Kisah para petugas KPPS dan buruknya sistem pemilu serentak
Pemilu 2019 membawa banyak korban meninggal para petugas KPPS di sejumlah daerah.
Santunan dan prasasti
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Jawa Barat Divisi Teknis Endun Abdul Haq mengatakan, data terakhir 44 petugas KPPS di Jawa Barat meninggal dunia.
“KPU Jawa Barat turut berbela sungkawa sebagai institusi atas pahlawan demokrasi yang meninggal,” kata Endun saat dihubungi, Selasa (23/4).
Endun mengatakan, penyebab utama gugurnya para petugas KPPS karena faktor kelelahan fisik dan psikis. Sebelum hari pencoblosan, menurut Endun, KPU Jawa Barat juga sudah menginstruksikan KPU di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat untuk bisa mengkoordinasikan pengawasan kesehatan dan keselamatan petugas bersama pihak puskesmas setempat.
“Pengecekan kesehatan ini bertujuan memastikan aspek kesehatan bagi petugas penghitungan di tahap kecamatan,” tutur Endun.
Selain itu, kata dia, disiapkan pula petugas kesehatan yang berkoordinasi dengan pihak KPU kabupaten/kota dengan Dinas Kesehatan. Mereka bertugas melakukan cek tekanan darah dan menyediakan stok vitamin.
Endun mengatakan, Selasa (23/4) sore, pihaknya melakukan penyerahan santunan untuk keluarga petugas KPPS yang meninggal dunia. Penyerahan santunan secara simbolik kepada perwakilan keluarga dilakukan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Kantor Pemerintah Jawa Barat, Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat.
“Nominal santunan sekitar Rp50 juta untuk satu orang yang meninggal,” kata Endun.
Selain itu, KPU Jawa Barat juga berencana membangun prasasti sebagai peringatan atas jasa para petugas KPPS yang meninggal. “Karena bagaimana pun mereka telah menyukseskan pemilihan umum,” ujar Endun.
Pembagian waktu kerja
Menanggapi hal ini, dokter olahraga dan ahli fisiologi olahraga Ermita Isfandiary Ibrahim Ilyas menyayangkan lemahnya penerapan aturan syarat kesehatan bagi petugas KPPS.
“Mengapa tidak dilakukan pengecekan kesehatan dengan serius? Padahal mereka akan kerja beberapa hari,” kata Ermita saat dihubungi, Selasa (23/4).
Rata-rata petugas KPPS yang meninggal dunia akibat kelelahan dan stres. Menurut Ermita, stres bisa terjadi akibat pekerjaan yang banyak belum tuntas, dikejar tenggat waktu, dan tak tidur. Ermita mengatakan, setiap manusia terbiasa tidur pada malam hari dan terjaga pada siang hari. Setiap manusia pun punya irama sirkadian—proses biologis yang menunjukkan osilasi endogen dan berulang setiap sekitar 24 jam.
Ermita lebih sepakat bila ada pengaturan jam kerja bagi petugas KPPS. Hal ini, katanya, bertujuan mencegah gangguan kesehatan pada petugas.
“Seharusnya kalau memang mereka harus bekerja nonstop beberapa hari, perlu dibuat shift kerja, 2 sampai 3 shift. Makanan dan minuman harus tersedia cukup dan tepat waktu,” ujarnya.
Selain itu, ambulans juga harus disediakan untuk cakupan luas area tertentu, demi memudahkan tindak lanjut penanganan ke rumah sakit terdekat. “Minimal ada persediaan obat-obatan di setiap TPS. Ada dokter stand by untuk luas area tertentu,” katanya.
Senada dengan Ermita, peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai, kelemahan pelaksanaan Pemilu 2019 adalah ketiadaan pola pembagian waktu kerja bagi petugas KPPS.
Yang perlu diingat, Pemilu 2019 adalah pemilu pertama yang dilakukan secara serentak, yakni pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan calon anggota legislatif (pileg).
“Idealnya pemilu serentak ini dapat memangkas tahapan pemilu yang panjang. Tetapi sayangnya tidak humanis dalam pelaksanannya,” ujar Wasisto saat dihubungi, Selasa (23/4).
Tak hanya itu, menurutnya, pemilu serentak yang menguras emosi dan tenaga, juga mengharuskan penghitungan suara bersamaan untuk empat tingkatan pemilihan. Ia pun menyayangkan besaran honorarium bagi petugas KPPS yang tidak sepadan dengan tanggung jawabnya.