sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kesenjangan lahan, 2.973 konflik agraria terjadi sepanjang 2011-2018

Konflik yang terjadi menyebabkan 106 orang meninggal dan 841 orang luka-luka.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Rabu, 16 Okt 2019 05:35 WIB
Kesenjangan lahan, 2.973 konflik agraria terjadi sepanjang 2011-2018

Timpangnya pengelolaan lahan di Indonesia dinilai menjadi alasan banyaknya terjadi konflik agraria. Peneliti Indonesia Islamic and Development Studies (IDEAS) Arie Firdha Amalia mengatakan, terdapat 2.973 konflik agraria sepanjang 2011-2018.

Mengutip data Konsorsium Pembaruan Agraria, Firdha menyebut Jawa Timur sebagai daerah dengan angka konflik tertinggi. Di wilayah ini, terdapat 315 kasus konflik agraria yang terjadi.

Daerah lain dengan jumlah kasus terbilang banyak adalah Riau dengan 274 kasus, Sumatera Utara 252 kasus, Jawa Barat 225 kasus, dan Sumatera Utara 154 kasus.

Konflik agraria yang paling banyak terjadi, berkaitan dengan perkebunan yang mencapai 1.194 kasus. Kasus lain, berkaitan dengan infrastruktur sebanyak 681 kasus, properti 453 kasus, kehutanan 212 kasus, pertambangan 167 kasus, pertanian 162 kasus, kelautan dan pesisir 75 kasus, dan lainnya 29 kasus.

Konflik-konflik yang terjadi, telah menyebabkan banyaknya berjatuhan korban. "Korban meninggal mencapai 106 orang, luka-luka mencapai 841 orang, dan bahkan yang ditahan mencapai 1.691 orang," kata Firdha Amalia di Jakarta, Selasa (15/10).

Menurutnya, konflik yang terjadi disebabkan ketimpangan pengelolaan lahan. Walaupun kesenjangan lahan sudah terjadi pada era kolonial, namun hal ini terus terjadi hingga masa kemerdekaan saat ini. 

Firdha memaparkan, data 2016 menunjukkan tanah di Indonesia paling banyak dikuasai oleh perusahaan di bidang migas. Ada 65 perusahaan migas yang menguasai paling banyak tanah di Indonesia. 

Urutan selanjutnya berturut-turut dikuasai oleh 42 perusahaan hutan alam, 24 perusahaan hutan tanaman industri, 15 perusahaan sawit, 20 perusahaan mineral, dan 40 perusahaan batu bara.

Sponsored

Firdha menyebut, meski jumlahnya kecil, perusahaan sawit sangat masif dalam mencaplok lahan. "Di tahun 2016 hanya 3,16 juta hektare, dua tahun kemudian, di tahun 2018, penguasaan tanah oleh 15 perusahaan ini mencapai 12 juta hektare. Hal ini menunjukan bahwa ada peningkatan hampir 4 kali lipat dalam hanya kurun waktu dua tahun," kata Firdha.

Hegemoni lahan yang terjadi, lanjut dia, kemudian memunculkan ketimpangan lahan dan konflik agraria. Karena itu, pemerintah diharapkan dapat mengatasi kesenjangan lahan, agar tidak terus menimbulkan konflik.

"Ketimpangan ini juga menjadi ironi, karena bukan hanya semakin menimbulkan kesenjangan, tapi juga akhirnya menimbulkan korban," ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid