sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Korupsi, isu politik yang paling mudah diterima

Selama ada pertentangan politik menuju perebutan kekuasaan, isu korupsi selalu akan muncul di permukaan. 

Mona Tobing Robi Ardianto
Mona Tobing | Robi Ardianto Rabu, 12 Des 2018 16:48 WIB
Korupsi, isu politik yang paling mudah diterima

Wacana pemberantasan korupsi selalu menjadi dagangan kampanye setiap kali pemilihan umum (pemilu) datang. Apabila ditarik pada pemilihan presiden atau pilpres, korupsi selalu dijanjikan akan diberantas masing-masing calon. Bahkan menjadi senjata untuk saling serang kedua tim kampanye. 

Tentu masih segar dalam ingatan saat politikus PDI Perjuangan Ahmad Basarah yang juga Wakil Ketua MPR menyebut kalau Presiden Soeharto adalah guru korupsi. Ujung dari ucapan Basarah soal guru korupsi tersebut, laporan terhadap dirinya ke Kepolisian dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun tidak bisa dihindari. 

Partai Berkarya, partai politik yang didirikan oleh anak-anak Presiden Soeharto sempat meradang. Melalui Ketua DPP-nya, Badaruddin Andi Picunang membalas tudingan Basarah dengan menyebut kalau Soeharto merupakan pionir pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Dasar ucapan Badaruddin adalah penerbitan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Badaruddin menyebut, kalau bukan hanya saat Presiden Soeharto lah praktik korupsi jamak terjadi. Justru pada zaman penjajahan Belanda, masa VOC kata Badaruddin. 

Badaruddin tidak salah memang, meski tidak sempurna memberantas korupsi toh Presiden Soeharto memang pernah mengusahakan memberantas korupsi. Dalam 'Otobiografi Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya', Soeharto menulis 'Tak Ada yang Membenarkan Korupsi'. 

Presiden kedua RI ini menjelaskan tentang gaduhnya bangsa kala tahun 1970 tentang korupsi. Mahasiswa berdemonstrasi dan menempelkan poster di jalan Jakarta, mobil, bus menuntut pemberantas korupsi. Tidak ketinggalan surat kabar tertentu gencar menghantam korupsi. 

Soeharto diceritakan sempat berdialog dengan mahasiwa tersebut di dua tempat. Satu di kediamannya dan kedua di Istana Negara. Ia diceritakan gelisah dan menyadari kalau korupsi yang terjadi saat itu bukanlah karena mental yang korup, melainkan akibat dari tekanan-tekanan ekonomi. 

Saat itu, Presiden yang lengser pada tahun 1998 menilai apabila pembangunan ekonomi telah mencapai standar hidup yang tinggi dan pegawai negeri menerima pendapatan yang cukup, maka korupsi akan hilang. 

Akhirnya pada tahun 1970, Soeharto membentuk Komisi Empat yang diketuai sejumlah tokoh politik untuk menyerahkan rekomendasi kewajiban para pejabat soal daftar kekayaan mereka kepada Presiden. Dari situlah kemudian digagas dan disahkan undang-undang anti korupsi dan undang-undang yang mengatur kegiatan Pertamina. 

Kini hingga Presiden ketujuh Joko Widodo, korupsi masih menjadi momok bangsa. Peringkat Indeks Korupsi Asean yang berasal dari Transparency International mencatat Indonesia berada di posisi kelima pada tahun 2017 dengan skor sebesar 37. Meskipun memiliki trend positif, namun sejak tahun 2016 angkanya masih sama. 

 

Caleg koruptor 

Menjelang pemilu 2019, korupsi pun menjadi isu politik paling ampuh dan mudah diterima. Selama ada pertentangan politik menuju perebutan kekuasaan, isu korupsi selalu akan muncul di permukaan. 

Contohnya calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto belum lama ini menyebut kalau korupsi di Indonesia stadium empat. Prabowo beranggapan kalau hampir di semua sektor dan elemen baik legistatif dan eksekutif akhirnya harus berakhir di pengadilan karena kasus korupsi. 

Sayangnya ucapan Prabowo tidak berbanding lurus dengan kondisi dapur partainya. Sebab data dari Komisi Pemilihan Umum atau KPU justru mencatat Partai Gerindra yang paling banyak memiliki caleg koruptor. Gerindra memiliki empat kader yang mencalonkan diri menjadi caleg pada tahun 2019. 

Nizar Zahro Ketua DPP Partai Gerindra pun menilai kalau hak caleg koruptor dilindungi oleh Mahkamah Agung (MA). Dasarnya, kata Nizar adalah pertimbangan hakim Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan dengan UU Nomor 7 tahun 2017. 

"Gerindra jelas, tidak akan diberi ruang bagi koruptor untuk berdiam di Partai Gerindra. Pengawasan internal partai akan terus kami lakukan. Bisa dilihat sampai detik ini tidak ada kader Gerindra di Senayan yang berurusan dengan KPK. Karena kami berkomitmen untuk menjaga integritas kader," terang Nizar. 

Berita Lainnya
×
tekid