sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gerakan massa menolak RUU Perkawinan pada 1973

RUU Perkawinan dianggap melanggar aturan agama Islam.

Fandy Hutari Manda Firmansyah
Fandy Hutari | Manda Firmansyah Rabu, 25 Sep 2019 19:38 WIB
Gerakan massa menolak RUU Perkawinan pada 1973

Dalam sidang paripurna pada 24 September 2019, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menerima permintaan Presiden Joko Widodo untuk menunda empat rancangan undang-undang (RUU) yang akan diketuk, yakni RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU KUHP.

Di dalam sidang paripurna itu, DPR mensahkan RUU Pesantren, RUU Sistem Budi Daya Pertanian berkelanjutan (SBDP), dan RUU Peraturan Pembentukan Perundangan Perundang-undangan (P3).

Sementara para dewan terhormat tengah bersidang, ribuan mahasiswa dari berbagai kota turun ke jalan. Mereka memadati area sekitar Gedung DPR, Jakarta. Itu belum termasuk demonstrasi di berbagai kota di Indonesia.

Ada beberapa tuntutan mahasiswa, dua di antaranya menunda pengesahan RUU KUHP dan menuntut pembatalan UU KPK yang sudah disahkan DPR belum lama ini. Hingga tengah malam, aparat berusaha memukul mundur mahasiswa.

Penolakan terhadap RUU bukan kali ini saja terjadi. Pada 1973, gelombang massa pun bergerak menolak RUU Perkawinan.

Di dalam bukunya Islam, Law, and Equality in Indonesia (2003), John Bowen menyebut, RUU Perkawinan mampu menggemparkan publik ketimbang RUU produk Orde Baru lainnya.

Draf RUU Perkawinan sebenarnya sudah diajukan pada 1967. Namun dibatalkan karena ada penolakan dari Fraksi Partai Katolik.

Sejumlah mahasiswa terlibat kericuhan saat berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen di Jakarta, Selasa (24/9). /Antara Foto.

Sponsored

Melanggar aturan agama

Menurut Cindya Esti Sumini di dalam skripsinya berjudul Perjalanan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia 1974-1983 (2012), pada Juli 1973 pemerintah kembali mengajukan RUU Perkawinan kepada DPR.

Akan tetapi, RUU Perkawinan mendapat penolakan dari publik, terutama kaum Muslim. Cindya mencatat, ada empat poin mengapa RUU ini ditentang. Pertama, RUU ini menganggap sah perkawinan yang tak menurut hukum agama.

Kedua, anak angkat punya kedudukan yang sama dengan anak kandung. Ketiga, adanya larangan perkawinan dengan hubungan anak angkat atau bapak angkat. Keempat, perbedaan agama tidak menjadi penghalang perkawinan.

Di dalam buku Woman, Islam, and Everyday Life; Renegotiating Polygamy in Indonesia (2009), Nina Nurmila menyebut, selama proses penyusunan draf, pemerintah tak mengajak berunding Kementerian Agama dan partai-partai politik Islam. Lalu, tiba-tiba mengajukan RUU Perkawinan itu ke DPR.

Menurut Nina, sejumlah pasal di dalam RUU menghilangkan ketentuan dan kewenangan pengadilan agama untuk menangani kasus keluarga Muslim. Pengadilan agama sendiri dianggap sebagai simbol otoritas Muslim dalam menjamin penerapan hukum Islam, dan penghilangan tersebut dianggap mengancam urusan keagamaan.

Sementara, John Bowen menyebut, RUU Perkawinan mengancam kendali hukum Islam yang selama bertahun-tahun diinjak kolonial. Menurut John, di dalam proses penyusunan draf RUU Perkawinan, tak ada kelompok Islam yang terlibat. Umat Islam pun keberatan karena alasan substantif.

Gerakan penolakan

Gerakan penolakan RUU Perkawinan bergulir. Nina Nurmila menulis, organisasi masyarakat, perhimpunan mahasiswa, cendekiawan, dan tokoh pemimpin Islam menyuarakan keprihatinannya dengan menggelar unjuk rasa di beberapa kota, seperti Yogyakarta, Bandung, Bogor, Surabaya, dan Makassar.

Menurut Cindya Esti Sumini, kelompok pelajar Islam yang menamakan diri Badan Kontak Pelajar Islam (BKPI) menuntut pemerintah mencabut RUU Perkawinan, lalu diganti dengan RUU yang tak bertentangan dengan syariat Islam.

Puncaknya, terjadi demonstrasi di dalam ruang sidang DPR pada 27 September 1973. Saat itu, di hadapan anggota dewan, Menteri Agama Mukti Ali hampir selesai membacakan jawaban pemerintah tentang RUU Perkawinan.

Pikiran Rakyat edisi 29 September 1973 melaporkan, tiba-tiba saja seorang pemuda di balkon belakang berteriak menuntut dicabutnya RUU Perkawinan. Ia berusaha membuka kemejanya, dan mengeluarkan kertas bertuliskan kecaman terhadap RUU Perkawinan. Menteri pun berhenti berpidato.

“Sekitar 400-500 anak muda, seperempatnya pelajar putri berkerudung putih berteriak-teriak. Kelompok anak muda yang duduk di bawah, di tengah-tengah anggota DPR segera menyambut dengan pekikan-pekikan menuntut dicabutnya RUU Perkawinan,” tulis Pikiran Rakyat, 29 September 1973.

Aksi unjuk rasa di dalam Gedung DPR pada 1973. /Sinar Harapan, 27 September 1973.

Cindya Esti Sumini menulis, mereka berasal dari kelompok Attahiriyah, Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (GMII), dan ormas Islam lainnya.

“Sebelum peristiwa ini sebenarnya GMII dan Kesatuan Aksi Umat Islam (KAUI) telah berupaya berdialog dengan Presiden Soeharto, namun mengalami kegagalan,” tulis Cindya.

Sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Domo Pranoto pun akhirnya diskors sementara. Para pejabat yang hadir, antara lain pimpinan DPR, Menteri Agama, Menteri Kehakiman Oemar Senoadji, dan anggota DPR lainnya diselamatkan ke ruang tunggu VIP.

Situasi mencekam di dalam ruang sidang DPR. Para demonstran lalu menyerbu ke mimbar pimpinan DPR. Spanduk kecil mereka acungkan, di antaranya tertulis, “sekularisme dan komunisme adalah musuh negara Pancasila.”

Setengah jam kemudian, Ketua DPR Idham Chalid datang dan menenangkan para demonstran. Namun, hal itu sia-sia. Ia pun meninggalkan ruang sidang.

Selain menolak RUU Perkawinan, para demonstran menuntut tiga rekan mereka, yakni Djamhur Ismail, Hamzah Hasan, dan Hasbullah, untuk dibebaskan.

Puluhan anggota ABRI—Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang TNI—bersenjata merangsek masuk ruang sidang. Mereka berusaha mengeluarkan para demonstran. Pikiran Rakyat menyebut, anggota ABRI tak memakai kekerasan dan simpatik.

Akan tetapi, Tri Chandra Aprianto dalam tulisannya “Aturan di Persimpangan Jalan: Perdebatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan 1973-1994” yang terbit di Jurnal Humaniora (2018) menulis, saat itu ada satu pleton Korps Komando Operasi (KKO) dan lima panser untuk membuat suasana kondusif. Mereka bergerak dengan kekerasan dan penangkapan.

Di halaman DPR, tulis Pikiran Rakyat, Satuan Komando Garnisun (Skogar) Ibu Kota menunggu dan membantu petugas keamanan menggiring para demonstran keluar halaman DPR.

“Di luar gedung, berkumpul dari segala arah dengan tertib, sekelompok gadis berpakaian putih, dengan sarung hijau dan penutup kepala putih, membentuk 'massa diam' sebagai protes,” tulis John Bowen di dalam bukunya.

Sidang pleno DPR kembali dilanjutkan pada 28 September 1973, dengan agenda membacakan sisa pidato Menteri Agama.

Tri Chandra Aprianto menulis, mengetahui ada aktivis yang ditangkap karena protes RUU Perkawinan, BKPI, GMII, Pelajar Islam Indonesia (PII), serta Organisasi-organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam (OLPI) menyerbu Kantor Komdak Metro Jaya. Namun, beberapa aktivis yang melakukan demonstrasi pun ditangkap. Lima orang ditangkap di kediamannya.

“Semuanya ditangkap sebagai akibat dari kegiatan di Gedung DPR, 27 September 1973,” tulis Tri.

Aggota DPR mengikuti Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9). /Antara Foto.

Penentang di dalam parlemen

Selain para aktivis, di dalam parlemen pun ada penolakan. Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP)—yang merupakan peleburan dari beberapa partai politik Islam—satu-satunya yang menolak RUU Perkawinan itu.

Menurut Pikiran Rakyat edisi 6 Oktober 1973, F-PP membentuk sebuah panitia untuk musyawarah terkait RUU Perkawinan. Sebelum ada kesepakatan, mereka menolak ikut pembicaraan tingkat III di DPR.

Wakil Ketua F-PP Nuddin Lubis menyatakan, jawaban pemerintah pada 27 September tidak tegas menyatakan pasal-pasal yang bertentangan dengan agama. Sedangkan anggota F-PP Munasir menyarankan, sebaiknya ada UU Pokok Perkawinan yang berlaku umum dan UU Pernikahan Khusus untuk agama masing-masing.

Nina Nurmila menulis, F-PP mengancam walk out ketika pembahasan RUU Perkawinan di DPR berlangsung. Menurutnya, karena kontroversi yang berlarut-larut di dalam parlemen dan demonstrasi yang terus terjadi, pemerintah lalu menyiasatinya dengan membentuk komite untuk merevisi RUU Perkawinan.

Dari masa ke masa gerakan mahasiswa berlangsung menuntut pencabutan RUU. Alinea.id/Oky Diaz.

“Sebanyak 10 perwakilan sepakat menghapus pasal yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti pencatatan sipil akan tidak lagi diperlukan untuk pernikahan yang sah. Demi meminimalisir penceraian dan poligami, maka hak untuk memberikan izin dikembalikan ke pengadilan agama,” tulis Nina.

Cindya Esti Sumini menulis, ada pemangkasan pasal, dari 73 menjadi 66. Sementara John Bowen mengungkapkan, setelah protes yang luar biasa, RUU diubah secara radikal. Ketentuan yang kontroversial dihapus, dan dengan cepat disahkan menjadi undang-undang pada 1974.

Dari kasus RUU Perkawinan, gerakan mahasiswa bergulir. Salah satunya sorotan terhadap masuknya modal asing ke Indonesia. Pada 15 Januari 1974, ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung, meletus kerusuhan besar di Jakarta.

Berita Lainnya
×
tekid