sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menimbang ide Prabowo mengasingkan koruptor di pulau terpencil

Dalam debat capres-cawapres, Kamis (17/1), Prabowo Subianto melontarkan gagasan mengasingkan koruptor ke pulau terpencil.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Jumat, 25 Jan 2019 14:15 WIB
Menimbang ide Prabowo mengasingkan koruptor di pulau terpencil

Pro dan kontra

Permasalahan hukuman untuk para koruptor agar jera memang dilematis. Koruptor yang sudah dibui, seringkali kongkalikong dengan petugas sipir, mendapatkan kamar mewah, dan terkadang plesir ke luar penjara.

Ide menempatkan koruptor ke sebuah pulau sebenarnya sudah dikemukakan pemerintah pada Juli 2018. Saat itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto pernah melontarkan wacana untuk menempatkan tahanan korupsi, terorisme, dan narkotika di lembaga pemasyarakatan (lapas) khusus di pulau terluar Indonesia. Namun, Wiranto tak menyebutkan di pulau apa.

Pernyataan Prabowo yang akan menaruh koruptor di pulau terpencil pun memantik pro dan kontra di masyarakat. Salah seorang karyawan perusahaan asuransi di Jakarta, Putro Setyo Negoro berpendapat, gagasan Prabowo perlu dilihat secara komprehensif.

“Kalau hanya diberlakukan sebagai sanksi, (pengasingan koruptor) itu akan kurang efektif,” ujarnya ketika dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (23/1).

Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kiri) dipijat pasangan cawapresnya Sandiaga Uno saat jeda Debat Pertama Capres & Cawapres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1). (Antara Foto).

Putro menilai, ide Prabowo bertujuan agar birokrat tidak menyelewengkan jabatannya.

“Menurut saya, hal itu (ide mengasingkan koruptor) adalah sebuah warning system untuk mencegah korupsi,” kata Putro.

Sponsored

Rahmadi, seorang karyawan swasta di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, mendukung ide Prabowo. Menurut dia, koruptor harus diasingkan di pulau terpencil, karena korupsi memiskinkan rakyat.

“Korupsi harus dimusnahkan atau dibumihanguskan,” kata dia.

Sementara itu, peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai, penerapan hukuman pengasingan koruptor ke pulau terpencil kurang relevan.

“Itu (pengasingan koruptor) malah lebih terkesan mengintimidasi," kata Wasisto saat dihubungi, Rabu (23/1).

Penulis buku Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia (2017) ini berpendapat, pengasingan layaknya yang diterapkan rezim Orde Baru ditujukan untuk rakyat yang dianggap subversif, atau menentang kekuasaan. Bukan untuk koruptor.

Perlakuan pengasingan yang tak manusiawi seperti itu, menurut Wasisto, tak cocok diterapkan untuk kasus kejahatan korupsi. Wasisto lebih sepakat dengan upaya preventif, melalui penguatan lembaga antirasuah.

“Penguatan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai lembaga penindakan korupsi perlu dilakukan,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid