sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sertifikat vaksin: Tergesa-gesa, tak adil, dan tak sinkron

Sertifikat vaksin sebagai syarat mengakses fasilitas publik tidak ideal diberlakukan saat program vaksinasi belum merata.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Kamis, 19 Agst 2021 15:08 WIB
Sertifikat vaksin: Tergesa-gesa, tak adil, dan tak sinkron

Ryan Saputra, 29 tahun, merasa serba salah. Karena tuntutan pekerjaannya sebagai seorang pramuniaga di sebuah perusahaan infrastruktur, ia harus rajin-rajin bolak-balik dari Depok ke Jakarta. Namun, hingga kini ia belum punya satu pun dokumen izin mobilitas warga selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Awal Agustus lalu, Ryan merasakan betapa pentingnya dokumen-dokumen itu. Saat melaju ke arah Ibu Kota, Ryan bertemu petugas penyekatan di di Jalan Raya Lenteng Agung, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tak punya surat-surat, kendaraan Ryan diputar balik. Ia pun terpaksa tak ngantor

"Petugasnya minta tunjukin STRP (surat tanda registrasi pekerja). Kalau enggak, surat keterangan negatif (swab antigen). Karena kantor masih proses STRP, jadi enggak megang. (Surat keterangan) swab antigen negatif juga enggak ada,” kata Ryan saat berbincang dengan Alinea.id, Selasa (17/8).

Si petugas, kata Ryan, juga minta ditunjukkan surat vaksin atau sertifikat vaksin. Belakangan, sertifikat vaksin menjadi salah satu dokumen wajib untuk warga yang ingin masuk ke DKI Jakarta. "Saya juga enggak ada (sertifikat) waktu itu," imbuh Ryan. 

Hingga kini, Ryan memang belum diimunisasi. Juli lalu, kegiatan vaksinasi yang digelar kantornya batal lantaran bosnya terinfeksi Covid-19. Di sentra pelayanan vaksinasi Covid-19 di dekat rumahnya, stok vaksin juga tengah kosong. 

Bagi Ryan, wacana mewajibkan punya sertifikat vaksin sebagai syarat mobilitas dan mengakses tempat-tempat publik itu terkesan tak adil. Pasalnya, ia sudah berusaha untuk mendapat suntikan vaksin. "Sekarang (sertifikat vaksin) serba birokrasi. Jadi, enggak ada HAM," ujar Ryan.

Di tengah kebingungan itu, pekan lalu, seorang rekan Ryan menawarkan slot vaksinasi. Sang rekan kebetulan bertugas jadi panitia program vaksinasi di tempat tinggalnya. Tanpa pikir panjang, Ryan langsung mendaftar. "Daripada nanti mau ngapai-ngapain susah," kata dia. 

Saat ini, pemerintah pusat memberlakukan kartu vaksin sebagai syarat keluar-masuk Pulau Jawa dan Bali. Itu tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4, Level 3 dan Level 2 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali yang terbit pada 9 Agustus 2021.

Sponsored

Dalam beleid itu, kartu vaksin disyaratkan bagi warga yang ingin melakukan perjalanan jarak jauh, baik menggunakan moda transportasi darat, laut, atau udara. Aturan ini dikecualikan bagi sopir kendaraan logistik. Warga yang tidak dapat divaksin lantaran alasan kesehatan tertentu dapat menyertakan bukti negatif Covid-19 hasil swab antigen atau PCR.

Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menyebut telah menguji coba sertifikat vaksin sebagai syarat masuk di 138 pusat perbelanjaan dan mal yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Uji coba berlangsung dari 10 hingga 16 Agustus 2021.

Sejalan dengan instruksi Mendagri, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menerbitkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 987 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4. Kepgub menjadi dasar penerapan PPKM 7 hari, terhitung sejak 17 Agustus sampai dengan 23 Agustus 2021.

Diatur dalam Kepgub itu, mal dan pusat perbelanjaan boleh buka dengan kapasitas pengunjung sebesar 50%. Namun, setiap pengunjung mesti dipindai menggunakan aplikasi Peduli Lindungi. Artinya, hanya yang punya sertifikat vaksin elektronik yang bisa berkunjung ke mal.

Selama masa perpanjangan PPKM level 4, Anies mengatakan, warga yang berniat mengakses ruang-ruang publik, termasuk di antaranya mal, harus sudah divaksinasi Covid-19, minimal dosis pertama. "Kecuali bagi warga yang masih dalam masa tenggang tiga bulan setelah terkonfirmasi Covid-19 dengan bukti hasil laboratorium," kata Anies. 

Tak semua kepala daerah manut dengan instruksi Mendagri itu. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, misalnya. Menurut dia, kewajiban punya sertifikat vaksin sebagai syarat mengakses fasilitas publik itu tidak tepat. Pasalnya, masih banyak warga yang belum divaksinasi. 

“Kalau semua harus pakai syarat vaksin, sementara vaksinasi belum tinggi, maka saya rasa itu enggak adil. Wong belum divaksin kok. Yang divaksin masih sedikit,” kata Ganjar dalam rilis yang dipublikasikan oleh jatengprov.go.id.

Menurut Ganjar, pemberlakuan aturan tersebut potensial menimbulkan kecemburuan sosial. Ia khawatir ada kesan warga yang telah disuntik dosis pertama vaksin Covid-19 seolah dibiarkan melenggang bebas. “Kan enggak enak kita sama rakyat,” terang politikus PDI-Perjuangan itu. 

Ilustrasi aktivitas warga di tengah PPKM level 4. /Foto Antara

Kebijakan tak sinkron

Relawan LaporCovid-19 Amanda Tan meminta pemerintah tidak tergesa-gesa dalam melonggarkan mobilitas warga melalui sertifikat vaksin. Menurut Amanda, aturan tersebut tidak ideal lantaran masih banyak daerah yang program imunisasinya terhenti karena kehabisan stok vaksin. 

“Kota besar seperti Semarang, Surabaya, Medan itu mereka sudah teriak vaksin habis. Lucunya, kok sertifikat vaksin dijadikan syarat untuk masuk ke tempat umum? Padahal, belum semua orang bisa mendapat vaksin,” kata Amanda saat dihubungi Alinea.id, Senin (16/8).

Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa jumlah populasi yang sudah diimunisasi masih rendah. Berdasarkan data yang dipublikasikan dalam situs kemkes.go.id, setidaknya baru 55.100.253 atau 26,46% warga yang telah menerima dosis vaksin tahap pertama dari total target 208.265.720 warga divaksin.

Adapun warga yang baru menerima dosis vaksin tahap kedua baru mencapai 29.193.717 atau 14,02% dari total target 208.265.720 warga. Pemutakhiran data tersebut dilakukan pada 17 Agustus 2021 pukul 18.00 WIB.

Per 10 Agustus, DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan jumlah vaksinasi dosis pertama terbesar, yakni mencapai 103,91%. Di belakang DKI, ada Bali (90,95%) dan Kepulauan Riau (67,82%). Di urutan bontot, ada Maluku Utara (12,47%), Kalimantan Barat (14,54%), Papua (14,6%), dan Sulawesi Tengah (14,68%).

Amanda menilai selama program vaksinasi belum merata sebaiknya pemerintah menahan diri untuk tidak melonggarkan mobilitas warga via sertifikat vaksin. Ia menyarankan pemerintah fokus membenahi program vaksinasi nasional yang terkesan berantakan. 

“Vaksin yang enggak merata, distribusi sulit, tata laksana carut-marut sehingga syarat vaksinasi untuk dapat akses ke wilayah publik itu menjadi diskriminatif. (Syarat sertifikat vaksin) bisa diterapkan kalau sistemnya sudah bagus. Ini sistemnya aja masih sengkarut,” tuturnya.

Dalam kurun waktu 16 Juli hingga 1 Agustus 2021, LaporCovid-19 menerima 15 aduan dari masyarakat dari berbagai daerah terkait program vaksinasi. Mayoritas aduan memuat beragam keluhan, seperti stok vaksin habis hingga tidak tersedianya pelayanan vaksinasi tahap pertama.

Berbasis laporan-laporan itu, Amanda meminta agar pemerintah segera membenahi sekaligus mempercepat pelaksanaan program vaksinasi. “Itu juga harus dibuka distribusinya, bagaimana penyalurannya, dan tata laksananya juga. Baik, ya, enggak berkerumun, ada sistem pendataan yang baik, dan pastinya memudahkan warga,” tuturnya.

Ilustrasi petugas medis menyiapkan suntikan vaksin Covid-19. /Foto Unsplash/Muhammad Syafi Al-adam

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio meminta pemerintah memperhatikan aspek keselarasan dalam membuat aturan. Kartu vaksin sebagai syarat untuk mengakses fasilitas publik, katanya, harus memastikan ketersediaan dan kemudahan warga dalam menjangkau vaksin.

“Pemerintah membuat kebijakannya harus sinkron. Mewajibkan sesuatu, artinya barang yang diwajibkan itu ada setiap saat dan di mana saja tanpa syarat-syarat dan aneh-aneh. Persoalannya, vaksinnya tidak ada,” ujar Agus saat dihubungi Alinea.id, Senin (16/8).

Ia sepakat sertifikat vaksin sebagai syarat mengakes fasilitas publik bernuansa diskriminatif. Pasalnya, kebanyakan warga belum diimunisasi lantaran stok vaksin yang terbatas.  “Ya, dia (warga) enggak bisa mendapat pelayanan publik karena bukan salah dia. Salahnya karena vaksinnya tidak ada atau sulit,” terang Agus.

Lebih jauh, Agus menyarankan agar pemerintah mengadopsi program vaksinasi di Amerika Serikat (AS). Menurut dia, layanan vaksinasi kepada warga di Negeri Paman Sam mudah dijangkau warga dan tidak berbelit-belit. 

Stok vaksin terbatas

Juru bicara vaksinasi Kemenkes Siti Nadia Tarmidzi membenarkan saat ini stok vaksin untuk program imunisasi nasional terbatas. Dari 426 juta dosis vaksin yang dipesan Indonesia, baru 185 juta dosis yang sudah tiba di Tanah Air. 

Supaya program vaksinasi tetap efektif, Nadia meminta pemerintah daerah proaktif untuk dapat mengatur pelaksanaan vaksin. Salah satunya dengan menentukan kelompok masyarakat mana yang akan divaksin terlebih dahulu.

“Jadi harus diatur, siapa kuota untuk vaksinasi tahap kedua, siapa yang saat ini tahap satu. Dan itu harus ada terbangun komunikasi ruang publik. Enggak bisa Kemenkes, yang punya wilayah kan daerah. DKI, misalnya, yang punya daerah pemerintah DKI, bukan Kemenkes. Iya, kan?” kata Nadia, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (18/8).

Infografik Alinea.id/Muji Prayitno

Menurut Nadia, Kemenkes hanya bisa berkoordinasi dan memberikan layanan konsultasi kepada pemerintah daerah supaya proses vaksinasi bisa berjalan lancar. Ia mengklaim aparatur di daerah telah memahami arahan pelaksanaan vaksin yang diberikan Kemenkes.

“Cuma implementasinya, kan, di mereka. Kita paling hanya memberi masukan untuk perbaikan. Kita bilang harus registrasi dulu. Jangan walk-in. Akibatnya, kalau walk-in, tercipta kerumunan. Orang rebutan dan harus tegas kalau masyarakat datang tidak sesuai aturan, ya, ditutup dulu,” ujar Nadia.

Terkait aturan sertifikat vaksin sebagai salah syarat warga mendapat akses publik, Nadia meminta seluruh pihak tidak salah memahami kebijakan tersebut. Ia menerangkan aturan itu ditujukan untuk menekan laju penularan Covid-19. 

Penggunaan kartu vaksin, kata Nadia, diperuntukan bagi warga yang memiliki kepentingan terdesak. “Kita harus ingat, di masa pandemi ini, kalau tidak urgen, kan kita tidak lakukan perjalanan. Nah, (syarat sertifikat vaksin) ini kan memang tujuannya merefraksi mobilitas, bukan kemudian syarat vaksin itu suatu syarat aja. Enggak,” tuturnya.


 

Berita Lainnya
×
tekid