presiden, namun Buya Syafi'i menolaknya.

Kala itu, Buya Syafi'i memilih menjadi lebih independen. Saat Presiden Jokowi memintanya untuk menjadi salah satu Tim Independen mengatasi konflik Polri-KPK, Buya pun menyanggupinya dan sekaligus menjadi Ketua Tim Independen 2015.

Buya Syafi'i lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935. Dia lahir dari pasangan Minang, Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan Fathiyah. Buya merupakan bungsu dari empat bersaudara seibu seayah, dan seluruhnya 15 orang bersaudara seayah berlainan ibu.

Sewaktu berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal hingga Buya Syafi'i kemudian dititipkan oleh ayahnya ke rumah bibinya yang bernama Bainah.

Sponsored

Saat 1942, Buya Syafi'i masuk ke Sekolah Rakyat di Sumpur Kudus. Ia melanjutkan ke Madrasah Muallimin di Balai Tengah, Lintau. Saat berusia 18 tahun, ia memutuskan untuk merantau ke Jawa, tepatnya ke Yogyakarta.

Di Yogyakarya, ia ingin meneruskan sekolahnya ke Madrasah Mualimin. Namun, keinginan tersebut tidak terwujud dengan alasan bahwa kelas sudah penuh. Ia malahan direkrut menjadi guru pengajar di sekolah itu.

Keterlibatan Buya Syafi'i dengan organisasi Muhammadiyah berlanjut setelah ia diangkat untuk menjadi guru di salah satu sekolah milik Muhammadiyah.

Kemudian, Buya Syafi'i menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti program master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika Serikat. Sementara, gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Univesitas Chicago, AS dengan disertasinya yang berjudul Islam as the Basis of State: A Study of The Islamic Political Idead as Reflected in the Constituent Assembli Debates in Indonesia.

Selain aktiif di dunia pendidikan, ia juga merupakan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah periode 2000-2005. Posisnya kemudian digantikan oleh Din Syamsuddin.

Setelah tidak lagi menjabat ketua umum, Buya Syafi'i tetap mendedikasikan dirinya untuk perkembangan Muhammadiyah, Islam, dan Indonesia. Buya tetap memberikan masukan dan kritikan kepada sahabat dan kepada siapa pun dengan tulus. 

Untuk menguatkan pemikiran-pemikiran pluralisme, toleransi, kebangsaan, keislaman, sosialnya, didirikan lembaga Maarif Institute. Lembaga ini merekrut para intelektual muda dan memiliki kepedulian terhadap bangsa. 

Berita Lainnya
×
tekid