sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Balada surat dan kotak suara pada Pemilu 1955

Sejumlah perusahaan menawarkan pembuatan kotak suara pada Pemilu 1955.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Senin, 31 Des 2018 15:10 WIB
Balada surat dan kotak suara pada Pemilu 1955

Pencurian dan dugaan korupsi

Di dalam bukunya Di Balik Bilik Suara: Konstruksi Pemilu Pertama di Indonesia, 1953-1956, Faishal menulis, jumlah surat suara yang disediakan saat itu 43.104.464, dengan pembagian 29.882.413 orang pemilih di Jawa dan 13.222.051 orang di luar Jawa.

Walau Pemilu 1955 secara umum dikatakan lancar, tapi ada beberapa kasus yang menyita perhatian. Kasus pertama, pencurian surat suara menjelang Pemilu.

Faishal mencatat, pencurian surat suara tercatat dalam laporan polisi Jakarta Raya yang dibuat Inspektur Polisi Dua Soetojo. Pelakunya bernama Djanawin bin Nali. Pada 27 Agustus 1955, dia ditangkap, karena hendak menjual surat suara Pemilu.

Presiden Sukarno melakukan pemungutan suara pada Pemilu 1955. (Mimbar Indonesia, 8 Oktober 1955).

Djanawin merupakan pegawai yang ditugaskan menjaga keamanan gedung Percetakan Negara, yang menjadi tempat mencetak surat suara. Pada 26 Agustus 1955, dia mencuri surat suara di garasi mobil kantor tersebut.

“Keesokan harinya, kertas itu dijual kepada seorang pedagang Tionghoa, Lauw It Tjoen (35 tahun). Menurut Lauw it Tjoen dalam keterangannya kepada polisi setempat, Djanawin datang kepadanya 27 Agustus 1955 siang, sekira pukul 11.30 dengan membawa setumpuk kertas untuk dijual kepadanya dan ketika ditimbang ternyata kertas itu sejumlah 2 kilogram,” tulis Faishal.

Sponsored

Lebih lanjut, Faishal menulis, meski melakukan pembelaan, Djanawin tetap dijerat hukum. Atas perbuatannya, pada 4 November 1955 Pengadilan Negeri Djakarta menjatuhkan hukuman bui 5 bulan dikurangi waktu selama dia berada dalam sel.

Satu lagi kasus menyoal surat suara yang menghebohkan adalah korupsi. Pada Agustus 1956, Wakil Direktur Percetakan Negara Lie Hok Thay dituding menggelapkan uang PPI sebesar Rp3 juta. Penggelapan itu dia peroleh dari ongkos cetak kartu suara Pemilu.

Menurut David T. Hill dalam buku Jurnalisme dan Politik Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004), pada 13 Agustus 1956 harian Indonesia Raya melaporkan Roeslan terlibat korupsi dengan menerima nikmat keuangan dari Hok Thay.

Pagi hari, 13 Agustus 1956, dua jam sebelum Roeslan terbang ke London, dia ditangkap atas perintah Panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Alex Kawilarang. Namun, ada intervensi dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, sehingga penangkapan itu dibatalkan, dan Roeslan berangkat ke London. Pemerintah pun membebaskan Roeslan dari tuduhan korupsi itu pada Agustus 1956.

Kembali ke persoalan kotak suara berbahan kardus, menurut mantan Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, bahan itu sudah digunakan dalam Pilkada 2015, 2017, dan 2018.

Usai Pemilu 1955, lembaga yang mengurus Pemilu 1971 dan seterusnya, tetap menggunakan kayu sebagai bahan kotak suara. Meski tak bisa dipastikan terbuat dari kayu jati atau kayu jenis lainnya. Bahan alumunium baru diperkenalkan pada Pemilu 2004.

Berita Lainnya
×
tekid